Bertemu Petani Asmat di Banda Aceh

Sudirman Said
Warga negara biasa.
Konten dari Pengguna
13 Mei 2017 20:39 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sudirman Said tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Petani Asmat (Foto: Dok. Kabar Papua)
Setiap ada kesempatan berkunjung ke Aceh saya sering ingat Papua. Pun sebaliknya di saat-saat berkunjung ke Papua saya selalu ingat Aceh, karena kedua wilayah itu menjadi penanda ujung Indonesia. Keduanya juga menjadi penanda betapa luas dan majemuknya tanah air kita.
ADVERTISEMENT
Saya kebetulan pernah tinggal di Nangroe Aceh Darussalam ketika bekerja di Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias. Dengan Papua saya cukup familiar karena selama bekerja di Pertamina, Indika Energi, PT Pindad dan terakhir sebagai Menteri ESDM; amat sering bolak balik ke wilayah Papua. Karena itu ketika bertemu saudara-saudara dari Papua dari ujung timur di Banda Aceh di ujung barat, ada perasaan haru biru yang luar biasa: nah.. inilah Indonesia!!!, saya berseru dalam hati.
Jika direnung-renung, dua wilayah itu sungguh banyak perbedaanya. Aceh terletak di ujung barat NKRI, sementara Papua menjadi "penjaga" ujung timur Ibu Pertiwi. Mayoritas masyarakat Aceh beragama Islam, sedangkan mayoritas rakyat Papua beragama Nasrani. Di kedua wilayan ini tentu saja hidup berdampingan pemeluk berbagai agama.
ADVERTISEMENT
Di Aceh tidak banyak suku-suku, sementara di Papua ratusan suku dan bahasa lokal dipergunakan. Ragam kuliner di kedua wilayah tentu saja berbeda-beda. Warna kulit sebagian besar warga Aceh sawo matang berambut lurus, sedangkan kebanyakan putra putri Papua berambut keriting dengan warna kulit lebih gelap. Suasana budaya dan keadaan geografis kedua wilayah juga berbeda, yang menyebabkan perbedaan cara hidup masyarakat di kedua provinsi ujung timur dan ujung barat itu.
Namun, jika dicari persamaan Aceh dan Papua juga tak sedikit jumlahnya. Wilayah Aceh dan Papua dikelilingi laut yang menyebabkan banyaknya ikan segar dimana-mana, sebagai sumber protein masyarakatnya. Kopi khas Papua dan Aceh sama sedapnya, dan keduanya terkenal sampai di pusat pusat belanja kota besar. Sistem pemerintahannya mendapat status otonomi khusus, dengan latar belakang dan alasan yang mirip: memberi ruang bagi masyarakat di dua wilayah untuk mengatur diri sendiri seleluasa mungkin.
ADVERTISEMENT
Tantangan pembangunan di kedua wilayah itu juga mirip, berhadapan geografis yang luas dan belum seluruhnya mudah di jangkau, meskipun Aceh tidak sesulit papua.
Papua dan Aceh juga bumi yang menyimpan sumber daya alam, mineral, minyak dan gas, dan hutan belantara di atas tanah yang subur. Potensi besar yang jika dikelola dengan baik akan menjadi sumber kemakmuran bagi seluruh rakyatnya.
***
ADVERTISEMENT
Sore tadi, Sabtu (12/05/2017) di Bandara internasional Sultan Iskandar Muda Banda Aceh, saya bertemu dengan rombongan petani, nelayan, dan para penyuluh pertanian dari Kabupaten Asmat, Propinsi Papua. Puluhan jumlah mereka, dikoordinasikan oleh Pimpinan rombongan Pak Alexander dan Pak Nurdiyanto. Keduanya pejabat dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Dinas Perikanan Kabupaten Asmat.
Mereka baru saja selesai mengikuti Pekan Nasional Tani dan Nelayan ke IX yang dilangsungkan sepekan lamanya di Banda Aceh. Jumlah utusan dari seluruh Papua adalah 1.280 orang (!). Seluruh kabupaten di Papua mengirimkan wakilnya.Saya kaget membayangkan rombongan dari ujung timur ke ujung barat menempuh perjalanan panjang, dalam jumlah lebih dari seribu orang.
ADVERTISEMENT
Sangat menarik mendengar cerita pimpinan rombongan mereka. Perjalanan dari Asmat dimulai dengan naik kapal menuju Timika selama kurang lebih empat jam. "Tapi, kapal kami kemarin ada kerusakan sehingga harus menempuh waktu 10 jam lamanya", tutur Pak Alexander.
Dari Timika terbang ke Jakarta, singgah di Makasar. Sesudah itu berganti pesawat untuk terbang terbang ke Banda Aceh. Kita tahu, tidak ada penerbangan yang melayani rute dari Timika hingga Banda Aceh.
Betapa luasnya Indonesia, bukan? Dengan alat transport terbaik pun saudara-saudara kita dari Asmat di ujung timur harus menempuh perjalanan berhari-hari untuk sampai di ujung barat negeri kita. Diperlukan dua kali bermalam dalam perjalanan untuk menempuh jarak dari ujung timur ke ujung berat Republik tercinta.
ADVERTISEMENT
Yang membuat saya lega, ternyata sebagian besar (bahkan hampir seluruh) rakyat Indonesia ternyata tetap bahagia hidup bersama dalam keragamannya. Menyaksikan interaksi para petani dan nelayan asal Asmat dengan warga Aceh yang amat berbeda, kita tak melihat ada soal serius.
Begitu pun membayangkan pergaulan dan interaksi peserta Penas IX dari seluruh provinsi se-Indonesia, yang tergambar di kepala saya adalah keragaman dalam damai, dan perdamaian dalam keragaman. Kata panitia, 50.000 utusan membanjiri Banda Aceh selama sepekan, melakukan beragam kegiatan tani dan nelayan: seminar, penyuluhan, lomba-lomba, tukar pengalaman, hingga acara sosial.
Saya, kok, amat yakin bahwa jauh lebih banyak warga negara kita yang menjalani keberagaman sebagai kenyataan, dan karenanya mereka mampu hidup bersama dalam damai. Mereka mampu menjaga perdamaian dan hidup bersama, saling tolong menolong, bahu membahu, menyelesaikan persoalan persoalan sehari-hari, seperti para petani dan nelayan itu.
ADVERTISEMENT
Jangan-jangan ikatan kebhinekaan rakyat kebanyakan, yang menjalani keberagaman sebagai kenyatan (bukan dalam wacana atau frame kepentingan tertentu) jauh lebih kuat dari yang kita bayangkan. Jangan-jangan orang biasa, yang jumlahnya jauh lebih banyak dari kaum elit kota lebih mampu mengurus kebhinekaan. Jangan-jangan orang biasa memang lebih mampu bersikap tulus ikhlas apa adanya di banding segelintir elit kita yang otak dan hatinya sering dibuat rumit oleh kepentingan tersembunyi.
Sebagian elite kita memang, karena keadaan, sesekali masuk dalam bingkai kelompok, baik karena urusan politik maupun kepentingan lainnya.
Alangkah ruginya jika akibat perbedaan yang dialami, atau perbedaan jalan yang dipilih, oleh segelintir saja elit kita; lantas kita harus mengorbankan rakyat kebanyakan yang jumlahnya jauh lebih banyak.
ADVERTISEMENT
Alangkah ruginya jika perbedaan pilihan yang sering kali hanya sesaat, harus mengorbankan kehidupan normal yang lebih lama durasinya.
Bukankah urusan politik dan kekuasaan, adalah temporer sufatnya; sedangkan hidup damai berdampingan dalam perbedaan adalah keniscayaan yang permanen. Alangkah ruginya mengusung tinggi urusan temporer seraya mencampakkan urusan permanen.
Kaum terdidik, lapisan yang hidupnya sudah jauh lebih sejahtera, seringkali lupa betapa beratnya tantangan hidup yang dihadapi saudara saudara kita di pelosok tanah air. Tantangan hidup yang keras membuat mereka mampu hidup bersama dalam perbedaan, dalam damai dan suasana saling membantu.
Semoga kita yang tinggal di kota, yang hidupnya serba dimudahkan, tidak harus mencari-cari tantangan baru memperuncing perbedaan. Karena perbedaan dan keberagaman itu untuk dikelola dan dijalani sebagai keniscayaan kehidupan. Bukan untuk dipertajam.
ADVERTISEMENT
Rombongan petani dan nelayan dari Asmat yang menempuh perjalanan berhari hari untuk bertemu dengan saudara-saudaraanya se-tanah air, biarlah menjadi sumber belajar kita. Saya bersyukur bertemu mereka di Band Aceh. Jangan pernah lelah mencitai Indonesia.
Banda Aceh, 12 Mei 2017
Sudirman Said