Etika dalam Berkomunikasi, Kesalahan Kecil yang Akan Membukit

Shilvia Restu Dwicahyani
Journalist Student at Padjadjaran University
Konten dari Pengguna
20 November 2020 17:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shilvia Restu Dwicahyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam berkomunikasi kita perlu memperhatikan etika - adab secara bijak. | Pixabay
Belakangan ini situasi tengah ramai dan memanas atas perseteruan yang tengah berlangsung dari dua kubu yang berbeda latar belakangnya. Seorang selebriti (artis) kenamaan dan seorang ‘guru agama’ yang merupakan salah satu pendukung tokoh agama.
ADVERTISEMENT
Perseteruan bermula dari sang artis yang sarkas mengartikan julukan tokoh tersebut dengan arti yang tidak sebenarnya yakni ‘tukang obat’ (tabib) – bukan julukan sebenarnya. Hal tersebut kemudian memancing guru agama tersebut dan membalasnya dengan mengunggah video berisikan kalimat umpatan yang seharusnya tidak baik untuk menjadi bahan konsumsi publik dan dirinya sendiri.
Disini saya hanya ingin mengomentari mengenai adab - etika seseorang yang dikenal secara luas dalam berkomunikasi. Sebab, keduanya secara tidak langsung dapat memberikan dampak atau pengaruh kepada khalayaknya. Bukan hanya mereka yang dikenal banyak kalangan, sejatinya kita semua memang perlu lebih memperhatikan kembali adab - etika dalam berkomunikasi secara bijak. Terlebih dengan semakin majunya teknologi yang memudahkan kita untuk mengeluarkan pendapat baik secara lisan dan tulisan melalui laman media sosial.
ADVERTISEMENT
Apa yang dimaksud adab dan etika? Adab dalam KBBI memiliki arti sebagai kehalusan dan budi pekerti (kesopanan; akhlak), kemudian etika merupakan ilmu tentang apa yang baik dan buruk (tentang hak dan kewajiban moral). Keduanya sama-sama membahas mengenai prilaku dan tingkah laku baik juga buruknya manusia, menentukan nilai atau hukum dengan benar dan baik, serta berhubungan dengan nilai-nilai yang ada pada individu manusia. Senada dengan yang disampaikan Abu Isma’il al-Harawi pada kitab Manazil as-Sa’irin, jika adab ialah menjaga batas antara berlebihan dan meremehkan serta mengetahui banyak pelanggaran.
Saya sempat mengerutkan kening sejenak mendengar kalimat umpatan yang sangat kasar dan meluncur dari mulut seseorang yang menjadi ‘centre’ banyak orang sebagai guru agama.
ADVERTISEMENT
Allah Ta’ala berfirman dalam surat Al-Isra:53, “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar).” Rasulullah pun tidak pernah mengajarkan dalam dakwahnya untuk membalas perbuatan orang jahat dengan kejahatan pula.
Seperti yang kita ketahui dan sudah tertulis dalam Undang-undang, bahwasannya perkataan yang tidak baik (pelecehan dan penghinaan) termasuk ke dalam tindak kejahatan. Lalu mengapa, seseorang yang mendapat julukan ‘guru agama’ tersebut bisa se-lalai itu dalam bertutur? Hal apa pula yang membuat seorang artis itu secara tiba-tiba menyulutkan sebuah api (lagi) ditengah kegaduhan yang sedang memanas selepas kepulangan tokoh agama tersebut? Apakah untuk menaikkan popularitas semata tetapi dengan cara menurunkan citranya?
Dengan bijak dan mematuhi etika – adab dalam berkomunikasi juga menuntun untuk meminimalisir adanya kesalahan persepsi yang dapat berujung pada perdebatan.
ADVERTISEMENT
Mengutip dari utas dengan tagar #CeritaGuruAdeirra yang ditulis oleh akun twitter @adeirra yang mengulas mengenai tafsiran Al-Isra:53 oleh Al-Imam Ibnu Katsir, hendaklah mereka dalam pembicaraannya mengucapkan kata-kata yang TERBAIK dan kalimat yang MENYENANGKAN.Adeirra pun menegaskan jika hal tersebut termasuk lisan mau pun tulisan.
Sebagai seseorang yang dikenal oleh kalangan luas, sudah sepatutnya untuk menjaga dan bijak dalam bertutur. Agar citranya dapat terjaga dan bisa menjadi publik figur sebagai seorang teladan yang menjadi panutan publik. Inilah arti sebenarnya dari julukan ‘Publik Figur’, bukan yang hanya melalang buana dilayar kaca semata.
Banyak dari kita sejatinya yang masih salah dalam mengartikan ‘Publik Figur’. Publik figur bukan sebatas seseorang yang dikenal secara luas oleh masyarakat umum, melainkan sosok yang dapat menjadi panutan.
ADVERTISEMENT
Tidak sembarang orang yang dikenal khalayak luas dapat menyandang sebutan tersebut, mana mungkin orang yang dikenal oleh banyak orang tetapi memiliki kepribadian yang kurang pantas dan memiliki track record keburukan tinggi dapat dijadikan sebagai panutan atau teladan? Sebab hal terpenting untuk menjadikan seseorang sebagai publik figur yakni dengan senantiasa menjaga prilaku - tingkah laku, etika dan moralitasnya.
Dengan demikian kita harus pintar dan bijak juga dalam memilih seseorang untuk dijadikan sebagai panutan, jangan sekedar mengikuti agar tidak ketinggalan zaman atau baru mengenali sosok tersebut sekilas tanpa mempelajarinya.
Masih dari utasnya @adeirra, saya menyukai cuitannya mengenai etika sosial berkomunikasi. Ia menyebutkan di zaman yang banyak sekali manusia-manusia pandai yang memiliki strata pendidikan dan status sosial yang tinggi, namun tak memiliki ‘etika sosial berkomunikasi’.
ADVERTISEMENT
Bukankah karena memiliki gelar seharusnya mereka memiliki rasa malu yang lebih tebal untuk mengumpat, mencela, menuding dengan kata-kata kasar serta keji yang meluncur dari lisan ataupun coretan tulisannya tanpa memikirkan akibat? Ingat dalam Surat Qaf ayat 18 yang berbunyi, “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.”
Disini kita dapat memahami bahwasannya bertutur bukanlah sekedar meluncurkan kata-kata semata, kita masih perlu untuk selalu belajar.
Maka dari itu, menekuni bidang komunikasi bukanlah sesuatu hal yang mudah dengan modal ‘bicara’ saja. Jauh dari itu. Konsep logika berfikir menjadi landasan atas apa yang akan kita sampaikan dengan menyaring dari tujuan yang dapat bercabang persepsinya disetiap telinga yang masuk kedalam pikiran dan otak manusia lainnya.
ADVERTISEMENT
Dalam riwayat Musnad Ahmad, Rasulullah bersabda hukum kedudukan ucapan. “Sesungguhnya ada orang yang mengucapkan sepatah kata yang diridhai Allah, dia tidak menduga (perkataan tersebut) pengaruhnya sampai sedemikian rupa hingga Allah mencatatnya dalam keridhaan-Nya sampai Hari Kiamat. Sebaliknya ada orang yang mengucapkan perkataan yang dibenci Allah, dia tidak menduga akibatnya sedemikian rupa hingga Allah menetapkan kemurkaan-Nya karena ucapan itu sampai Hari Kiamat.”
Mari bersama untuk mulai memperindah etika sosial berkomunikasi dengan belajar mengendalikan diri, agar tulisan atau pun ucapan kita tidak melukai orang lain yang bisa menjerumuskan kita dalam dosa yang tidak terasa tetapi bisa membukit. Salah satu hal nyata dari dampak yang tidak terasa ini ialah hukum negara yang tidak dapat kita hindari setelah menyadarinya.
ADVERTISEMENT