Cerita Ramadan di Hong Kong

Suciati
Saya Aremanita yang suka baca cerita fiksi dan fotografi disela-sela kewajiban sebagai BMIHK. Belajar - belajar - belajar 💪💪💪
Konten dari Pengguna
19 Mei 2018 3:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Suciati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Ah Ci, kami makan dulu lho wo, kamu nanti malam baru makan kan ya?!” tanya Bobo (85th) yang duduk di belakang meja makan. Di seberang meja, duduk perempuan yang kira-kira berusia belasan tahun lebih muda dari Bobo yang biasa kupanggil Kuma atau Budhe. Kuma anak perempuan Bobo. Biasa makan siang di rumah bersama Bobo dan aku sebelum berangkat kerja jika shift kerjanya lewat tengah hari.
ADVERTISEMENT
Hoak,”(1) jawabku sambil tersenyum lantas melanjutkan aktivitas mencuci ham joy (sayur asin) untuk campuran menu makan nanti malam.
Pukul 12.45 pm, hari ini 17 Mei 2018, aku tidak bergabung dengan Bobo dan Kuma makan siang seperti biasanya, sebab hari ini adalah 1 Ramadan 1439 H dalam kalender islam. Artinya hari ini adalah hari pertama umat muslim di seluruh dunia menjalankan ibadah puasa ramadan.
Bibirku mesam-mesem saat tanganku gesit mencuci sayur asin. Aku teringat pertanyaan-pertanyaan Bobo dan Kuma dua tahun yang lalu. Ketika aku pertama kali meminta izin untuk diperbolehkan menjalankan ibadah puasa ramadhan.
***
Lei can hai emsai sek fan?” (2) tanya Kuma keheranan saat aku bilang, dua hari lagi aku tidak sarapan dan makan siang.
ADVERTISEMENT
Haiya Kuma, hau yat ngo yao caike a, ciu houco to yengman emsai sek fan a.” (3) Jawabku dengan kosa kata yang kubisa dan mudah dipahami. Setidaknya begitulah niatku, sebab aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskan pengertian puasa dengan bahasa kantonis. Apalagi saat itu aku belum satu tahun berada di rumah Bobo.
“Bagaimana bisa?”, sahut Bobo. “Manusia tidak makan seharian, cisiiin!” (4). Aku tertawa mendengar Bobo mengumpat. Di Hong Kong umpatan seperti cisin yang berarti gila atau So a Lei yang bermakna gila ya kamu, adalah hal yang lazim alias umum.
“Iya, Bobo. Memang begitu, kami tidak boleh makan sama sekali.” Jelasku dengan hati-hati.
Takut saja kalau-kalau majikan ku ini tidak mengizinkanku puasa seperti cerita yang kudengar dari beberapa teman BMI di sini. Sebenarnya alasan majikan mereka melarang bukan karena tidak boleh menjalankan perintah agama para pembantu rumah tangga Indonesia yang sebagian besar beragama islam. Melainkan majikan mereka khawatir, jangan sampai dengan membolehkan para kungyan nya (5) puasa, malah berakibat fatal pada kematian. Maklum, tidak makan dan minum seharian belum familiar ditelinga penduduk asli Hong Kong, apalagi jika sebelumnya mereka tidak pernah mengontrak pembantu rumah tangga.
ADVERTISEMENT
“Jadi semua Cece-cece kungyan dua hari lagi tidak makan?” Bobo menegaskan.
“Tidak semua, khusus wuikau yang puasa. Selain agama itu, tidak.” (7) Jawabku singkat. Aku masih tersenyum geli ketika Bobo masih saja mengatakan ‘bagaimana bisa? Memangnya bisa bekerja tanpa makan? Kalau mati bagaimana?’, kepadaku. Kecemasan yang lucu, pikirku.
“Kalau begitu, kalau puasa kamu minum air yang banyak, biar tidak lapar, hahahaa..” Kuma seakan punya solusi agar panasnya cuaca di Hong Kong tidak sampai membuatku malas bekerja.
Dengan cepat aku menyahut sambil tersenyum geli, “Minum juga tidak boleh Kuma.”
“Minum pun tidak?! Cisiiiin!” Aku terbahak. Kalau dipikir, enak saja tidak makan malah minum sampai kenyang. Sungguh solusi yang polos sekali wkwkwk.
ADVERTISEMENT
Tapi begitulah konsekuensi saat mengenalkan adab dan adat kita pada orang baru yang belum pernah mengenal kewajiban beragama kita. Bisa jadi kita dilarang sebab alasan-alasan kecemasan akan kesehatan kita, takut rugi menggaji karena kita jadi malas bekerja, atau memang mereka tidak ingin ada aktivitas agama lain dalam rumah mereka. Syukur Alhamdulillah karena pada akhirnya aku diperbolehkan majikan untuk puasa ramadan. Sebab tidak sedikit juga BMI di Hong Kong yang menjalankan puasa mereka secara sembunyi-sembunyi. Sungguh semangat ketuhanan yang pantas diacungi jempol.
(Dua hari kemudian, Juni 2016)
Sabtu sore ketika Kuma dan Bobo menonton TV.
“Ah Ci, jam berapa kamu boleh makan?”
“Kalau hari sudah gelap dan tidak ada sinar matahari, baru boleh minum, Kuma.” Jawabku sok dengan kalimat panjang.
ADVERTISEMENT
“Kalau begitu sekarang kamu boleh minum lah, kan sudah tidak ada matahari,” jari Kuma menunjuk langit di luar flat.
Reflek saja aku menjawab dengan nada gemas, “itu kan mendung Kumaaaaa, bukan mataharinya yang tenggelam.”
Lantas Bobo menyahut dengan kata andalannya, “So a Lei!” pada Kuma, dan tawa kami pun membahana.
***
Ketika kenangan sudah buyar, sayur asin telah bersih kucuci. Beraneka bakso dan tahu goreng juga sudah selesai dipotong. Bahan-bahan untuk Po Wutung (mi udon kuah) untuk nanti malam telah lengkap dan beres. Semua pekerjaan tetap tertangani walaupun aku berpuasa, seperti yang sudah-sudah. Saat kemudian Bobo menyuruhku beristirahat selepas mencuci mangkuk. Itu adalah bonus toleransi yang juga patut disyukuri. Alhamdulillah.
ADVERTISEMENT
***
Selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalankan. Semoga kita selalu diberikan kesehatan dan kelancaran dalam berpuasa. Aamiin.
***
Note :
(1) iya.
(2) “Kamu beneran tidak usah makan?”
(3) “Benar Kuma, lusa aku puasa. Dari pagi sampai malam tidak usah makan.”
(4) Gila atau edan
(5) pembantu
(6) Agama islam