Luis di Antara 15.000 Tukang Cukur dari Garut

Sudirman Said
Warga negara biasa.
Konten dari Pengguna
5 Januari 2017 14:21 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sudirman Said tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gunting cukur (Foto: Istimewa)
Saya punya tukang cukur langganan. Nama bekennya Luis, asli Garut. Belakangan saya tahu nama aslinya adalah Dede Jenal Muttaqin. Meskipun ia memilih nama Luis yang berbau Eropa, perilaku sehari-harinya cukup relijius. Salat tepat waktu, mengikuti dengan seksama isu-isu nasional dan keagamaan.
ADVERTISEMENT
Luis, teman ngobrol yang mengasyikkan. Dari soal bencana alam, ujian nasional, teror bom, pilkada, sampai konflik Timur Tengah, bahkan pemilihan Presiden di Amerika Serikat. Isu yang belakangan sering dia tanya adalah kembalinya Setya Novanto memimpin DPR, salah satu Lembaga Negara terpenting.
Dengan logat sunda yang medok, dia bertanya:
“Bos, bagaimana ituh, kok orang bermasalah bisa kembali menjadi Ketua DPR. Apa nggak rusak Negara ini? Bukannya kasusnya banyak? Kok bos gak lawan ajah kaya dulu waktu MKD?”
Saya hanya senyum-senyum mendengar celotehnya. Tampaknya di sela-sela menunggu pelanggannya, Luis rajin membaca koran dan menonton berita di televisi.
Luis ketika tengah mencukur rambut pelanggannya (Foto: Kevin Kurnianto)
Setahun yang lalu, ketika saya masih bertugas di Kementerian ESDM, Luis dan beberapa rekannya meminta saya menjadi Dewan Pembina organisasi tukang cukur yang mau didirikannya. Dua penggerak utama bernama Rudi AMD dan Irawan. Organisasi itu bernama Persatuan Pangkas Rambut Garut (PPRG).
ADVERTISEMENT
Ini kata mereka: “PPRG dibentuk disamping untuk mempererat silaturahmi, juga untuk membangun kebanggaan profesi pemangkas rambut”.
Mereka mau mengembangkan PPRG antara lain dengan mengadakan sertifikasi, pemeringkatan, pelatihan, penyediaan program asuransi anggota, sampai kegiatan sosial, olah raga dan sebagainya.
Sangat mengharukan, sewaktu terjadi banjir bandang Garut mereka menghimpun sumbangan puluhan juta rupiah, dan cuti dari pekerjaan pulang kampung untuk menggelar posko bantuan kemanusiaan.
Pada waktu Luis, Irawan, dan Rudi meminta saya menjadi Pembina PPRG, tanpa pikir panjang saya langsung mengiyakannya.
Peralatan mencukur Luis (Foto: Kevin Kurnianto)
Setiap bulan mereka mengirim uang ke keluarganya di kampung rata-rata antara Rp 2 juta sampai Rp 3 juta, tergantung level ketrampilan dan tempat mereka bekerja. Dengan angka-angka di atas setiap bulan Garut memperoleh aliran uang tidak kurang dari Rp 30 milyar.
ADVERTISEMENT
Sesudah melantik Pengurus PPRG dan membuka Rapat Kordinator Wiayah, saya diajak meninjau “sekolah pangkas rambut” yang mereka dirikan. Ruang sederhana dengan empat kursi cukur, dilengkapi gambar-gambar instruksi pembelajaran, dipimpin oleh Pemangkas Rambut Senior Kang Rizal Fadila.
Saya juga berkesempatan singgah ke rumah keluarga Luis, di desa Banyuresmi, Kecamatan Banyuresmi. Dengan suka cita keluarga Luis menjamu kami makan siang dengan lauk ikan pepes, tempe goreng, gulai jengkol, dan sambal lengkap dengan lalapan.
Rumah-rumah di desa itu rata-rata rumah permanen berdinding tembok, berlantai keramik; tanda-tanda bahwa masyarakat cukup makmur hidupnya.
Rudi menimpali: “ Dulu rumah-rumah ini adalah rumah panggung berdinding gedek. Para pemangkas rambut yang merantau ke kota yang membuat ekonomi desa ini lebih baik”.
ADVERTISEMENT
Desa Banyuresmi berpenduduk 6.200 jiwa, dan sebagian besar penduduk laki-laki dewasa berprofesi sebagai tukang cukur. Kecamatan Banyuresmi merupakan “produsen” tukang cukur terbesar di Kabupaten Garut, jumlahnya mencapai hampir 10.000 orang.
Luis (kiri) di barbershopnya, Fix Up (Foto: Kevin Kurnianto)
Saya sungguh menaruh hormat pada ketekunan dan loyalitas mereka pada profesi. Pun, ketangguhannya sebagai “pahlawan keluarga”, yang rela meninggalkan kampung halaman berpisah dengan keluarga, demi memenuhi tanggung jawabnya mencari nafkah.