Dr. Widhyawan Mengangkat Harkat Petani Brambang

Sudirman Said
Warga negara biasa.
Konten dari Pengguna
22 Juli 2017 20:18 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sudirman Said tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Petani memanen bawang merah di Slatri, Brebes (Foto: Nizar Suhendra)
zoom-in-whitePerbesar
Petani memanen bawang merah di Slatri, Brebes (Foto: Nizar Suhendra)
ADVERTISEMENT
Matahari belum sepenuhnya muncul ke permukaan, hari masih pagi. Embun menggayut di rerumputan, batang padi, dan di pucuk-pucuk kembang bawang yang sudah siap dipanen. Pukul 6 pagi serombongan ibu-ibu pekerja turun dari gerobak bermotor “viar” di ujung desa jalan menuju areal persawahan. Lebih dari 50 pekerja hari itu akan memanen bawang merah, atau sering disebut brambang, di dukuh Siramin, desa Slatri, salah satu desa yang masih menyimpan kemiskinan paling parah di Kabupaten Brebes.
Ibu ibu pekerja pemanen bawang ceria (Foto: Astried Swastika)
zoom-in-whitePerbesar
Ibu ibu pekerja pemanen bawang ceria (Foto: Astried Swastika)
Masa kanak-kanak saya di desa Slatri, hingga umur 5 tahun, sebelum pindah ke desa lain untuk menumpang (ngenger) di tempat saudara yang lebih berkemampuan. Dulu, dukuh Siramin amat terpencil, tidak ada rumah permanen, satu dukuh ditinggali buruh tani atau petani penggarap saja. Hari ini suasana dukuh Siramin dan Desa Slatri sungguh berbeda. Rumah tembok dimana-mana, listrik masuk hampir ke seluruh desa. Setiap rumah tangga memiliki televisi, sebagian besar penghuninya memiliki sepeda motor, beberapa diantaranya ada mobil di garasinya. Alhamdulillah, kemajuan peradaban menyentuh kampung halaman saya, berkat pembangunan.
ADVERTISEMENT
Sejak setahun yang lalu saya amat sering pulang kampung, karena sedang “belajar” bertani, menanam brambang, cabe dan padi secara bergantian menyesuaikan musim. Di awal tahun 2016 saya dan adik laki-laki yang tinggal di Slatri menyewa tanah dengan cara gadai. Beberapa pemilik lahan membutuhkan uang dan menggadaikan tanahnya kepada yang bisa membantu, pemilik lahan kemudian menyerahkan tanahnya untuk digarap si pemberi uang sampai yang bersangkutan mengembalikan uangnya. Semata-mata dengan niat menolong, beberapa kali kami akhirnya punya lahan garapan.
Mulai dengan luasan 2.000 meter (seperempat bahu, dalam ukuran tradisional kampung saya), sedikit demi sedikit lahan itu terus bertambah. Tahun ini, dengan bantuan beberapa sahabat, antara lain Dr. Widhyawan Prawiranata, kami dapat menyewa 3 hektar dari ukuran ketika pertama mulai belajar menanam brambang dan cabai.
Tanaman bawang merah mendekati masa panen.  (Foto: Astried Swastika)
zoom-in-whitePerbesar
Tanaman bawang merah mendekati masa panen. (Foto: Astried Swastika)
Alhamdulillah, hari ini dan kemarin tanaman brambang di atas lahan sewa seluas 3 hektare sudah dipanen. Ini adalah panen ketiga, setelah dua kali panen sebelumnya luas lahan yang kami garap hanya 4.000 meter. Alhamdulillah lagi, sejak awal menanam, dari hari ke hari tanaman brambang segar bugar, tak terserang hama ulat, tidak ada gangguan cuaca, dan selalu mendapat pasokan air cukup, baik air air hujan dari langit maupun air irigasi. Berkat topangan Pak Widyawan pula seluruh kebutuhan bibit yang baik, pupuk, pestisida, sampai biaya penyiangan tersedia tepat waktu. Pendeknya proses menanam periode ketiga berjalan mulus, meskipun skalanya dilipatgandakan menjadi lima belas kali lipat.
ADVERTISEMENT
Saya juga bersyukur dipertemukan dengan para petani penggarap yang jujur dan kompeten. Ada enam orang Pemimpin kelompok yang bekerja sehari-hari, bertanggung jawab atas luasan tertentu. Merekalah sesungguhnya orang-orang yang menentukan keberhasilan kebun ini. Kepada mereka, saya dan adik-adik saya memberi kepercayaan. Mereka berenam: Watim, Dakrim, Rakwadi, Sarnoto, Rosikin, dan Noto.
Dakrim, Ketua Kelompok Tani, dan 5 petani lainnya. (Foto: Nuridin Alim)
zoom-in-whitePerbesar
Dakrim, Ketua Kelompok Tani, dan 5 petani lainnya. (Foto: Nuridin Alim)
Mengamati pertanian terutama usaha budidaya palawija seperti bawang merah dan cabai, sejak lama saya sering mengelus dada, simpati kepada para petani. Petani di Brebes, yang jumlahnya lebih dari 200 ribu keluarga, sering mengalami kerugian akibat tanaman bawang atau cabe. Ironis sekali bukan?. Di Jakarta dan kota-kota besar lain mahalnya cabai dan bawang menjadi issue sampai sampai jadi penyebab inflasi tinggi, para petaninya terus mengalami pelemahan kemampuan karena didera kerugian dari waktu ke waktu.
ADVERTISEMENT
Mengapa petani bawang dan cabai sering mengalami kerugian? Setahun ini saya mempelajari seluk beluk dan suka duka bertani. Tanpa bermaksud menyederhanakan persoalan, yang menyebabkan para petani seperti terjebak lingkaran setan adalah hal-hal elementer yang memang tidak mereka miliki: modal kerja terbatas, pengetahuan dan keahlian yang tidak berkembang, penanganan pasca panen yang konvensional, sampai akses pada pasar yang terbatas.
Disebabkan tidak adanya uang cadangan, pada setiap musim panen cabai maupun bawang yang bersamaan, maka petani mau tidak mau harus menjual hasil sawahnya dengan harga berapapun. Banyak diantara mereka yang selama masa tanam dan pemeliharaan menumpuk utang kepada pedagang pupuk, pedagang pestisida, bahkan kadang harus berutang kepada para pekerja yang membantunya. Dalam keadaan tak punya uang, dan sudah ditunggu oleh para pedagang maka tidak ada pilihan kecuali menjual hasil panennya. Dalam harga berapapaun yang penting ada uang masuk. Hukum pasar penawaran dan permintaan mengatakan kalau sedang panen, apalagi panen serentak pasokan bawang dan cabe berlimpah maka harga turun drastis.
ADVERTISEMENT
Tentang penanganan pasca panen, yang sesederhana pengeringan, pemilahan, sampai penyimpanan agar awet, jarang sekali petani yang menguasai metode maupun mampu membeli teknologinya. Jangankan membeli teknologi yang lebih canggih, membangun gudang dan lantai jemur saja tidak banyak yang mampu. Keterbatasan ini mendorong mereka tidak mau repot, pilihannya ya menjual sesegera mungkin.
Foto ilustrasi bawang merah (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Foto ilustrasi bawang merah (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Saya terkesima mendengar penjelasan anak-anak muda aktivis LSM yang memperhatian mata rantai pasokan. “Dari petani menuju ke pembeli akhir bawang Brebes sering kami berpindah tangan 6 sampai 8 kali”, ujar Bambang Irwanto. Kebanyakan petani tidak punya informasi setelah dibeli tengkulak, bawang mereka dibawa kemana. Sayangnya banyak tengkulak nakal, yang membanjiri pasaran di daerah Brebes dengan bawang dari luar daerah, untuk menekan petani agar harganya lebih bisa turun serendah mungkin. “ini permainan gaya mafia, dan mereka melakukan itu karena tahu betul banyak petani yang sedang kepepet,” sambung Bambang. "Kalau bisa dicari akses pasar langsung kepada pembeli, akan sangat membantu para petani memangkas mata rantai yang terlalu panjang”, tambah Bambang.
ADVERTISEMENT
Setahun berlalu, banyak yang saya pelajari. Dibantu sejumlah teman, kami membentuk yayasan. Yayasan ini akan mengorganisir petani-petani untuk merencanakan dengan seksama proses penanaman bawang, mencari timing yang tepat, bersinerji dalam belanja benih, obat-obatan dan pupuk, dan mencari akses pasar yang lebih menguntungkan petani. Setelah berbadan hukum kelompok tani ini akan kami hubungkan dengan lembaga keuangan yang bersedia memberi pinjaman modal kerja, agar suasana “kepepet” tidak ada pilihan dapat dihindari. Dengan demikian petani dapat menunggu harga membaik untuk menjual hasil buminya.
Di samping itu Yayasan akan menghimpun dana dari para sponsor dan “social entrepreunuers”, tidak saja mengajak mereka investasi dalam menanam bawang, tapi juga akan diajak investasi membanguj sarana dan prasarana pengelolaan paska panen seperti lantai jemur, gudang, sarana perawatan, pembersihan, dan pengawetan. Yayasan juga akan mencari para ahli untuk memberikan pelatihan kepada para petani agar mereka lebih sadar perencanaan dan manajemen menanam sampai ke memasarkan.
ADVERTISEMENT
Niat baik seorang sahabat, Dr. Widyawan Prawiranata, seorang Doktor Ekonomi, ahli ekonomi energi, telah membuka banyak sekali solusi yang jika dikelola dengan baik akan meningkatkan harkat para petani. Saya membayangkan jika semakin banyak orang-orang kota, yang sebagian darinya adalah mantan orang desa, dapat mengikuti jejak Dr. Widhyawan, berapa banyak petani yang dientaskan nasibnya.
Sekedar gambaran dalam jumlah investasi sekitar Rp 500 juta (termasuk sewa tanah 3 ha selama dua tahun), ratusan petani telah memperoleh pekerjaan. Sejumlah ketua kelompok di ujung masa tanam mendapatkan bagi hasil. Jika kita kalikan 10 kali lipat skalanya, seluruh petani dukuh Siramin jangan-jangan bisa diajak kerja sama untuk mengelola tanaman bawang dengan lebih terencana.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Desa (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Desa (Foto: Wikimedia Commons)
Sahabat-sahabat tercinta, yang tinggal di kota dan hidup berkecukupan, saya ingin mengulang pesan Pembimbing Skripsi saya, Pak Ony Sahroni: “Dirman, kalau kamu ingin hidup tenang, seringlah menengok kampung halaman dan buat sesuatu di sana,”. Pak Ony benar, sedikit saja dari yang kita punya di kota, sangat berarti bagi saudara-saudara kita di desa.
Wahai para mantan orang orang desa, kembalilah ke desa, bawa serta sebagian kecil saja yang kita punya: pengetahuan, modal, jaringan, dan apa saja yang petani butuhkan. Bantu mereka meningkatkan taraf hidupnya, harkatnya. Jadilah ribuan Widhyawan lainnya.
By the way…. ngomong-ngomong soal makin lebarnya gini rasio, di atas kereta Cirebon Jakarta, seraya menyelesaikan tulisan ini, saya melamun jika separo kelas menengah kita (yang sebagian besar pasti berasal dari desa), sisihkan sepersepuluh uang jajannya, bawa ke kampung masing-masing untuk mendukung petani kita, kesenjangan antar warga negara akan cepat diatasi.
ADVERTISEMENT
Jadikan ini sebagai gerakan bayar balik, gerakan Membangun Kembali Desa.
Cilangkap, 20 Juli 2017
Sudirman Said