Cerita Petani Terdampak Konflik Agraria

Sry Lestari Samosir
Seorang penulis, jurnalis dan peneliti
Konten dari Pengguna
14 November 2022 11:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sry Lestari Samosir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Nek Reben bekerja memilah kemiri. Pekerjaan ini dilakukannya sejak konflik terjadi. Dalam seminggu ia pernah mendapatkan Rp. 210.000, sebab upah hanya sebesar Rp. 700/Kg. Sumber Foto : Dokumentasi Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Nek Reben bekerja memilah kemiri. Pekerjaan ini dilakukannya sejak konflik terjadi. Dalam seminggu ia pernah mendapatkan Rp. 210.000, sebab upah hanya sebesar Rp. 700/Kg. Sumber Foto : Dokumentasi Pribadi.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sumiati (67) mengaku menjalani hidup yang sangat berat pasca konflik akibat sengketa lahan di Kebun Bekala, Simalingkar A. Ia adalah seorang janda dengan tanggungan dua orang cucu yang tinggal bersamanya. Tiga orang anaknya bekerja di luar kota. Jika dahulu ia hidup miskin namun sekarang lebih miskin lagi.
Tak ada tanah untuk bertani kini sehari-hari Sumiati menjadi pemilah kemiri. Ia memilah kemiri ke dalam dua bagian yakni kemiri yang bagus dan kemiri yang belum terlepas dari kulitnya. Kemiri yang tak terlepas dari kulitnya akan dikembalikan untuk dimasukkan ke mesin penggiling kulit. Kemiri yang bagus dari hasil pemilahan akan ditimbang dan dihargai Rp 700/kg. Dalam 1 minggu Suamiati hanya mendapat penghasilan sebesar Rp. 130.000.
ADVERTISEMENT
Memilah kemiri tentu tak mencukupi kebutuhan keluarga Suamiati. Ekonomi yang pas-pasan, membuat Sumiati kesulitan menghidupi dirinya dan dua cucunya. Bersyukur Sumiati masih dipekerjakan oleh kantor desa untuk membantu Posyandu menjadi penimbang bayi. Ia menimbang bayi yang akan diimunisasi. Setiap bulan ditanggal 10 ia bertugas dan digaji Rp 50.000/hari.
Gaji tersebut dibayarkan dua kali dalam satu tahun. Artinya Sumiati harus menanti enam bulan lamanya untuk menerima gaji sebesar Rp.300.000. Kondisi tempat tinggal Sumiati juga jauh dari kesan layak. Jika turun hujan, bersiaplah akan mengalami kebocoran.
"Sejak ga bertani penghasilan jadi hilang, anak ibu mau sekali-kali kirim uang. Tapi ibu kan ga berharap, dikasih syukur kalau gak dikasih ya usaha cari sendirilah," katanya, Sabtu (24/9/2022).
ADVERTISEMENT
Hal yang serupa juga dialami oleh Nek Reben (50 tahun). Nek Reben telah bertempat tinggal di dusun 3 Simalingkar A ini lebih dari 30 tahun. Suaminya saat ini berusia 60 tahun dan tidak bisa lagi bekerja sebab mengalami demensia (pikun).
Meskipun saat ini hanya tinggal berdua dengan sang suami, namun hanya ia yang menanggung biaya hidup mereka. Anak Nek Reben ada tiga orang dan telah tinggal di luar kota. Kehidupan anaknya juga tidak lebih baik dari mereka sehingga Nek Reben tidak mau meminta-minta kiriman uang.
"Jadi sekarang nenek jadi tukang kusuk. Sekali-sekali adalah yang datang kusuk. Seikhlas merekalah kasih berapa sama nenek," ungkap Nek Reben, Sabtu (24/9/2022).
Nek Reben juga memilah kemiri sama seperti Sumiati. Nek Reben terkadang menghabiskan waktu dari jam 2 siang hingga jam 3 pagi untuk memilah kemiri. Pekerjaan itu dilakukan dengan posisi duduk sepanjang waktu.
ADVERTISEMENT
Dalam seminggu ia pernah mendapatkan Rp. 210.000, sebab upah hanya sebesar Rp. 700/Kg. Jika dijumlahkan maka Nek Reben harus mencapai 300 Kg seminggu untuk mendapatkan upah Rp. 210.000, dan sebanyak 42 kg dalam 1 hari harus dia kumpulkan.
Tubuh renta Nek Reben tak menghalanginya mencari uang. Jari-jarinya yang berkeriput itu sering berdarah karena kerasnya kulit kemiri. Nek Reben pun mengeluh pinggangnya sering sakit karena duduk berlama-lama. Namun hanya pekerjaan inilah yang bisa dikerjakan maka tak ada waktu untuk mengeluh.
“Nenek lebih baik kerjaan ini seharian karena ga ada lagi yang bisa dikerjakan,” ucapnya, Sabtu (24/9/2022).
Keluarga selanjutnya adalah Jumakitro Sitepu (66 Tahun). Jumakitro mengaku lahir dan mewarisi tanah milik kakeknya yang terletak di Dusun 3 Simalingkar. Anaknya ada lima orang namun semua tinggal di luar kota. Jumakitro mengaku merasakan duka yang mendalam karna tanah warisan leluhurnya dirampas semena-mena.
ADVERTISEMENT
“Tega mereka habiskan semua padahal waktu itu udah mau panen lah kami kan 2017. Sebagian ada yang udah diganti, nah kami sebagian lagi belum,” keluh Jumakitro, Sabtu (24/9/2022).
Jumakitro adalah petani yang dulunya bisa mendapat pendapatan 100.000 perhari dari menanam sayuran untuk dijual ke pasar. Untuk tanaman musiman seperti durian, jagung, ubi beda lagi pendapatannya. Hidupnya sebelum konflik serba berkecukupan namun kini untuk makan saja harus berpikir.
Sejak tanahnya yang 3 hektar itu dirampas, Jumakitro kini harus menganggur di rumah. Ia bercerita betapa hidupnya kini tak berdaya. Hanya istrinyalah yang menjadi tulang punggung mereka. Istri Jumakitro masih bisa bekerja dengan berjualan sayur yang disupply dari pasar induk. Istrinya berjualan di sebuah kios yang dulu mereka beli dari hasil tabungan. Kini kios tersebut menjadi tempat mengais rejeki mereka. Walau pendapatannya jauh berbeda dibanding saat bertani dulu, mau tidak mau ini adalah pekerjaan yang bisa diusahakan.
ADVERTISEMENT
“Ga berladang, makan dari mana? kan kita petani. Biasanya dari ladang itu dijual, sekarang ambil dari pasar induk. Jadi makin dikitlah keuntungannya,” ungkapnya.
Dampak konflikpun semakin terasa dengan naiknya harga BBM. Begitulah beratnya hidup keluarga Julianto Nainggolan (35 tahun). Dua orang anaknya harus dibiayai. Kebutuhan makan dan biaya sekolah membuatnya pontang panting mencari kerja.
“Kadang kita ikut jadi kuli panggul di pajak, ya apapunlah kita jalani. Mocok-mocoklah (kerja serabutan) kadang jadi tukang bangunan juga,” kata Julianto, Minggu (18/9/2022) sore
Julianto sangat ingin realisasi lahan yang dijanjikan Presiden Jokowi segera diberikan. Seandainya lahan sebesar 2.500 meter persegi dengan status hak guna pakai diserahkan maka ia dapat kembali berladang.
“Janji manis aja semuanya. Ladang yang dijanjikan di surat keputusan, gak juga yang dikasih. Paling tidak supaya ada pemasukan kami bertanam dari situ. Tapi ga bisa juga kami dikasih”, keluhnya.
ADVERTISEMENT
Julianto bersama keluarga masih tinggal di Dusun 3, keadaan rumahnya tidak layak lagi. Sisa-sisa tanah yang ada di belakang rumahnya, ia coba beranikan untuk ditanami sayuran. Namun jika mereka tak di ladang, tanaman langsung dihancurkan oleh preman. “Kita pun tidur di ladang. Kalau kita di ladang, preman ga berani. Tapi kita tinggal aja sebentar tanaman dihancurkannya semua”, keluhnya lagi.
Kisah Erlina (48 tahun), seorang ibu yang memiliki tiga anak mengeluh betapa ia terseok-seok menjalani hidup. Suaminya adalah buruh tani namun kini beralih profesi menjadi tukang bangunan. Pekerjaan tukang bangunan tidak selalu ada sehingga membuat Erlina mengumpulkan botot.
Ia berkeliling mengumpulkan barang-barang rongsokan seperti kemasan air mineral, kardus, ember pecah, besi dan segala perabot rumah tangga yang telah rusak. Ia juga menanam tanaman yang bisa menghasilkan uang di pekarangan rumahnya. Ubi, tebu, sereh dan cokelat sesekali bisa dijual dan uangnya digunakan untuk membeli beras.
ADVERTISEMENT
“Sekarang apapun dikerjakan. Anak sampai terancam berhenti sekolah. Bisa juga hidup walau pun sengsara. Pasrah ajalah,” ujar Erlina, Minggu (18/9/2022) sore.
Sering kali Erlina tak mampu membeli lauk dan sayuran untuk keluarganya. Ia meminta pada tetangga untuk sayuran, sedangkan ikan dia harus memancing di parit.

Konflik yang Tak Berujung

Konflik petani dengan salah satu perusahaan besar di Deliserdang tak kunjung padam. Puncaknya terjadi pertumpahan darah di tanah Simalingkar A, Deliserdang pada tahun 2017. Agnes (55 tahun), Ketua Serikat Petani Simalingkar Bersatu (SPSB) mencertiakan banyak petani yang terluka akibat pertikaian dengan aparat TNI. Pun lahan pertanian yang sebentar lagi panen diratakan serta merta. Isak tangis, jeritan dan adu fisik menjadi sia-sia. Padahal menurut Agnes tanah yang dirampas itu adalah tanah warisan nenek moyangnya.
ADVERTISEMENT
“Banyaklah jatuh korban. Aparat menendang, memukul dan ada yang ditangkap. Kami menjerit, menangis, tapi tak dihiraukan,” ujar Agnes, Sabtu (24/9/2022).
Kehilangan lahan yang merupakan sumber penghidupan memberi duka yang teramat dalam. Para petani menyaksikan sendiri bagaimana buldozer menghancurkan lahan-lahan tanaman-tanaman yang telah meraka tanami. Mirisnya lagi, tanaman itu hancur total padahal dua atau tiga bulan lagi bakal panen. Pengeluaran selama proses produksi yakni biaya pembelian benih, pupuk, obat-obatan habis sia-sia. “Mereka gak peduli apakah tanaman itu sebentar lagi panen atau tidak. Mereka hajar saja. Ini yang buat kita geram dan memicu konflik yang berkepanjangan hingga hari ini,”ujar Agnes, Sabtu (24/9/2022).
Perjuangan petani untuk memohon keadilan telah banyak dilakukan seperti demonstrasi, unjuk rasa, hingga jalan kaki ke Jakarta dari Medan. Tercatat pada pertengahan 2020 lalu, sejumlah 170 orang petani melakukan aksi jalan kaki dari kota Medan menuju Jakarta. Dengan sebulat tekad mereka lalui bersama demi merebut kembali hak mereka. Lebih dari 30 hari diperjalanan, beralaskan tanah, beratapkan langit.
ADVERTISEMENT
“Tapi memang merasa senasib itu gak cukup. Kita perlu buat sebuah aksi agar suara kita petani didengar,” ujar Agnes.

Menanti Resolusi Konflik

Agnes selaku ketua Serikat Petani Simalingkar Bersatu (SPSB) mengatakan bahwa nasib petani seperti digantung, mereka menanti janji manis pemerintah.
Agnes bercerita berbagai gerakan dari petani baik itu demonstrasi, unjuk rasa hingga berjalan kaki ke Jakarta juga tidak memberikan hasil yang cukup besar bagi perjuangan mereka.
Tak berhenti disitu saja, kini malah preman-preman yang bergentayangan di areal konflik. Setiap hari begitu menakutkan bagi petani. “Kita diawasi sama preman, kalau preman ini lebih ngeri dari polisi. Bagi yang bertahan ya bertahan,” kata Jumakitro.
Pengakuan Jumakitro bahwa sebagian petani sudah jenuh dan ada yang menyerah namun banyak pula yang masih bertahan. Bagi mereka yang bertahan karena merasa terikat dengan tanah warisan nenek moyangnya. Maka petani tak akan rela tanahnya dirampas begitu saja. “Mau makan kepikiran, mau tidur pun terbayang-bayang tanah. Tanah dan nyawa itu satu. Satu jalan. Kan kita kembali ke tanah lagi, ucap Jumakitro.
ADVERTISEMENT

Mafia Tanah

Banyaknya mafia tanah juga menjadi salah satu dugaan yang membuat kasus konflik ini tidak selesai. “Banyak mafia dibalik ini semua, kita ga berani terlalu vokal kali karna ada aja yang kejadian sama mereka yang terlalu vokal,” ujar Jumakitro.
Pengamat sosial dan politik Universitas Negeri Medan (Unimed), Dr Bakhrul Khair Amal saat ditemui (4/10) menjelaskan bahwa konflik yang terjadi di Simalingkar A Deli Serdang ini terdiri dari tiga aktor utama yakni petani, Korporasi dan Negara. Korporasi dan Negara seperti menjual mimpi, menjual harapan palsu.
“Sudah sepatutnya masyarakat marah pada negara. Negara tidak hadir secara utuh untuk menyelesaikan konflik ini. Bisa dikatakan abu-abu. Hanya kamuflase belaka,” jelas Bakhrul, saat ditemui (9/10).
ADVERTISEMENT
Bakhrul juga mengatakan bahwa ada bandit-bandit tanah yang sengaja diciptakan. Bandit yang berasal oleh negara dan ada pula bandit yang bersumber dari masyarakat. Konflik adu domba diantara masyarakat petani juga sengaja diciptakan. Tujuannya adalah agar mereka terpecah dan akhirnya tanah yang diperjuangkan itu dapat dirampas dengan mudah oleh pemilik modal.
Lebih lanjut Bakhrul mengungkapkan bahwa Negara tidak memberikan perhatian pada petani. “Masyarakat khususnya petani hanya digunakan untuk meraih suara, kepentingan politik ketika pemilu menjelang. Namun saat genting seperti ini para pemimpin negara lepas tangan”, jelas Bakhrul.
Sekjen SPSB, Ardiansyah Surbakti ketika ditemui (8/10) di Posko SPSB mengungkap bahwa jika konflik ini tak menemui jalan tengah maka petani akan kembali membuat gerakan jalan kaki jilid II. SPSB bersama anggota sepakat untuk mati di dalam perjuangan dibandingkan sia-sia dalam penantian. “Kita sudah ultimatum jika tidak selesai di tahun ini di Tahun 2022 ini kita akan buat jalan kaki jilid II untuk ke Jakarta lagi,” tegas Ardiansyah Surbakti.
ADVERTISEMENT