Sudah Bergelimang Harta, Kenapa Korupsi?

Shilvia Restu Dwicahyani
Journalist Student at Padjadjaran University
Konten dari Pengguna
17 Desember 2020 7:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shilvia Restu Dwicahyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pelaku Tindak Kasus Korupsi. (Pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pelaku Tindak Kasus Korupsi. (Pixabay.com)
ADVERTISEMENT
"Praktik korupsi sangat melukai perasaan kaum miskin. Korupsi menjadi penyebab utama memburuknya perekonomian suatu bangsa, dan menjadi penghalang upaya mengurangi kemiskinan dan pembangunan."
ADVERTISEMENT
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Kofi Anan pada 30 Oktober 2003 dihadapan 191 anggota Majelis Umum PBB.
Rakyat Indonesia nampaknya tidak akan terkejut lagi ketika mendengar kabar kasus korupsi yang dilakukan oleh kalangan pejabat. Setiap lembaga politik Indonesia (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif) sudah mencicipi ruang gelap namun berbinar bernama korupsi (jalan haram yang menggiurkan agar dengan mudah mendapatkan cuan). Bergulirnya tindak kejahatan korupsi selalu terjadi setiap tahunnya.
Bukan kali pertama, tindak korupsi dilakukan oleh kalangan elite. Terkuaknya korupsi yang dilakukan oleh Menteri Sosial Juliari Batubara pada 5 Desember lalu menempati kursi ke-12 sebagai menteri yang melakukan tindak kejahatan korupsi sejak didirikannya KPK pada tahun 2003 atau sejak era kepemimpinan Megawati.
ADVERTISEMENT
Kedua belas menteri tersebut bila dirinci terdiri atas empat menteri pada era Presiden Megawati, enam menteri era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan tiga menteri era Presiden Joko Widodo. Namun tidak semua dari mereka yang melakukan korupsi dengan status aktif menjabat. Lima di antaranya terciduk saat sudah tidak aktif menjabat.
Korupsi yang dilakukan Juliari bermula dari SK (Surat Keputusan) yang ia tandatangani mengenai bantuan sosial penanganan COVID-19. Bagian yang membuat perut tergelitik ialah skema tindak tidak terpuji ini bernilai Rp10.000 dari setiap paket sembako yang nilainya Rp300.000.
Sehingga dana yang terkumpul berjumlah Rp20,8 miliar dengan pembagian untuk Juliari sebesar Rp17 miliar. Bukankah angka itu terbilang sangat fantastis?
Kerap kali muncul dalam benak saya ketika mendengar kasus ini ialah mengapa sudah bergelimang harta namun masih korupsi? Apakah gaya hidup begitu mencekik sampai mereka rela menjerumuskan diri ke dalam lubang berbinar tersebut? Padahal tentunya sudah pasti berujung mendekam di balik jeruji besi?
ADVERTISEMENT
Ataukah hal ini dilakukan sebagai bentuk untuk mengembalikan dana yang sudah dikeluarkan ketika bersusah payah meyakinkan rakyat pada proses kampanye?
Padahal sebelum terpilih, mereka sudah ‘memamerkan’ jumlah kekayaan sebagai salah satu indikator untuk meyakinkan rakyat bahwa mereka tentunya tidak akan melakukan hal sekotor itu. Hal ini sudah menjadi peraturan wajib dan tertuang dalam undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LPKHN) sebagai salah satu upaya pemberantasan korupsi.
Berbicara mengenai kekayaan, melansir dari laman e-lhkpn.go.id, eks Menteri Sosial ini memiliki total kekayaan sebanyak Rp47 miliar. Sungguh, tidak tahu diri dan jauh dari rasa bersyukur orang-orang yang melakukan tindakan hina ini.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan teori Willingnes and Opportunity to Corrupt mengungkapkan, korupsi terjadi jika terdapat kesempatan atau peluang (kelemahan sistem, pengawasan kurang dan sebagainya) dan niat/keinginan (didorong karena kebutuhan dan keserakahan). Nampaknya pernyataan di atas cocok dengan kondisi hukum yang berlaku di Indonesia mengenai korupsi.
Sepertinya undang-undang yang berlaku mengenai kasus korupsi hanya dijadikan sebagai dongeng belaka bagi para pelakunya. Rasa penyesalan nampaknya tidak tertanam dalam dirinya. Mungkin karena segelintir dari mereka merasa memiliki jabatan dan kekayaan.
Ilustrasi Korupsi. Foto: Indra Fauzi/kumparan

Catatan Hukum sebagai Dongeng Semata

Melirik perjalanan kasus sebelumnya, terpidana kasus korupsi tidak menjalani masa tahanan sesuai dengan vonis serta adanya perbedaan dalam menerima fasilitas bui (penjara). Di mana kalangan elite yang mendekam di lembaga permasyarakatan mendapatkan fasilitas mewah bahkan ada yang sampai seperti hotel. Tidak luput terkadang ada dari mereka yang bisa dengan mudah keluar masuk sel. Lagi dan lagi, uang yang menjadi senjata andalan mereka.
ADVERTISEMENT
Berbicara mengenai fasilitas mewah tentunya mengingatkan kita pada Lapas Sukamiskin, Bandung. Deddy Handoko selaku mantan Kalapas (Kepala Lapas) pun terseret dalam kasus korupsi karena menerima suap untuk memberikan fasilitas mewah dan perizinan kepada sejumlah narapidana agar bisa keluar masuk lapas.
Narapidana yang tersorot menerima fasilitas ini di antaranya, Setya Novanto, Fahmi Darmawansyah, Anggoro Widjojo, Rachmat Yasin, M. Nazaruddin, dan Gayus Tambunan. Sebelumnya, lapas ini juga sempat mendapatkan ‘kunjungan’ oleh Najwa Shihab pada 26 Juli 2018 lalu untuk mengulas ‘Pura-Pura Penjara’ di Lapas Sukamiskin.
Perlu diketahui sebenarnya terdapat hukuman mati bagi terpidana korupsi pada Pasal 2 ayat 2 UU Pemberantasan Tindak Korupsi, namun pada keadaan tertentu. Merujuk pada substansi Pasal 2 ayat 2, ‘keadaan tertentu’ yang dimaksud di antaranya keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
ADVERTISEMENT
Namun sayangnya hukuman ini hanya menjadi catatan belaka dalam undang-undang. Tidak ada hakim yang berani menetapkan hukuman terberat ini. Mahfud MD selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, sempat menyepakati adanya hukuman mati ini. Tetapi dalam urusan menjatuhkan vonis hukuman semuanya sudah menjadi urusan pengadilan, tidak ada campur tangan dari pemerintah. Menyedihkan.
Mungkin hal itulah yang menjadi salah satu 'motivasi' bagi para koruptor dan 'cikal bakal' koruptor agar berani melakukan kegiatan haram tersebut. Membayar denda, penyitaan aset dan hukuman bui yang tidak seberapa dianggap hal yang sepele. Beberapa tahun kemudian setelah menjalani masa tahanan, mereka masih bisa mencicipi kegemilangan harta yang masih tersisa. Tidak jatuh miskin dan masih memiliki privilege. Hukuman sanksi sosial pun sepertinya tidak mempan, kepercayaan diri mereka bahkan keluarganya begitu tebal. Setebal uang yang mereka miliki.
ADVERTISEMENT
Indonesia sebagai negara hukum sudah seharusnya memperkuat dan tegas dalam menindak kasus korupsi. Korupsi bukan sekadar permainan uang, ia memiliki dampak yang begitu serius bagi negara. Bangsa ini tidak akan maju seperti negara lain yang sudah mempersiapkan diri berangkat ke luar angkasa karena tidak terkendala dengan dana, jika dalam menindak kasus seperti ini hukum masih dengan mudahnya dibeli oleh uang dan kekuasaan.