Pilih Papua Ketimbang Freeport

Sonny Majid
Penggiat kajian, Nahdliyyin, Pengajar
Konten dari Pengguna
14 Agustus 2017 15:42 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sonny Majid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Demo menuntut nasionalisasi Freeport (Foto: Abriawan Abhe/ANTARA)
zoom-in-whitePerbesar
Demo menuntut nasionalisasi Freeport (Foto: Abriawan Abhe/ANTARA)
ADVERTISEMENT
Freeport, kadang muncul, kadang hilang pemberitaannya di media massa. Masih ingat ketika Presiden Joko Widodo tegas mengatakan bahwa perusahaan asal Negeri Paman Sam itu harus ikut aturan? Sudah beberapa kali masalah Freeport ini selalu bikin repot? Semoga saja pemerintah tidak direpotkan ataupun kerepotan.
ADVERTISEMENT
Jadi, jika ditanya pilih mana? Mempertahankan Papua atau Freeport?
Maka, saya lantang menjawab, Papua.
Meski bisa jadi jawaban bisa dipastikan akan banyak menuai protes dari para pihak yang katanya ekonom, ahli ekonomi, aktivis mahasiswa ataupun lainnya. Papua adalah masa depan, sementara Freeport bukan masa depan.
Toh, sampai sekarang juga Papua tidak ada ubahnya, masih seperti dulu. Ya, bisa dibilang belum signifikan jika bicara tentang pembangunan, meski perusahaan tambang tersebut berada di sana lebih dari satu dasawarsa. Papua hanya bertambah provinsi barunya, Papua Barat.
Semoga ke depan jika Freeport dipertahankan penyelesaiannya tidak selalu berujung pada kompromi – lobi yang enggak jelas juntrungannya. Ini untuk menjawab keraguan publik, bahwa keberadaan Freeport memberi kontribusi terhadap Papua yang sedari dulu hanya memberi taklebih dari 2% keuntungan.
ADVERTISEMENT
Lantas bagaimana dengan otonomi khusus (otsus), yang juga menurut saya tidak kalah penting dengan urusan Freeport? Bukan berarti tidak mengikuti tren isu.
Sedikit gambaran tentang Otsus. Derah yang berstatus otsus mendapat porsi lebih besar dalam bagi hasil pajak dan sumber daya alam. Semisal pajak bumi dan bangunan 90%, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan 80%, pajak penghasilan orang pribadi 20%, pertambangan 80%, pertambangan minyak bumi 70% selama 25 tahun yang terhitung sejak 2001, dan di tahun ke-26 komposisinya jadi 50%. Ini juga berlaku bagi pertambangan gas alam.
Dari dana hasil pertambangan, gas alam dan minyak bumi tadi 30% -nya untuk membiayai pendidikan, 15% untuk kesehatan dan peningkatan gizi. Menurut teori, otsus adalah “hak, wewenang dan kewajiban suatu daerah otonomi yang secara khusus berbeda dengan daerah otonom lain, besar dan luasnya urusan, perimbangan keuangan lebih besar, sistem dan mekanisme penyelenggaraan otonominya berbeda.
ADVERTISEMENT
Terdapat dua macam daerah otonom, yakni yang bersifat buatan dan bersifat otonomi asli. Yang bersifat buatan dibuat oleh UU, sedangkan otonomi asli tumbuh sendiri sebagai kesatuan masyarakat dalam hukum adat. Otonom yang bersifat buatan kewenangannya diberikan (taekennen), sedangkan otonom bersifat asli keberadaan dan kewenangannya diakui (erkennen).
Otonom buatan merupakan sub sistem dari NKRI, sedangkan otonom asli tidak merupakan sub sistem dari NKRI. Daerah otonom buatan, dependent dan sub ordinat dari NKRI, sementara yang otonom asli independent dan tidak merupakan sub ordinat NKRI.
ADVERTISEMENT
Di dalam otsus Papua, mengandung nilai untuk menghargai hak adat masyarakat Papua. Adat sendiri adalah “kebiasaan yang diakui, dipatuhi dan dilembagakan serta dipertahankan oleh masyarakat adat setempat secara turun-temurun.”
Pemerintah daerah yang ada di Papua dalam konteks ini wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan hukum yang berlaku.
Masyarakat adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya. Hak-hak masyarakat adat itu meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Selain hukum adat, otsus di Papua juga mengatur hak asasi dan rekonsiliasi. Pemerintah, pemerintah provinsi, dan penduduk Provinsi Papua wajib menegakkan, memajukan, melindungi dan menghormati HAM di Papua. Untuk hal itu pemerintah membentuk perwakilan Komnas HAM, Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
ADVERTISEMENT
Demikian halnya dengan Agama, Pendidikan dan Kebudayaan. Penduduk Papua diberikan kebebasan, membina kerukunan dan melindungi semua umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya. Menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama, mengakui otonomi lembaga keagamaan; dan memberikan dukungan kepada setiap lembaga keagamaan secara proporsional berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat.
Pemerintah Provinsi wajib melindungi, membina, dan mengembangkan kebudayaan asli Papua. Pemerintah Provinsi berkewajiban pula membina, mengembangkan, dan melestarikan keragaman bahasa dan sastra daerah guna mempertahankan dan memantapkan jati diri orang Papua.
Mengenai lingkungan hidup, otsus Papua juga memberikan seluas-luasnya melakukan pengelolaan lingkungan hidup, melindungi sumber daya alam hayati, sumber daya alam non hayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati, dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati serta perubahan iklim dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan penduduk Papua.
Demo karyawan Freeport di Kantor Bupati Mimika (Foto: Vembri Waluyas/Antara Foto)
zoom-in-whitePerbesar
Demo karyawan Freeport di Kantor Bupati Mimika (Foto: Vembri Waluyas/Antara Foto)
ADVERTISEMENT
Namun, kenyataannya pelaksanaan otsus Papua tidak berjalan baik. Bahkan isu Papua Merdeka sampai hari ini masih menjadi tema politik yang berujung pada dilakukannya kampanye-kampanye tentang Papua Merdeka di tingkat internasional.
Ada beberapa isu penting Papua Merdeka, antara lain: masalah sosial budaya dan hak ulayat, isu tentang otsus itu sendiri dan isu tentang referendum dan pilkada, isu kasus-kasus HAM dan keamanan di Papua. Kasus-kasus yang terjadi di Papua, seperti kekerasan, termasuk polemik Freeport, sampai dengan mandulnya peran Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) justru tidak mencerminkan tujuan otsus Papua. Dana otsus ramai-ramai jadi bancakan. Ini ambivalensi dengan UU yang mendukung otsus di Papua.
Dari beberapa catatan tadi, sekiranya menjadi penting jika rasanya fungsi pengawasan DPRT diperkuat, mengintensifkan rekonsiliasi dengan penduduk Papua, merevisi seluruh kontrak kerja antara pemerintah, pemda dengan perusahaan asing yang beroperasi di Papua.
ADVERTISEMENT
Kemudian membuat perda-perda lokal yang berbasis kultur budaya penduduk Papua, sehingga diharapkan pemberian peran pengelolaan dan pemanfaatan seluruh sektor kehidupan secara adat (budaya), khususnya penyelamatan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dengan tidak menelorkan perda-perda yang bernuansa agama.
Menjadikan nilai-nilai budaya di Papua sebagai kurikulum pendidikan berbasis lokal di jenjang pendidikan SD, SMP, SMA dan SMK dan terakhir pastinya adalah mengurangi kepentingan asing di tanah Papua.