Pendidikan yang Merdeka

Sudarnoto Abdul Hakim
Akademisi dan pengamat sosial keagamaan dan politik
Konten dari Pengguna
29 Januari 2020 9:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sudarnoto Abdul Hakim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dok: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Dok: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Tak berlebihan untuk menilai bahwa Mendikbud yang masih belia ini adalah news maker, paling tidak hingga saat ini. Idenya membuat heboh.
ADVERTISEMENT
Tidak sedikit yang sinikal dan jengkel tapi banyak juga yang menanggapinya dengan tenang dan bahkan menyambutnya dengan baik. Bahkan belakangan tidak sedikit pelaku pendidikan seperti guru dan dosen serta pimpinan perguruan tinggi yang mendukung ide "kemerdekaan pendidikan" Mendikbud.
Tak kurang, ormas Islam yang paling berpengalaman mengelola pendidikan (termasuk pendidikan tinggi) yaitu Muhammadiyah sedang menyiapkan tanggapan konstruktif. Idenya influensial, paling tidak telah menghangatkan perdebatan dan wacana pendidikan di Indonesia.
Artikel ini tidak dimaksudkan untuk membahas langkah-langkah birokratik-teknokratik yang ditetapkan Mendikbud atau bahkan mengusulkan langkah-langkah lain yang terkait dengan ide "Merdeka Belajar" dan "Kampus Merdeka." Penulis ingin mengurai sisi lain dari isu ini.

Semantika Merdeka

"Merdeka" adalah technical term yang digunakan oleh Mendikbud dalam gagasannya, bukan kata yang lain misalnya "mencerahkan." Kalau kita baca Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata merdeka mempunyai tiga arti, yaitu: (1). Bebas dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya, berdiri sendiri (2). Tidak terkena atau lepas dari tuntutan; dan (3). Tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu, leluasa.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, ide "merdeka belajar" bisa diasumsikan muncul karena pendidikan kita telah terhambakan, terjajah, sangat tergantung, telalu banyak tuntutan dan tidak leluasa. Tentu perlu pembuktian yang kuat dan diskusi khusus terkait dengan asumsi bahwa pendidikan kita ini terjajah dan menjajah, terbelenggu dan membelenggu dan tentu tidak melahirkan orang-orang yang merdeka tapi melahirkan orang-orang yang "bermental kalah" dan bukan petarung gigih. Riset empirik sangat diperlukan soal ini.
Dalam vocabulary Nusantara, pernah dikenal kata "Mardijkers" (abad ke 17-18) yang berarti "budak yang telah dimerdekakan". Kata ini sebetulnya serapan dari kata Sanksekerta "Maharadhika" yang berarti "senang dan sejahtera". Mereka adalah penduduk Batavia para tawanan yang dijadikan budak-belian oleh Belanda. Mereka bekerja sebagai pembantu tukang-tukang Belanda membuat mebel. Mereka dijanjikan akan diberikan kebebasan dengan syarat mau menjadi anggota Gereja Reformasi, gereja bagi penganut agama Kristen, oleh karena itu mereka disebut Mardijker atau "orang yang dimerdekakan".
ADVERTISEMENT
Jadi, merdeka adalah "terbebas atau pembebasan dari perbudakan" supaya semakin "senang dan sejahtera". Jika mengikuti arti kata ini, maka kata merdeka yang digunakan Mendikbud bisa dimaksudkan sebagai upaya "memerdekakan atau membebaskan masyarakat dari berbagai bentuk perbudakan yang sudah dipastikan membelenggu agar masyarakat memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan."
Seperti di atas, perlu keyakinan penuh dengan evidence yang kuat bahwa masyarakat kita ini memang "sedang diperbudak dalam berbagai bidang" oleh pikiran atau suatu kekuatan dan karena itu diperlukan perjuangan panjang untuk "melawan, membebaskan" pikiran dan kekuatan itu sekaligus "menawarkan" kehidupan baru yang "menyenangkan dan mensejahterakan" di masa depan melalui pendidikan yang tepat.
Dalam Bahasa Inggris ada beberapa kata yang bermakna "merdeka" antara lain ialah independent, free, sovereign, autonomous, self-reliant, self-sufficient, emancipation, liberation. Jika dikaitkan dengan wacana Mendikbud, maka vocabulary Inggris di atas bisa juga menjadi prinsip-prinsip penting yang semestinya bisa diterapkan dalam dunia pendidikan kita.
ADVERTISEMENT

Memanusiakan Manusia

Sebetulnya, hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia. Istilah “memanusiakan manusia” ini sesungguhnya merupakan upaya yang terus menerus untuk membuat manusia menjadi berbudaya, berakal budi dan berkeadaban.
Hal ini dilakukan agar sesama manusia harus saling menjaga, menghormati, melindungi, membantu dan membesarkan, bukan sebaliknya. Penanaman sikap memanusiakan manusia ini berlandaskan kepada prinsip keadilan, kesetaraan, kesederajatan, kebersamaan.
Hal-hal inilah yang di antaranya juga menjadi perhatian penting dalam konsep HAM yang harus senantiasa ditegakkan dan dilindungi. Negara dengan demikian haruslah memberikan jaminan utuh bagi terimplementasikannya upaya-upaya pendidikan memperkuat kemanusiaan yang adil dan beradab. Negara harus hadir setiap saat agar dalam menyelenggarakan pendidikan ini tidak terjadi tindakan pembunuhan karakter, diskriminasi, bully, perampasan hak-hak dasar dan asasi manusia yang dilakukan oleh siapa pun dan karena sebab dan motif apa pun.
ADVERTISEMENT
Memanusiakan manusia, artinya bahwa pendidikan adalah merupakan upaya preventif agar kemanusiaan tidak terinjak-injak, martabat tidak ditindas dan kehormatan tidak dirampas, serta nama baik tidak dirusak karena sebab dan motif apa pun. Tidak boleh terjadi lagi ada peserta didik yang terpaksa melakukan tindakan kekerasan karena secara psikologis tertekan menghadapi cercaan atau dicibir karena menunggak uang sekolah.
Sudah terlalu banyak catatan tentang tragedi kemanusiaan bahkan terjadi di lembaga pendidikan kita. Bisa jadi, banyak anak sekolah, mahasiswa dan bahkan orang tua yang merasakan bahwa sekolah atau kampus ternyata merupakan tempat yang secara psikologis tidak menyenangkan, membuat stres karena terlalu banyak aturan dan tuntutan yang membelenggu dan membuat banyak orang menjadi tidak berdaya serta tidak memiliki kemampuan berkreasi dan berinovasi.
ADVERTISEMENT
Bisa jadi juga, banyak yang merasakan dan berkeyakinan bahwa lembaga pendidikan ternyata sudah menjadi tempat transaksi finansial yang akan menyingkirkan mereka yang tak berkemampuan karena hanya orang dari kelas sosial tertentu saja yang bisa memenuhi tuntutan transaksi. Pendidikan menjadi destinasi di mana segregasi dan ketidakadilan sosial diawetkan, diskriminasi terjadi secara kasat mata dan secara tidak langsung menjadi bara antagonisme dan pertentangan sosial.
Memanusiakan manusia, artinya juga upaya terus menerus dan sistimatis untuk menyiapkan dan mendidik manusia agar (1) memiliki kemampuan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (2) beriman, berkepribadian luhur atau berakhlak mulia (3) nasionalis. Itulah sebabnya, pendidikan yang diterapkan adalah pendidikan yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Jadi, keberpihakan pendidikan itu haruslah difokuskan kepada aspek ideologi (keyakinan kepada agama dan ketaatan kepada ideologi bangsa), aspek tata nilai luhur diarahkan kepada Akhlak, aspek kognitif penguasaan Iptek, dan aspek keterpanggilan membangun kehidupan supaya maslahat.
ADVERTISEMENT

Ide Paradigmatik

Sudah saatnya jerat-jerat atau belenggu sistem dan budaya tradisional pendidikan di-review secara mendasar dengan memperkokoh dan menggerakkan "spirit kemerdekaan." Belenggu pendidikan itu bisa berlapis dan sangat kuat sehingga memang membutuhkan upaya atau ijtihad kolektif yang sungguh kuat. Ijtihad ini yang dijadikan langkah menerobos tradisionalisme pendidikan sambil menawarkan ide paradigmatik pendidikan yang merdeka dan memerdekakan.
Merdeka dan memerdekakan artinya tidak boleh ada kolonialisme, diskrimimasi, dehumanisasi, segregasi sosial, belenggu intelektual, dan budaya transaksional pendidikan.
Sumber tradisionalisme pendidikan yang membelenggu ini bermacam-macam antara lain politik pendidikan, filsafat pendidikan, leadership pendidikan di pusat-pusat pendidikan, sistem ilmu pengetahuan dan budaya pendidikan serta SDM yang tersedia. Jika sumber-sumber ini tidak dibongkar, maka pendidikan dalam pengertian esensial akan tetap terancam mati. Yang tersisa adalah industri persekolahan dan perkuliahan yang transaksional dan mungkin oligarkis dan tak akan mampu serta selalu gagal melahirkan manusia Indonesia yang utuh dan sesungguhnya. Save our education.
ADVERTISEMENT
—————
Penulis: Associate Professor FAH UIN Jakarta, Wakil Ketua Majelis Diktilitbang PP. Muhammadiyah, Ketua Komisi Pendidikan dan Kaderisasi MUI.