news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Erdogan dan Spirit Ottoman

Sudarnoto Abdul Hakim
Akademisi dan pengamat sosial keagamaan dan politik
Konten dari Pengguna
27 Juli 2020 8:10 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sudarnoto Abdul Hakim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengunjungi Hagia Sophia di Istanbul, Turki. Foto: Murat Cetinmuhurdar / via REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengunjungi Hagia Sophia di Istanbul, Turki. Foto: Murat Cetinmuhurdar / via REUTERS
ADVERTISEMENT
Seakan mengulang peristiwa 23 Maret 1453 saat Sultan Mahmud II “al-Fatih” (the Conquer) dengan pengawalan pasukan besarnya untuk pertama kali melaksanakan Salat Jumat sejak Konstantinopel jatuh ke tangan Ottoman dan menjadi masjid Aya Sophia, Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan 24 Juli 2020 melaksanakan Salat Jumat pertama kali sejak Aya Sophia menjadi museum di bawah pemerintahan Turki Sekular. Diperkirakan 350.000 Jemaah tidak saja memenuhi masjid, akan tetapi juga memadati di sekitar masjid dan bahkan di jalan-jalan utama di Istanbul. Satu hari sebelumnya, tidak sedikit anak muda berkeliling sambil mengumandangkan Tasbihet, mirip Takbiran jelang Idul Fitri di Indonesia. Meskipun tidak semua kalangan masyarakat Turki mendukung konversi Aya Sophia ini, bahkan protes juga muncul dari berbagai kalangan masyarakat internasional, akan tetapi membludaknya masyarakat pada hari Jumat sejak pagi hari memberikan sinyal kuat bahwa Erdogan telah membuat langkah penting, bersejarah dan juga sensitif.
ADVERTISEMENT
Pasang Surut Ottoman
Ottoman dikenal sebagai salah satu dinasti superpower terbesar dan terlama dalam sejarah dunia. Tidak saja karena kekuatan militernya yang efektif pada abad ke 16, akan tetapi Ottoman juga ditegakkan di atas kekuatan masyarakat multi kultural dan agama. Secara umum, kebesaran Ottoman sepanjang abad pertengahan nampak sangat mengesankan tentu saja sejak keberhasilannya, di bawah kepemimpinan Sultan Mahmud II, mengalahkan kerajaan besar dan sangat berpengaruh yaitu Bizantium. Kekuasaan Ottoman ini menguasai Timur Tengah, Eropa Timur dan Afrika Utara lebih dari 600 tahun. Meskipun secara internal tidak jarang didera oleh berbagai konflik horizontal dan bahkan mempengaruhi hubungan dengan berbagai wilayah kekuasaannya di Eropa, akan tetapi tetap saja Ottoman telah menunjukkan dengan gamblang bahwa kebesaran sebuah kekuasaan Khilafah Islam yang berpusat di Turki (selain Savawi dan Mughol) tegak berdiri setelah mengalahkan Bizantium di abad pertengahan.
ADVERTISEMENT
Kebesaran Ottoman ini antara lain bisa dilihat dari sisi arsitektural kerajaan tidak saja yang ada di Turki akan tetapi juga di banyak wilayah taklukannya. Gedung kerajaan dilengkapi dengan berbagai fasilitas penting dengan bangunan yang juga indah misalnya Cami (masjid) dan kompleks besar (Kulliye) yang terdiri dari Shifahane (rumah sakit), Medrese (sekolah), Imaret (dapur umum), Tabhane (guest house), Hamam (pemandian). Istana indah, berbagai jembatan kokoh, Kervansarays (hotel), tempat wisata, taman juga dibangun yang hingga saat ini masih bisa disaksikan. Paling tidak ada 10 situs penting yang hingga saat ini masih bisa disaksikan sebagai destinasi wisata bersejarah yaitu Yeshil Cami (masjid biru) di Bursa yang merupakan masjid Ottoman pertama yang dibangun tahun 1412 oleh Sultan Mehmet I. Tidak jauh dari masjid ini, terdapat makam Sultan Mehmet I yang indah, Yeshil Turbe. Kemudian pasar sutera (Koza Han) besar di Bursa (1491), Masjid Selimiye (1569),Masjid Sultan Beyazid II (1848), istana Rustem Pasha yang kemudian saat ini menjadi hotel (Kervansaray) dibangun tahun 1561, istana Dolmabahsha Istambul (1856), Masjid Sulaimaniyah Istanbul (1557) dan Istana Topkapi yang terletak di puncak bukit kota Istanbul (1685).
ADVERTISEMENT
Gedung dan berbagai situs di atas sekaligus menunjukkan sebuah peradaban besar dibangun oleh Ottoman dengan beberapa pilar penting yaitu kekuasaan politik yang efektif, kekuatan militer, peradaban ilmu sains teknologi dan seni, basis ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, social dan agama. Secara kultural, tak berlebihan pendapat yang mengatakan “the Sultans were aware that the empire was multi-cultural and multi-religious, with Christians, Jews, Mulims and others all living together.” Orang-orang non muslim yang berada di wilayah Mediterranian merupakan “ahlud dhimmah” (warga yang dilindungi atau protected people) dalam tradisi politik Islam. Secara militer, kekuasaan Ottoman ini juga berhasil menerapkan prinsip“kooptasi” dan “kompromi” sehingga kekuasaan politik menjadi efektif dan stabil. Hal ini diperkuat dengan penegakan hukum untuk “keadilan.” Ini ditunjukkan misalnya di era Sultan Sulaiman yang dikenal sebagai “Kanuni” penegak hukum. Hak-hak hukum warga negara baik muslim maupun non muslim dan bahkan bagi kaum perempuan diberikan. Jadi, diskriminasi berbasis agama, budaya dan gender dalam sistem hukum Ottoman sangat dihindari. Khusus soal perempuan, kisah seorang tokoh perempuan yang sangat legendaris dalam sejarah Turki “Roxelana” sangat penting. Istri Sultan Sulaiman yang semula adalah budak perempuan beragama Kristen yang ditangkap saat berusia 13 tahun telah menjadi pemula dan icon peran perempuan dalam bidang politik di Turki Ottoman. Begitu pentingnya peran Roxelana, ia sering disebut sebagai “Hurrem Sultan” atau Sultanate of Women.
ADVERTISEMENT
Jadi, tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa benih Ottoman sebagai Monarki Konstitusional sudah mulai muncul era Sultan Sulaiman. Kemudian semakin memperoleh bentuknya yang lebih sempurna pada akhir abad ke 19. Di akhir abad ke 19 ini juga mulai diterapkan pemilihan parlemen dan dengan demikian elemen demokrasi kelembagaan semakin terasa hingga bangkitnya “Young Turks.” Kelompok ini berusaha melakukan restorasi konstitusi, membatasi monarki dan membangun kembali kebesaran Ottoman yang sudah mulai mengalami pelemahan. Gagasan dan gerakan Turki Muda yang sebetulnya telah berhasil melancarkan revolusi tahun 1908 ini menimbulkan pertentangan serius hingga Ottoman mengalami pelemahan yang semakin serius seiring dengan berbagai kerusuhan dan perang Balkan tahun 1912. Situasi semakin memburuk sejak pemerintah Ultranasionalis melakukan tindakan yang dianggap sangat memalukan dalam sejarah Ottoman yaitu genosida terhadap kurang lebih 1,5 juta orang suku Armenia antara tahun 1915-1923. Keruntuhan Ottoman semakin tak terhindarkan karena mengalami kekalahan dalam Perang Dunia I, sistem Kekhilafahan bubar tahun 1924 dan Turki pada akhirnya dikendalikan oleh Kemal Attaturk dengan sistem pemerintahan Republik Sekular.
ADVERTISEMENT
Turki Modern Sekular
Sistem republik dengan Sekularisme sebagai basis ideologi di bawah Atataturk, menandai munculnya sebuah negara bangsa baru yaitu Turki modern. Di bawah kepemimpinannya, dengan sistem partai tunggal, Ataturk secara sistematis menghapus institusi monarki dan semua simbol kultural Ottoman sambil menerapkan sistem hukum barat. Tidak saja menutup dan mengubah Aya Sophia menjadi museum, Ataturk juga membatasi sangat ketat institusi Islam dan ekspresi keislaman publik. Tidak saja menghapuskan Islam sebagai agama resmi negara melalui amandemen undang-undang dasar tahun 1924, Ataturk membangun sebuah negara modern, demokratis, secular dengan ideology Kemalisme. Prinsip sekularisme Turki ini tidak sekadar memisahkan antara negara dan agama, akan tetapi juga meliputi lingkungan sosio kultural yang dinilai masih dipengaruhi antara lain oleh dogma, termasuk agama. Negara benar-benar mengontrol masyarakat secara ketat melalui undang-undang tentang agama.
ADVERTISEMENT
Namun pada kenyataannya, Turki tidak benar-benar sekular dan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini nampak, misalnya, dalam kaitannya dengan kebijakan agama. Diyanet Ishleri Bashkanligi (kementerian agama) yang diberi tugas untuk mengatur kehidupan beragama ternyata justru bersikap diskriminatif memberikan dukungan penuh kepada Suni Hanafiy sebagai mayoritas dan tidak memberikan bantuan kepada kelompok minoritas muslim Ja’fariyah dan Tarekat Alavi Bektashi. Kelompok minoritas agama Alvi Bektashi, Ja’fary dan bahkan Katolik dan Protestan tidak diberikan pengakuan secara resmi oleh negara. Sekularisme Kemalisme mengalami kegagalan dan melemahnya sekularisme mulai terasa seiring dengan perubahan politik di Turki, di mana aspirasi politik Islam mulai muncul di permukaan dengan berdirinya sebuah partai konservatif moderat yaitu AKP (Adelat ve Kalkinma Partisi) yang kemudian memberikan jalan, khususnya, kepada Erdogan sang pendiri partai, sebagai Perdana Menteri dan kemudian presiden.
ADVERTISEMENT
Babak Baru Turki
Menurut catatan, Erdogan muda yang pernah belajar agama secara intensif dan tamat dari Imam Hatip School tahun 1973 sangat terpesona dengan kebesaran Ottoman. Mungkin dia bukan satu-satunya yang berbangga hati terhadap Ottoman dan sekaligus menginginkan kehebatan ini terwujud kembali. Ini menjadi salah satu sumber inspirasi Erdogan untuk belajar dan menjadi pemimpin politik. Dia ingin mengembalikan kebesaran kekuatan Islam politik masa lalu. Meskipun tidak diterima, Erdogan sempat berkeinginan belajar di Makteb-I Mulkiye, tempat di mana banyak pemimpin dan politisi belajar. Spirit keislaman dan politik yang telah terbentuk sejak usia mudanya, memperoleh momentum yang baik. Pertama kali ia memimpin Partai Kesejahteraan (Refah Partisi) di Istanbul dan melalui partai ini Erdogan berhasil menjadi Wali kota Istanbul. Dikenal sebagai wali kota yang berhasil, karier politik Erdogan terus melaju hingga akhir tahun 1990an.
ADVERTISEMENT
Tahun 2001 Erdogan mendirikan sebuah partai berhaluan Islam yaitu Adelat ve Kalkinma Partisi atau AKP. Dalam waktu cepat AKP berhasil menjadi partai terbesar di Turki. Militer yang dalam waktu panjang sejak pemerintahan Kemal menjadi pendukung setia sekularisme membungkam kekuatan social politik Islam, berhasil menjadi mitra Erdogan. Melalui partai ini karier politik Erdogan tak terbendung dan mengantarkan ke kursi Perdana Menteri dan kemudian Presiden hingga hari ini.
Jalan Erdogan untuk mewujudkan mimpi masa mudanya untuk mewujudkan kebesaran Ottoman di abad 21 nampak terbuka. Tanpa harus menghidupkan sistem monarki atau kekhilafahan yang telah mengalami dekadensi dan kejatuhannya pada tahun 1924, Erdogan nampak bergerak ingin menjadikan Turki sebagai sebuah negara muslim modern yang besar, kuat, maju dan berpengaruh secara global baik di kalangan negara-negara muslim anggota OKI maupun negara-negara non muslim lainnya. Meskipun menghadapi masalah dan tantangan yang tidak ringan, antara lain kesulitan ekonomi akibat Pandemi dan ancaman kekalahan menghadapi pemilu, akan tetapi Erdogan melihat adanya peluang besar untuk melakukan perubahan penting di Turki sekaligus memainkan peran strategis di panggung politik global yang selama ini sebetulnya sudah dilakukan dan menempatkan Erdogan sebagai pemimpin yang sangat berpengaruh.
ADVERTISEMENT
Konversi Aya Sophia menjadi masjid meskipun dianggap melukai banyak kalangan karena akan merusak relasi dan persahabatan antara agama-agama dunia, adalah satu langkah saja dari sejumlah langkah politik ke depan Erdogan untuk mewujudkan mimpi kebesaran yang pernah diraih Ottoman bisa diwujudkan di abad ini. Kali ini adalah babak baru perubahan Turki yang secara politik sedang diracik oleh Erdogan pasca konversi Aya Sophia. Wallahu a'lam
Oleh: Sudarnoto Abdul Hakim
Penulis:
Assoc.Prof. FAH UIN Jakarta, Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Wakil Ketua Majelis Diktilitbang PP. Muhammadiyah.
ADVERTISEMENT