Misi Liberasi Guru

Sudarnoto Abdul Hakim
Akademisi dan pengamat sosial keagamaan dan politik
Konten dari Pengguna
25 November 2019 20:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sudarnoto Abdul Hakim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi guru di sekolah inklusi Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi guru di sekolah inklusi Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Sebagai bangsa kita patut bersyukur karena telah melahirkan banyak tokoh, pemimpin, cendikiawan, negarawan dan anak-anak bangsa yang membanggakan karena kepribadian, kepiawaian dan dedikasi mereka membangun negeri ini bahkan tanpa pamrih.
ADVERTISEMENT
Mereka semua adalah murid-murid dari guru yang mengajarkan dan memperluas pengetahuan sekaligus memperkokoh watak serta menunjukkan jalan kehidupan yang mencerahkan. Mereka adalah benar-benar guru yang memiliki pengetahuan, kearifan budi dan karakter yang kuat dan berhasil melahirkan anak-anak bangsa yang juga berpengetahuan, arif berbudi, dan berkarakter kokoh.
Itulah manusia Indonesia, hamba-hamba Allah dan anak bangsa pilihan yang mewarisi semangat membangun kehidupan yang mencerahkan. Tak bisa dipungkiri bahwa "guru-murid" menjadi bagian yang sangat penting dari rekayasa masa depan bangsa.
Karena itu guru-murid janganlah dipandang sebagai mesin industri yang melahirkan produk manusia mesin atau manusia mekanik yang hanya memiliki kemampuan teknikal tanpa ruh. Guru-murid janganlah dipahami sebagai hubungan kontraktual yang diikat oleh komitmen finansial. Guru-murid juga jangan diperlakukan sebagai patron-client, atasan-bawahan, yang memerintah dan yang diperintah, yang mendominasi dan yang didominasi.
ADVERTISEMENT
Corak guru-murid di atas, tidak akan mampu melahirkan orang-orang besar dan masyarakat dengan peradaban yang besar. Yang akan muncul justru manusia dengan mental tukang atau mental budak. Guru-murid adalah esensi kehidupan yang benar-benar berorientasi kepada upaya serius dan seksama untuk misi humanize human. Karena itu, soal kepribadian, soal martabat, soal nurani menjadi sangat penting. Inti pendidikan adalah menanamkan dan memperkokoh nilai-nilai kemanusiaan; menghargai diri sendiri, orang lain apa pun latar belakangnya dan melahirkan orang-orang yang bisa memberikan manfaat kepada orang lain.
Siapa Guru Itu?
Ilustrasi guru dan murid. Foto: Thinkstock
Dalam sejarah dan tradisi pendidikan di Indonesia, banyak istilah yang digunakan untuk menunjuk guru. Dengan keunikan makna dari berbagai istilah itu, ada titik-titik persamaan:
ADVERTISEMENT
1. Dalam tradisi agama Hindu, guru adalah simbol bagi sebuah kuil yang berisi pengetahuan dan juga pembagi ilmu; guru adalah panduan spiritual atau kejiwaan siswa. Di kalangan komunitas agama Buddha, guru adalah orang yang membimbing murid-muridnya di jalan kebenaran. Bahkan, guru diyakini sebagai titisan Buddha atau Bodhisattva.
Sementara itu, masyarakat India, Cina dan Mesir menganggap bahwa seorang guru adalah merupakan imam atau nabi. Oleh karena itu, mereka sangatlah dihormati bahkan lebih kuat dari orang tua. Posisi sosial Guru (apapun istilah yang diigunakan oleh komunitas yang berbeda) sangatlah tinggi.
2. Guru, dalam perspektif Indonesia adalah seorang pengajar profesional suatu ilmu tertentu; guru secara umum merujuk kepada pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik atau murid pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Tugas guru adalah di sekolah.
ADVERTISEMENT
Guru dalam pengertian ini harus mempunyai kualifikasi formal. Pengertian ini tertuang di dalam Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Undang-undang ini menunjukkan secara gamblang bahwa guru sangatlah penting sehingga pemerintah haruslah ikut memfasilitasi guru agar pendidikan tidak salah arah dalam menyiapkan manusia Indonesia.
Proses politik dan legislasi yang melibatkan banyak orang sangat diperlukan untuk meyakinkan bahwa memperjuangkan guru dan pendidikan berarti memperjuangkan agar hak-hak masyarakat untuk menikmati pendidikan memperoleh perlindungan. Disamping itu, proses-proses ini juga dimaksudkan agar pendidikan tidak stagnan tapi maju, kompetitif dan pada akhirnya mewujudkan Indonesia emas.
3. Dalam tradisi pendidikan Islam tradisional di tempat kita, dikenal istilah ustaz dan kiai. Berbeda dengan guru, ustaz dan kiai bukanlah profesi sebagaimana yang dimaksudkan dalam Undang-undang guru dan dosen. Bahkan para Kiai itu juga ulama yang senantiasa terpanggil untuk memberikan suluh menerangi masyarakat. "Al-Ulama masobihul ummat, " ulama adalah obor umat. Kiai, ulama dan seharusnya juga ustaz/asatidz adalah mereka yang secara intelektual memiliki pengetahuan keislaman yang luas, ketinggian atau keluhuran moral atau akhlakul karimah dan pribadi yang kokoh, didengar dan diikuti arahan dan petunjuk-petunjuknya oleh murid dan umat. Dari merekalah para murid, santri dan umat menimba ilmu dan kearifan, mencontoh dan mengikuti petuah dan sikap, mengharap solusi terhadap masalah yang dihadapi dan bermohon arah kehidupan masa depan yang cerah. Tidak seperti yang terjadi dengan guru, hubungan kiai/ulama-santri umat sangatlah personal bukan kontraktual industrial.
ADVERTISEMENT
Apa pun, uraian di atas menegaskan bahwa guru, ustadz, kiai dan ulama sama sama figur penting, dihormati karena kelebihan intelektual moral dan kepribadiannya, memotivasi dan menginspirasi dan diteladani. Mereka juga instrumen fundamental untuk tatanan kehidupan dan peradaban agung.
Misi Pembebasan
Salah satu penyakit bangsa kali ini adalah semakin hilangnya respek. Yang terjadi adalah saling menghina, menghujat, merendahkan dan membenci atas nama apa pun untuk berbagai alasan. Bahkan tindakan yang tidak terhormat justru juga terjadi di lembaga pendidikan. Yang juga tak kalah memprihatinkan ternyata tindakan kekerasan, pengeroyokan, bulli, pelecehan seksual, pemerasan justru dilakukan oleh anak-anak di bawah umur dan tersebar secara meluas lewat media sosial yang juga sudah sangat telanjang. Kemudian, masalah faktual lainnya yang berkembang dalam panggung kehidupan berbangsa kita adalah merajalelanya persekongkolan berbagai kelompok yang nampak secara terus menerus tanpa rasa malu menggerogoti dan membangkrutkan kekayaan dan merongrong ideologi bangsa yaitu Pancasila.
ADVERTISEMENT
Karena itu, melalui para guru lembaga pendidikan haruslah benar-benar memiliki elan vital yang kokoh tidak saja untuk memajukan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni akan tetapi juga membangun dan memperkokoh karakter. Tidak ada lagi tindakan fitnah, bully, hoax, kriminalitas, pembohongan, penipuan, korupsi yang melibatkan civitas akademika lembaga pendidikan baik sebagai korban maupun sebagai pelaku. Misi mulia dan utama para guru, melalui lembaga-lembaga pendidikan, tidak sekedar memberlangsungkan tugas rutin harian pendidikan, mengembangkan IPTEK, akan tetapi juga melindungi sekaligus membebaskan pendidikan dari berbagai belenggu: kejahatan, amoralitas, budaya dan ideologi-ideologi menyimpang dari manapun asalnya. Misi transfornatif liberatif guru ini dalam bahasa agama Islam disebut sebagai dakwah Amar Ma'ruf Nahy Munkaar.
ADVERTISEMENT
Bangsa ini sama sekali tidak bisa berharap kepada orang-orang yang memperlakukan pendidikan dengan cara-cara yang ugal-ugalan dan tidak beradab. Jangan serahkan pendidikan dan masa depan bangsa ini kepada orang-orang yang keropos hati, otak dan kepribadiannya. Karena itu pemerintah dan masyarakat berkewajiban menjaga dan melindungi guru-guru sejati yang benar-benar mengerti makna esensial dan arah kehidupan ke depan. Pendidikan dan guru seharusnya mengemban misi mulia untuk kemuliaan bangsa. Memang berat menjadi guru sejati karena ini adalah keterpanggilan untuk melahirkan generasi yang disebut-sebut Alquran sebagai "Khoiru Ummah." Namun, tentu saja "ibdak binafsika" mulai dari masing-masing pribadi guru untuk memerdekakan diri dari belenggu-belenggu di atas agar menjadi guru sejati. Selamat bapak ibu guru.
ADVERTISEMENT
Penulis: Ketua Komisi Pendidikan dan Kader MUI Pusat, Wakil Ketua Majelis Dikti PP Muhammadiyah, Associate Professor FAH UIN Jakarta.