Kalpataru Gambarkan Kerukunan Umat Beragama di Tuban

Konten Media Partner
19 Mei 2018 23:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
SuaraBanyuurip.com - Ali Imron
SIMBOL KERUKUNAN : Kalpataru peninggalan Sunan Bonang yang berada di Museum Kembang Putih.
ADVERTISEMENT
Tuban - Raden Maulana Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang, bukanlah sosok ulama biasa. Pada masa hidupnya, Sunan Bonang dikenal sebagai pecinta seluruh umat. Tidak hanya dari kaumnya, melain juga mereka yang berbeda keyakinan dengannya.
Sunan Bonang merupakan putra dari Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila, yang dilahirkan pada tahun 1465 Masehi. Salah satu peninggalan yang tak patut lagi diragukan keabsahannya yakni keberadaan Kalpataru. Benda ini menujukan keberagaman yang diajarkan selama hidupnya.
Artefak ini menjadi bukti sejarah yang sudah pernah diuji dengan Karbon-14. Kayu berukir dengan empat cabang pohon ini terbukti dibuat pada masa kehidupan Sunan Bonang, pada rentang waktu 1445 sampai 1525. Benda tersebut kini disimpan di Museum Kambang Putih Tuban.
ADVERTISEMENT
Secara harfiah Kalpataru berarti pohon keinginan atau pengharapan. Bisa juga Kalpataru diartikan sebagai pohon yang dapat mengabulkan segala keinginan manusia yang memujanya.
Pohon berukir ini merupakan penggambaran kerukunan umat beragama pada masa kehidupan sang wali. Islam, Hindu, Budha, dan Kristen, hidup dalam satu lingkungan damai. Tetap memiliki satu tujuan utama yang sama, yaitu menyembah dzat yang satu, Tuhan Maha Esa.
Pengunjung memadati makam waliullah yang hidup pada masa 1445-an, siang itu. Makam yang dilindungi cungkup kayu berukir itu, menjadi magnet bagi pengunjung. Tak jarang dari mereka yang berasal dari Jawa Timur bahkan luar pulau Jawa.
Sunan Bonang, begitu para peziarah mengenalnya. Salah satu dari sembilan wali Allah yang diperintah untuk menyebarkan syiar Islam di bumi Ronggolawe.
ADVERTISEMENT
Nuansa multi kultural jelas terlihat sejak pertama kali memasuki area makam. Arsitektur yang digunakan dalam pembangunan makam, seperti halnya pembangunan pura atau tempat peribadatan agama Hindu.
Bangunan ini memiliki tiga halaman utama, dan masing-masing halaman dipisahkan gapura Paduraksa. Bangunan yang menyerupai candi ini merupakan ciri khas bangunan lama pada masa Hindu-Budha.
Sementara pada halaman kedua terletak Masjid Astana dan dipisahkan oleh gapura serupa. Bedanya, pada gapura III yang memisahkan halaman kedua dan halaman ketiga terdapat hiasan dinding berupa keramik.
Keramik yang menempel di dinding ini diperkirakan benda peninggalan jauh setelah masa Sunan Bonang, atau pada masa kependudukan Inggris di tanah di Jawa. Tidak ada catatan pasti siapa yang menempel keramik tersebut di dinding gapura III.
ADVERTISEMENT
Pada Gapura III pun terdapat Rana yang berfungsi sebagai penghalang pandang. Bangunan semacam ini semakin mencolok mengadopsi bangunan pura.
Pada halaman terakhir, makam sang Wali Allah megah berdiri didampingi empat makam pemangku tahta Kabupaten Tuban pada masa itu. Mereka adalah Adipati Kyai Ageng Gegilang, Adipati Kyai Ageng Botoabang, Adipati Kyai Ageng Ngraseh, dan Adipati Balewod.
Cungkup Makam Sunan Bonang
Selain itu, benda-benda yang ditemukan di sekitar makam, semakin menguatkan multi kultural di atas tanah yang diberkati sang Wali Allah ini.
Koordinator Juru Pelihara (Jupel) Badan Pelindungan Cagar Budaya (BPCB), Endang Sri Wuryani, saat dijumpai di kantornya, menjelaskan banyak benda-benda cagar budaya yang ditemukan di sekitar area makam.
Beberapa benda ditemukan di sekitar makam yang masuk dalam lindungan BPCB antara lain Rana Gapura III, Gapura III, Pendapa rante barat, Pendapa Rante Timur, Gapura II, Pendapa Barat, Pendapa Timur, dan Gapura I.
ADVERTISEMENT
Terkait temuan lepas di komplek makam meliputi, Lapik Arca, Batu Dakon, dan dua buah Lingga tanpa pasangannya. Ketiga benda ini tentu merupakan bagian dari alat upacara.
Ada pula 20 fragmen bangunan berbeda, fragmen bangunan berelief, fragmen batu bergores kompleks, dan umpak. Terkahir ditemukan sebuah bak sebagai wadah air.
Sekian banyak artefak yang ditemukan di area makam menunjukkan betapa Sunan Bonang mau menerima perbedaan antar sesama dalam memeluk keyakinan, namun hanya Kalpataru lah satu-satunya benda yang menguatkan keberagaman yang diajarkan oleh Sunan Bonang.
Di lain sisi, bagian Bimbingan dan Edukasi Museum Kambang Putih, Rony Firman Firdaus, mengatakan, tidak semua benda yang ditemukan di sekitar area adalah peninggalan SunanBonang.
Beberapa benda yang ditemukan di area makam memang jauh sebelum ataupun sesudah masa kehidupan sang wali. Justru inilah yang memunculkan warna historis yang indah dalam keberagaman dalam ajaran beliau.
ADVERTISEMENT
Seperti halnya Lingga-Yoni yang ditemukan di area makam. Kalau benda tersebut dianggap peninggalan Sunan Bonang tentu salah kaprah. Dalam agama Hindu, Lingga yang menyerupai alat kelamin lelaki itu merupakan perwujudan dari Dewa Siwa. Sementara pasangannya, Yoni adalah bentuk perwujudan Dewi Pavarti atau lebih dikenal dengan sebutan Dewi Sati.
"Sebagai tradisi dalam agama tersebut Lingga-Yoni digunakan sebagai tempat menaruh sesaji pada acara keagamaan," ungkap pria yang hobi membaca buku ini.
Menurut angka tahunnya, setelah dites Karbon 14 kalpatarulah yang mendekati masa hidup beliau. Jadi bisa dipastikan peninggalan Sunan Bonang adalah pohon harapan.
Melalui keberagaman yang ditemukan di area makam Sunan Bonang, dapat dikatakan jika beliau adalah seorang ulama yang pluralis. Artinya orang yang mau menerima keberadan yang lainnya.(aim)
ADVERTISEMENT