Pancasila di Mata Kyai

Sonny Majid
Penggiat kajian, Nahdliyyin, Pengajar
Konten dari Pengguna
13 Agustus 2017 4:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sonny Majid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sikap umat Islam Indonesia secara umum terhadap Pancasila antara lain meliputi:
ADVERTISEMENT
1) Sikap agamis/filosofis. Di mana Pancasila adalah satu filsafat NKRI, dan sama sekali bukanlah agama, dan janganlah sekali-kali dianggap agama, atau dianggap seperti agama (baik dalam arti luas maupun arti khusus).
Sementara Islam sendiri itu sama sekali bukanlah filsafat. Islam adalah agama wahyu yang merupakan induk yang mengandung serba sila (nilai dan norma) Illahi yang abadi. Pancasila, sila demi silanya yang lima, tidak akan bertentangan dengan Islam, kecuali bila diisi dengan tafsiran-tafsiran atau perbuatan-perbuatan yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam.
2) Sikap ideologis/politis. Yang mana Pancasila adalah dasar dan filsafat NKRI, kemudian Pancasila adalah konsesus nasional yang harus dihormati sebagai landasan bersama untuk bernegara yang mengikat segenap aliran dan golongan bangsa, dan warga Negara Indonesia yang harus ditegakkan bersama dengan saling menghormati identitas masing-masing.
Garuda Pancasila (Foto: Antara/Muhammad Iqbal)
Pancasila sebagai “Dasar Moral Luhur” dan “Lima Cita Kebajikan”
ADVERTISEMENT
Pancasila sebagaimana yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diberlakukan kembali oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ( dengan segala konsiderans dan diktumnya) itu dapat dipandang sebagai dan merupakan “cita-cita luhur dari agama Islam” atau ” lima cita kebajikan” yang mengandung tujuan-tujuan Islam.
Namun hal itu tergantumg kepada faktor manusia-manusia pelaksana. Walaupun Pancasila yang dipandang sebagai “cita-cita luhur dari agama Islam” atau “lima cita kebajikan” yang mengandung tujuan-tujuan Islam, akan tetapi, ini tidak berarti bahwa Pancasila itu sudah identik atau meliputi semua tentang Islam. Siapa di antara kita semua yang sudah merasa dan bisa mengungkap semua isi ajaran Islam? pastilah tidak ada.
Kesetiaan kepada Pancasila ditentukan oleh kesetiaan sikap dan perkataan serta perbuatan seseorang kepada nilai, cita dan makna yang terkandung dalam sila demi sila yang lima itu. Seseorang yang melaksanakan dengan sungguh-sungguh seluruh “lima cita kebaikan” yang terkandung dalam dalam Pancasila itu, lebih tepat dan layak disebut Pancasilais sejati, walaupun mungkin dia tidak pernah menyebut-nyebutnya; dia telah berkata dengan perbuatan nyata, bukan dengan perkataan semata.
ADVERTISEMENT
Sikap umat Islam terhadap Pancasila secara khusus (Ulama, Kyai)
Banyak di antara ulama NU seperti KH Wahid Hasyim, KH Masykur dan lain sebagainya menjadi anggota BPUPKI yang bertugas merumuskan dasar negara dan undang-undang dasar. Dengan sendirinya mereka ikut dalam merumuskan Pancasila dan UUD 1945. Karena itu NU membela hasil kesepakatannya sendiri saat Indonesia dihadang oleh berbagai pemberontakan yang hendak mengganti NKRI. Tetapi celakanya di tangan Orde Baru Pancasila telah menjadi alat politik yang menentukan, sebagai sarana untuk mendiskriminasi dan menstigma kelompok lain.
NU setia pada Pancasila karena itu menolak segala penyimpangan penafsiran dan pengamalan Pancasila serta penerapan di luar batas seperti itu. Sebagai salah satu perumus Pancasila, NU menolak penafsiran tunggal Pancasila yang dimonopoli Orde Baru melalui P4 dan sebagainya. Pancasila harus diletakkan sebagai dasar negara menjadi milik bersama sebagai falsafah bangsa. Ketika Orde Baru mendesak semua organisasi tidak hanya organisasi politik, tetapi juga organisasi kemasyarakatan untuk menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas, maka banyak organisasi yang curiga, enggan dan menolak, terutama ormas keagamaan, tidak hanya Islam tetapi juga agama yang lain.
ADVERTISEMENT
Melalui pembicaraan yang intensif antara KH As’ad Syamsul Arifin dan juga KH Ahmad Siddiq dengan Presiden Soeharto bahwa: Pancasila tidak akan menggeser agama dan agama tidak akan di-Pancasila-kan, maka NU mau menerima Pancasila sebagai asas organisasi, tanpa harus meninggalkan Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai dasar akidahnya.Kemudian penerimaan itu dirumuskan dalam sebuah piagam yang sangat komprehensif dan konklusif dalam sebuah Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam.
Deklarasi penting itu dirumuskan dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo pada tahun 1983. Pernyataan NU dianggap kontroversial dan menggemparkan saat itu. Bagi yang tidak tahu argumennya akan menentang, tetapi yang mengerti argumennya yang begitu rasional dan sistematis serta proporsional itu banyak yang tertegun dan simpati.Tidak sedikit kalangan ormas Islam yang lain berterima kasih pada NU (Kyai/Ulama) yang mampu berpikir cerdas dan strategis dalam memecahkan persoalan sangat pelik yakni hubungan agama dengan Pancasila, tetapi dengan kecemerlangannya NU mampu meletakkan hubungan yang proporsional antara agama dan Pancasila, sehingga mereka bisa menerima Pancasila secara proporsional pula. Bahkan agama-agama lain merasa sangat berterimakasih pada NU atau kemampuannya merumuskan hubungan Agama dengan Pancasila melalui argumen yang rasional dan mendasar baik secara syar’i maupun secara siyasi.
Ilustrasi toleransi keberagamaan (Foto: Dok. BBC)
ADVERTISEMENT
Basis moral
Sila demi sila adalah sumber moralitas.  Lima sendi utama terdiri dari : 1. Ketuhanan Yang Maha Esa. 2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. 3. Persatuan Indonesia. 4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan 5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Sebagai basis  moralitas dan haluan kebangsaan – kenegaraan, Pancasila memiliki landasan ontologis, epistomoiogis, dan aksiologis yang kokoh. Lantaran setiap sila memiliki justifikasi historisitas, rasionalitas dan aktualitasnya, yang manakala dipahami, dihayati, diyakini, dan dipercayai, dan diamalkan secara konsisten akan dapat menopang capaian-capaian agung sebagamana harapan para Ulama (NU).
Dokumen historis berupa kompromi antara pihak Islam dan pihak kebangsaan dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) untuk menjembatani perbedaan dalam agama dan negara. Nama lainnya adalah “Jakarta Charter.” Piagam Jakarta merupakan piagam atau naskah yang disusun dalam rapat Panitia Sembilan atau 9 tokoh Indonesia pada tanggal 22 Juni 1945.
ADVERTISEMENT
Ir. Soekarno mengambil inisiatif informal dengan membentuk Panitia kecil ( tidak resmi) yang beranggotakan 9 orang yang kemudian dikenal  sebagai “Panitia Sembilan”. Panitia ini bertugas untuk menyusun rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang didalamnya memuat Dasar Negara.Karena penghormatan Ir. Soekarno pada golongan Islam, komposisi Panitia 9 ini menjadi seimbang daripada Panitia 8 (bentukan resmi BPUPKI), yakni 5 orang wakil golongan kebangsaan (termasuk Ir. Soekarno sebagai penengah) dan 4 orang wakil golongan Islam. Sedangkan di BPUPKI wakil Islam kurang dari 25 persen total anggota.
Panitia 9 ini diketuai oleh Soekarno yang dibentuk sebagai ikhtiar untuk mempertemukan pandangan dua kelompok ini.Dengan komposisi yang relatif seimbang. Panitia ini berhasil merumuskan dan menyetujui rancangan Pembukaan UUD itu, yang kemudian ditanda tangani oleh setiap anggota Panitia 9 pada 22 Juni. Rancangan Pembukaan UUD ini diberi nama ” Mukaddimah” oleh Soekarno. Oleh M. Yamin dinamakan ” Piagam Jakarta”, dan oleh P Sukiman Wiryosanjiyo disebut “Gentlemen`s Agreement”. Rancangan Pembukaan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) mencerminkan kompromi antara kelompok Islam dan Kebangsaan.
ADVERTISEMENT
Titik temu kedua kelompok tersebut pada alinea ketiga :” Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas…” Alinea ini cerminan dari pandangan kelompok kebangsaan yang menitik beratkan kehidupan kebangsaan yang bebas, dan kelompok Islam yang landasan perjuangan adalah atas rahmat Allah.Menurut Muhammad Yamin, dengan menyebut ” Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” konstitusi republik Indonesia berlindung kepada Allah, dan dengan itu “maka syarat agama telah terpenuhi dan rakyatpun tentu menimbulkan perasaan yang baik terhadap hukum dasar ini”.
Ujung kompromi bermuara pada alinea terakhir yang mengandung rumusan dasar negara berdasarkan prinsip – prinsip Pancasila. Memang Islam tidak dijadikan Dasar negara (dan agama negara ), tetapi terjadi perubahan tata urut Pancasila dari susunan yang dikemukakan Ir Soekarno pada 1 Juni. Prinsip “Ketuhanan” dipindah dari sila terakhir ke sila pertama, ditambah dengan anak kalimat  dengan “kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, kemudia dikenal dengan istilah ” tujuh kata".
ADVERTISEMENT
Menurut Muhammad Hatta, “Dengan perubahan posisi prinsip ketuhanan dari posisi pengunci ke posisi pembuka, ideologi negara tidak berubah karenanya, melainkan negara  dengan ini memperkokoh fundamennya, negara dan politik negara mendapat dasar moral yang kuat.” Dengan demikian, fundamen moral menjadi landasan dari fundamen politik ( dari sila kedua sampai dengan kelima)Selanjutnya pada pengesahan UUD 45 18 Agustus 1945 oleh PPKI, istilah “Muqaddimah” diubah menjadi “Pembukaan UUD 45”.
Butir pertama yang berisi “kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya”, diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” oleh Mohammad Hatta atas usul AA Maramis setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo.
Naskah Piagam Jakarta ditulis dengan menggunakan ejaan Republik dan ditandatangani oleh: Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H.A. Salim, Achmad Subardjo, K.H. Wahid Hasjim dan Muhammad Yamin.
ADVERTISEMENT
Foto: Dok. Detakberita