Sekali Lagi, soal Dinasti Politik

Suciliani Octavia
Peneliti Akar Rumput Strategic Consulting
Konten dari Pengguna
4 Maret 2021 14:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Suciliani Octavia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Politik Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Politik Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Kontestasi Pilkada yang digelar serentak pada Desember 2020 lalu, diikuti oleh calon kepala daerah berusia muda. Selain diselenggarakan di saat pandemi Covid-19, kehadiran anak muda dalam ajang pilkada kali ini menjadi sangat menarik dibandingkan Pilkada beberapa tahun sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Setidaknya terdapat 35 kepala daerah terpilih yang berusia di bawah 45 tahun dari 178 kepala daerah yang terpilih. Artinya sebanyak 19,7 persen dari 270 daerah yang melaksanakan Pilkada 2020 dipimpin oleh kepala daerah milenial. Seperti, Surakarta, Medan, Kendal, Trenggalek, Kediri, Ogan Ilir, Gowa, dan daerah lain.
Kehadiran para pemimpin muda atau milenial di lingkungan pemerintahan ini diharapkan mampu memberikan solusi melalui inovasi-inovasi baru untuk memajukan masing-masing daerah yang dipimpinnya.
Namun, nampaknya harapan ini bisa menjadi semu jika pemimpin muda yang duduk di pemerintahan hanya semata mengandalkan dukungan atau koneksi keluarga yang kebetulan tengah memiliki akses di kekuasaan.
Kontestasi Pilkada pada Desember 2020, hadirkan 35 pemimpin muda baru.
Betul bahwa dinasti politik atau politik kekerabatan tidak menyalahi aturan yang ada. Dalam demokrasi setiap orang memiliki kesetaraan yang sama untuk ikut dipilih dan memilih. Demokrasi yang sehat juga mensyaratkan rekrutmen kepemimpinan harus dilakukan terbuka dan kompetisi politik dilakukan berdasarkan merit system, yakni berbasis kapasitas serta integritas. Sementara, sulit dibantah, dinasti politik sebaliknya berpotensi menutup kompetisi dan kontestasi yang sehat dan terbuka tersebut.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sejujurnya, fenomena dinasti politik mengakibatkan apatisme warga yang akibatnya mobilisasi politik kerapkali harus digerakkan dengan politik uang. Praktik demokrasi melalui pelaksanaan pilkada menjadi aktivitas selebrasi yang mahal dan formalitas. Demokrasi seolah hanya menjadi panggung elite semata.
Persoalan politik dinasti apalagi jika ditambah dengan problem korupsi yang terjadi di pemerintahan maka situasinya akan menjadi semakin runyam. Terlebih jika posisi di pemerintahan rawan ditunggangi kepentingan bisnis keluarga dan oligarki. Maka, ‘check and balance’ terhadap pemerintah semakin sulit diwujudkan oleh rakyat di daerah. Demokrasi hanya berjalan pura-pura.
Problemnya memang di partai politik. Sejauh mana partai politik secara konsisten membangun dan menjalankan institusi dan prinsip demokrasi yang sehat. Antara lain dengan melakukan rekrutmen, kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan politik yang baik.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus pilkada, pencalonan kandidat oleh partai tidak bisa hanya berdasarkan keinginan elite partai. Prosesnya harus melalui mekanisme demokratis yang mempertimbangkan kapabilitas, kemampuan, pengalaman dan integritas calon, baru kemudian aspek elektabilitas.
Beberapa tahun lalu Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menghapus pasal anti dinasti politik yang sudah tercantum dalam UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Hal ini dikarenakan pasal tersebut dianggap bertentangan dengan konstitusi dan UUD 1995 untuk dipilih dalam politik. Adapun sebenarnya pasal tersebut dapat menjadi penghalang suburnya dinasti politik yang semakin merambah kuat.
Oleh karenanya, pemimpin muda terpilih saat ini harus mampu menunjukkan kemampuannya untuk memajukan daerah. Jika telah terpilih dalam pilkada dan telah dilantik antara lain karena-diakui atau tidak-mendapat pengaruh atau akses kekerabatan dari penguasa maka mereka harus mampu menunjukkan kesungguhan, kemampuan dan komitmen untuk bekerja secara baik dalam melayani serta mensejahterakan rakyat, jujur, tidak korupsi, tidak menyalahgunakan jabatan, dan berorientasi pada kemaslahatan dan penguatan demokrasi.
ADVERTISEMENT
Kesempatan anak muda dalam memimpin daerah adalah momentum terbaik dalam demokrasi Indonesia di era milenial ini. Jangan disia-siakan mandat mulia dan kesempatan emas tersebut. Tunjukkan pada rakyat, pada bangsa dan negara, bahwa anak muda juga bisa membuat prestasi membanggakan memimpin negeri ini.
Harapannya pemimpin muda yang terpilih saat ini tetap berani untuk teguh pada visi misi anak muda yang idealis. Meskipun tentunya banyak tantangan dalam implementasinya. Termasuk juga rintangan menghadapi dinamika birokrasi dan partai politik. Serta menghadapi beragam kepentingan bisnis dan godaan dinasti politik yang bisa membusukkan demokrasi dan menjauhkan amanah melayani rakyat secara tulus. Jangan sampai berujung ironis berakhir penyakitan sebagai tersangka OTT KPK.
Mohon maaf jika tulisan ini menyinggung atau membuat tidak nyaman sebagian pihak. Tapi tulisan ini tak bermaksud buruk. Hanya ingin memberi peringatan dan memberi semangat agar Indonesia menjadi semakin baik, bersatu, demokratis, kuat, makmur, adil dan maju. Anak muda adalah kesempatan terbaik bangsa ini untuk bertransformasi. Berikan mereka ruang untuk merangkai masa depan bangsa ini, jangan malah membebani mereka dengan dosa dan keburukan masa lalu.
ADVERTISEMENT