Muhammadiyah dan Peradaban ke Depan

Sudarnoto Abdul Hakim
Akademisi dan pengamat sosial keagamaan dan politik
Konten dari Pengguna
12 November 2019 7:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sudarnoto Abdul Hakim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kiai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis  Foto: wikimedia commons
zoom-in-whitePerbesar
Kiai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis Foto: wikimedia commons
ADVERTISEMENT
Oleh: Sudarnoto Abdul Hakim

Monoteisme Liberatif

Kemurnian akidah adalah landasan bangunan peradaban. Atas dasar ini, cara pandang serba duniawi itu menyesatkan dan membelenggu. Karena itu harus ada keberanian memotong leher kebudayaan duniawi sekular dan menggantinya dengan kebudayaan/peradaban alternatif yang mencerahkan.
ADVERTISEMENT
Inilah peradaban luhur yang dibangun di atas landasan Tauhid. Cak Nur menyebutkan Tauhid sebagai sekularisasi: memisahkan yang sakral tetap sakral, yang profan tetap profan, tidak dicampur atau dibalik-balik. Purifying the faith adalah desakralisasi alam, jangan menuhankan alam duniawi material karena mendorong perilaku koruptif, hedonis, menumpulkan sensitivitas nurani, dan mendangkalkan akal, menyebabkan ketidakadilan.
Memurnikan Tauhid, bermakna: (1) Menata hati dan cara pandang supaya tertib tidak menyeleweng. Hati yang menyeleweng mengakibatkan angkara murka, kerakusan, hawa nafsu permisif. Akal yang menyeleweng mendorong filsafat, rasionalitas, dan produk ilmu pengetahuan dan teknologi sangat eksploitatif dan mengakibatkan kegelapan karena ilmu pengetahuan tidak tumbuh dengan sehat. Lalu, penyelewengan cara pandang membuat hidup tak bertujuan. (2) Membebaskan dari belenggu filsafat duniawiyah (materialisme, hedonisme) dan berarti membebaskan dari eksploitasi, ketidakadilan, kerakusan, korupsi, penindasan, diskriminasi. (3) Memperkokoh spirit al-Ma’iyah (kebersamaan), menolak al-Tafaruq (pertentangan, konflik, antagonisme), memperkokoh al-Musawat (kesamaan, kesederajatan, equity atau egaliter), al-Tawazun (keseimbangan), al-Adalah (keadilan), al-Wasth (moderat) dan penghormatan terhadap perbedaan.
ADVERTISEMENT
Esensi purifikasi yang dilancarkan Dahlan dan Muhammadiyah tidak sekadar memberantas takhayul, bidah, dan khurafat, tapi membebaskan mereka yang terpinggirkan secara sosial, eknonomi, dan bahkan kultural, intelektual dan politik, dan mereka yang terbelenggu dengan kenikmatan hedonis-materialis.
Manifestasi tauhid ialah membebaskan siapa saja yang martabat dan kedaulatannya terbelenggu dan terinjak-injak. Muhammadiyah mengikuti Muhammad Rasulullah melancarkan gerakan sosial keagamaan liberatif dan mencerahkan. Atas dasar ini juga jihad konstitusi pernah digelorakan agar: (1) masyarakat, negara, dan bangsa terbebaskan dari belenggu kenestapaan strukturalnya. (2) kedaulatan dan martabat masyarakat, negara, dan bangsa terlindungi. Jihad ini secara teologis memiliki landasan kuat dan secara kebangsaan sungguh dibutuhkan.
Ilustrasi pendidikan Foto: Pixabay

Renaissans Pendidikan

Muhammadiyah menawarkan pendidikan alternatif dari pendidikan dikotomik sekular dan pendidikan Islam di pondok-pondok pesantren. Pendidikan ini berupaya mengangkat derajat dan membebaskan masyarakat dari keterpurukan akibat kebijakan diskriminatif pemerintah.
ADVERTISEMENT
Banyak masyarakat yang tidak memperoleh akses pendidikan yang wajar karena diskriminasi dan Muhammadiyah menyediakannya. Orientasi humanistik ini sangat khas di Muhammadiyah. Pendidikan pada hakikatnya membangun manusia seutuhnya: kepribadian diperkuat, wawasan dikembangkan, dan integritas diperkokoh.
Bukan seperti pabrik melahirkan pekerja yang mampu meraup economic advantages sebesar-besarnya. Ada tujuan moral, ada soal Tuhan, kepribadian, ilmu integratif, dan komitmen membangun kesejahteraan sejati. Kebudayaan yang memberikan tempat bagi kemanusiaan harus dibangun melalui pendidikan paradigmatik seperti ini.
Kepeloporan pendidikan liberatif-humanistik berkemajuan ini langkah berani karena dilakukan dalam suasana keterbatasannya sambil menjanjikan kemajuan. Gerakan pendidikan filantropis ini mendorong perkembangan pesat pendidikan Muhammadiyah bahkan hingga hari ini.
ADVERTISEMENT
Muhammadiyah memang memiliki pengalaman panjang mengelola pendidikan modern dengan modal spirit pembebasan, kemanusiaan, kemajuan, dan filantropik. Ini kepeloporan Muhammadiyah untuk renaisans pendidikan sebagai pilar penting kebudayaan berkemajuan dan peradaban luhur.
Eksistensi dan kehadirannya, bahkan hingga saat ini, tetaplah relevan mengingat banyak terjadi kekusutan di dunia pendidikan kita. Masyarakat skeptis atas ketidakberdayaan lembaga pendidikan sebagai tempat yang menyenangkan menyemai ilmu, memperkokoh kepribadian, dan menempa integritas. Karena itu, Muhammadiyah harus menjadi pelopor renaissans pendidikan jilid II, sebagai alternatif pendidikan yang kusut tidak memiliki kemampuan melahirkan kebudayaan luhur.

Diplomasi Kultural

Sejarah mencatat adanya hubungan intelektual keagamaan Dahlan dengan para ulama. Bersama Hasyim Asy’ari (pendiri NU), Dahlan menjadi murid KH. Saleh Darat Semarang. Di kemudian hari Dahlan bersama Hasyim Asy’ari menjadi murid Muhammad Mahfud Tarmasi (ahli hadis dan ushul fikih) yang mendapatkan julukan al-Allamah al-Muhadits al-Musnid al-Faqih al-Ushuli al-Muqri dari Syeikh Yasin al-Fadani (ulama Makkah dari Padang). Mereka belajar fikih syafii dan ilmu kalam Asy’ari.
ADVERTISEMENT
Di Makkah, Dahlan juga murid Syekh Ahmad Khatib (ulama Syafii), keturunan hakim kaum Paderi dan tokoh penting Pembaruan Islam. Selain Dahlan, murid lain Ahmad Khatib antara lain Muhammad Taib Umar, Abdullah Ahmad, Muhammad Jamil Jambek, dan Abdul Karim Amrullah atau haji rasul, ayah Hamka. Guru Dahlan lain di Makkah ialah Syeikh Abubakar Syatha ad-Dimyathi (juga ulama Syafii). Abu Bakar-lah yang kemudian mengganti nama Muhammad Darwis menjadi Ahmad Dahlan.
Hubungan Dahlan di pusat studi Islam internasional ini mewarnai transformasi intelektual Islam dan sosial di Indonesia. Ini kelanjutan jaringan ulama Haramain-Nusantara yang telah terbangun dengan pengaruhnya yang sangat ekstensif. Selama periode ini, akses Dahlan terhadap berbagai sumber pemikiran keislaman sangat terbuka dan variatif termasuk dari Mesir.
ADVERTISEMENT
Dialog dan jaringan internasional, seperti pengalaman Dahlan, sangat dibutuhkan, tidak saja dalam kerangka dakwah tetapi juga untuk menciptakan budaya respek terhadap perbedaan. Ini yang juga dilakukan Dahlan selama pengembaraan intelektual keagamaannya era Kauman, Jawa, hingga persahabatan internasionalnya di Makkah. Saat memimpin Muhammadiyah pun, peran-peran kultural Dahlan menjalin komunikasi dan dialog dengan berbagai kelompok sosial yang berbeda juga dikembangkan untuk menemukan titik persamaan (Kalimatun Sawa’).
Logo PP Muhammadiyah. Foto: Wikipedia

Muhammadiyah Ke Depan

Menyimak perjalanan Dahlan dari Kauman hingga Makkah dan memimpin Muhammadiyah, penting dibuat catatan reflektif berikut:
Pertama, global networks Muhammadiyah secara ekstensif sangat diperlukan untuk mengatakan kepada dunia internasional, bahwa Muhammadiyah adalah salah satu representasi penting Islam moderat Indonesia. Kedua, orientasi global merupakan kebutuhan memperkuat jaringan komunitas intelektual untuk kemajuan bersama. Kerja sama akademik, kebudayaan dan seni antara pusat-pusat pendidikan Muhammadiyah dengan berbagai pihak internasional sudah waktunya dikembangkan. Spirit internasional Dahlan penting dilanjutkan dengan cara-cara baru.
ADVERTISEMENT
Dengan social capital yang dimiliki selama 107 tahun ini, Muhammadiyah berpeluang besar memperkuat internasionalisasi Muhammadiyah. Pengaruhnya juga akan sangat kuat tidak sekadar membendung arus ekstremisme dan kekuatan-kekuatan lain yang merusak kemanusiaan, pancasila nilai-nilai luhur agama, akan tetapi membangun peradaban tinggi dan luhur ke depan.
Wallahu a'lam bis showab