Mbok Saryem, Si Ujang, dan Para Koruptor

Sudirman Said
Warga negara biasa.
Konten dari Pengguna
22 April 2017 11:11 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sudirman Said tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi seorang nenek (Foto: Pixabay)
Di ujung gang becek sebelah rumah kami tinggal semasa kecil, ada penjual serabi bernama Mbok Saryem. Sebelum subuh, si Mbok yang sudah renta memulai kegiatannya: memasang tungku dan wajan pencetak serabi, menyalakan api dengan kayu bakar, menyiapkan adonan dan santan. Ketika fajar menyingsing, satu persatu serabi siap menanti pembeli. Dan satu persatu pula pembeli datang dan pergi silih berganti. Sebelum pukul 10 pagi, dagangan Mbok Saryem biasanya sudah habis.
ADVERTISEMENT
Setelah selesai berjualan, Mbok Saryem ke pasar atau toko untuk membeli beras, kelapa atau bahan lainya. Lantas di rumah menumbuk beras menjadikannya tepung (waktu itu belum ada penggilingan tepung). Memarut kelapa, menyiapkan daun pisang untuk kemasan serabi, dan segala persiapan lainnya.
Rutinitas itu ia lakoni saban hari, tak kenal libur. Biasanya sepanjang musim menjelang panen padi sampai selesai panen, atau sekitar musim giling pabrik gula terdekat di Banjaratma dan Jatibarang, kabupaten Brebes.
Saya teringat masa kecil, setiap selesai jualan kami ngeriung di dekat tungku Mbok Saryem. Berharap ada serabi yang gosong atau terjatuh kena debu. Biasanya serabi-serabi yang "off-spect" dibagikan kepada kami, anak anak kecil yang bermain di ujung gang. Dan kami gembira bukan main.
ADVERTISEMENT
Saya juga ingat wajah Mbok Saryem yang tua, legam, dengan bibir merah karena sambil memasak serabi ia mengunyah sirih pinang. Wajahnya senantiasa senyum penuh keikhlasan. Mengerjakan apa yang dilakukannya penuh semangat, mencari nafkah untuk keluarganya, karena suaminya sudah tak kuat lagi menjadi buruh tani.
Kira-kira saya bisa menghitung berapa penghasilannya sehari. Pas-pasan saja untuk makan sehari-hari. Tetapi dalam keterbatasan dan serba kurang, seorang Mbok Saryem masih dapat berbagi. Setiap hari selesai jualan, apa apa yang tersisa selalu dibagikan kepada "anak-anak singkong" yang mengerubunginya. Sekedar serabi "off-spect" tadi, santan sisa yang kami jadikan kuah makan pagi, bahkan sesekali dia memberi uang receh dari hasil jualannya yang habis tuntas. ia ingin berbagi kebahagiaan.
ADVERTISEMENT
*****
Dalam suatu perjalanan ke Tasikmalaya, saya singgah di sebuah masjid untuk menunaikan shalat Jumat. Di dekat tempat wudhu ada anak kecil, saya lupa menanyakan namanya, menawarkan jasa menyemir sepatu. "Semir sepatu Pak, sambil saya jaga", ujarnya kepada jamaah yang mengenakan sepatu. Sebut saja Ujang, nama anak itu.
Saya lepas sepatu dan berikan ke si Ujang untuk disemir. Sepatu saya sebenarnya masih cukup bersih dan mengkilat. Tetapi anggap saja saya menitipkan sepatu dengan bonus disemir. Sepatu aman, kembali dalam keadaan bersih dan mengkilat rapih.
Selesai shalat jumat saya ambil sepatu dan saya berikan uang Rp 20.000,00, lantas bergegas naik kendaraan. Ketika mobil yang saya tumpangi mau bergerak, si Ujang kecil lari mengejar dan minta kami berhenti dulu. Dia kembalikan uang Rp 15.000,00. Tergopoh-gopoh dia kejar kami, sambil berkata: "maaf Pak, tadi uangnya kelebihan, ini kembaliannya".
ADVERTISEMENT
Saya katakan, "nggak apa-apa, ini sisanya ambil saja buat kamu". Bukannya menerima dengan sukacita, malah mukanya berubah agak kecut dan mengatakan: "maaf Pak, terima kasih. Saya kerja, bukan peminta-minta". Uang Rp 15.000,00 ditaruh di dasboard mobil yang kami tumpangi.
Luas biasa! Si Ujang kecil, dengan wajah polos, dan tubuh kurus pendek, ternyata memiliki hati besar dan harga diri begitu tinggi. Sama dengan cerita Mbok Saryem kita bisa menghitung berapa penghasilan dia sebagai tukang semir sepatu, yang ramainya hanya setiap hari Jumat. Paling banter dia hanya bisa cukupi uang jajan dan biaya sekolah, plus keperluan lain sekedarnya.
Tetapi sekali lagi kita belajar, hidup serba terbatas ternyata tidak membuat si Ujang membuang harga diri. Dengan sadar ia membatasi haknya: yang berhak saya ambil dan bawa pulang adalah uang jasa semir sepatu. Selebihnya ia kembalikan kepada pemiliknya. Kesederhanaan telah menjauhkan si Ujang dari sikap serakah, mencuri-curi kesempatan, dan mengambil hak orang lain.
ADVERTISEMENT
Di seantero Republik ini, kita yakini ribuan bahkan jutaan manusia berhati mulia seperti Mbok Saryem dan si Ujang. Mereka tulus bekerja keras, ikhlas tetap berbagi, bertahan dalam serba keterbatasan, tetapi tetap jujur, menjaga harkatnya, menjaga harga dirinya.
Ribuan mbok-mbok pedagang pasar, jutaan buruh, petani, nelayan, peternak. Jutaan pengusaha kecil, pengrajin dan saudagar batik di Cirebon, Pekalongan, Salem, Solo, Madura hingga Papua. Pekerja konstruksi, tukang kayu dan tukang batu. Sebagian besar rakyat Indonesia adalah pekerja keras yang menopang hidupnya dengan keringat dan usahanya sendiri.
Merekalah yang membuat ekonomi dan kehidupan kita terus bergerak. Mereka juga turut berjasa langsung atau tidak langsung membayar pajak. Pajak yang dihimpun rupiah demi rupiah, yang selanjutnya digunakan untuk membiayai kegiatan bernegara kita.
ADVERTISEMENT
Merekalah pemilik wajah tulus, penuh guratan perjuangan hidup, menjalani hidup dalam kesederhanaan, bahkan keterbatasan; tetapi tidak hendak mencuri atau berkhianat pada negerinya.
*****
Bandingkan dengan wajah-wajah dan perilaku para koruptor yang hilir mudik di teras kantor KPK. Kontras dengan Mbok Saryem dan Si Ujang, wajah para koruptor itu tampak klimis, berkecukupan dan dan amat sejahtera. Sebagian besar dari mereka adalah Pejabat berkuasa atau pengusaha besar penuh daya.
Deretan kasus-kasus korupsi yang jumlahnya semakin besar, membuat kita sesak dada. Seperti sedang ingin membeberkan suatu fenomena: semakin sejahtera dan semakin berkuasa, maka nafsu menggarong uang negara semakin tak terkira.
Contoh, kasus korupsi e-ktp yang jadi bancakan para pengusaha, politisi, dan pejabat negara yang terhormat. Negara diduga dirugikan Rp 2,3 triliun. Kasus Hambalang dan puluhan kasus yang diotaki mantan anggota DPR Nazaruddin, yang juga mengakibatkan kerugian negara ratusan miliar rupiah.
M Nazaruddin, saksi di persidangan e-KTP. (Foto: Antara/Wahyu Putro A)
Kita patut bertanya, di mana harga diri mereka: para koruptor dan keluarganya?. Jangan-jangan lantaran tak pernah kenal dan menghayati hidup dan kehidupan jutaan Mbok Saryem dan Si Ujang di seantero negeri, enteng saja mereka merancang dan menjalankan aksi pencurian berjamaah itu.
ADVERTISEMENT
Kita patut marah untuk jutaan Mbok Saryem dan Si Ujang. Rupiah demi rupiah yang mereka himpun untuk hidupnya, dan iuran mereka pada pendapatan negara dengan sembrono dibobol sejumlah oknum penguasa yang lalim, dan lupa diri.
Lupa diri karena mereka tak sadar bahwa kekuasaan di tangan dan pundaknya adalah datang dari mandat dan sumbangan keringat jutaan Mbok Saryem dan Si Ujang.
Surabaya, 22 April 2017