“Ngabuburit” di Tepian Waduk Penjalin

Sudirman Said
Warga negara biasa.
Konten dari Pengguna
11 Juni 2017 13:18 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sudirman Said tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana di tepian Waduk Penjalin (Foto: Hartono)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana di tepian Waduk Penjalin (Foto: Hartono)
ADVERTISEMENT
Sabtu sore, 10 Juni 2017 di salah teras warung ikan betutu, di tepian Waduk Penjalin, Desa Winduaji, Kecamatan Paguyangan, Kabupaten Brebes, terdengar lantunan lagu-lagu relijius yang dipopulerkan oleh grup band ibukota. Di pelataran sederhana menghadap waduk berpemandangan indah, ditopang sistem suara yang jernih; empat anak muda bermain musik. Hanya ada tiga alat musik: keyboard, mini drum, dan gitar.
ADVERTISEMENT
Satu anak muda bernama Ayub Solihin menjadi penyanyi utamanya. Dari dari bahasa tubuh dan gerak geriknya mengatur ini itu, tampak jelas Ayub adalah pemimpin kelompok musik itu. Saya penikmat musik, dan cukup sering menyaksikan konser maupun sekedar mendengarkan musik ringan di beberapa tempat umum seperti café atau lounge. Menyaksikan anak-anak muda dari desa Winduaji ini bermain musik, saya merasa keterampilan, kualitas suara, dan pilihan lagu-lagu mereka sudah sekelas dengan “home band” di café-café elit di ibukota. Keren!!!.
Sebelum sampai di warung Ikan Betutu, saya diajak keliling ke sisi lain Waduk Penjalin. Waduk dengan luas 1,25 km persegi yang mampu menampung 9,5 juta meter kubik air dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda sejak tahun 1924 dan selesai tahun 1930. Letaknya di perbatasan antara kabupaten Brebes dengan kabupaten Banyumas. Jarak dari Bumiayu ke arah selatan kurang labih 6 km, dari Purwokerto ke arah utara kurang lebih 30 km. Pembangunan waduk ini dikerjakan bersamaan dengan Waduk Malahayu di Kecamatan Banjarharjo, kurang lebih satu jam perjalanan dari pintu tol Pejagan. Kedua waduk ini dikelilingi bukit-bukit dengan pemandangan cukup indah.
ADVERTISEMENT
Waduk Penjalin dibangun untuk mendukung pertanian. Airnya dialirkan ke hilir melalui sungai Pemali sebagai saluran utama; di sepanjang sungai Pemali terdapat puluhan bahkan ratusan sungai, anak sungai, dan saluran irigasi tersier. Dari aliran air Waduk Penjalin inilah ratusan ribu keluarga petani memperoleh manfaat. Dahulu ada dua pabrik gula yang kebun tebunya menghampar sepanjang aliran sungai pemali, yaitu PG Jatibarang dan PG Banjaratma. Sekarang ini satu pabrik gula sudah tutup. Yang masih beroperasi tinggal PG Jatibarang, itu pun tidak dalam kapasitas maksimal.
Penduduk di sekitar waduk memanfaatkan keberadaan waduk untuk mencari nafkah: mencari ikan, memelihara ikan dengan sistem keramba apung, dan kegiatan rekreasi. Ikan betutu, adalah ikan khas waduk Penjalin dengan panjang 10 sd 15 cm sebesar jempol kaki orang dewasa, yang menjadi sumber asupan protein warga setempat, sepanjang tahun. Seperti dikatakan orang bijak: “air adalah sumber kehidupan yang manfaatnya luar biasa besar”.
ADVERTISEMENT
***
Pelataran sederhana menghadap waduk (Foto: Laode Ngawu)
zoom-in-whitePerbesar
Pelataran sederhana menghadap waduk (Foto: Laode Ngawu)
Di tepian lain dekat perkampungan ada sudut menarik yang sedang ditata oleh sekelompok anak-anak muda. Ada “panggung terapung” di sana, ada jembatan penghubung antara tepian waduk dengan panggung yang dirancang terendam dalam air (untuk memberi efek seolah pejalan kaki sedang berjalan di atas air), ada taman, ada sejumlah tempat duduk untuk bersantai, dan ada pojok bacaan berisi puluhan buku. Setumpuk ide dan kreativitas tampaknya sedang menggumpal menjadi pendorong berbagai inisiatif di sini. Dan dugaan saya benar, dua anak muda mengenalkan diri. Satu bernama Wakhyono, ketua kelompok Sadar Wisata (Darwis) Waduk Penjalin, satu lagi bernama Ayub Solihin, sekretaris organisasi itu.
Mas Wakhyono sehari-hari adalah bagian dari perangkat desa, sedangkan Mas Ayub adalah sarjana bersuara keren, yang memilih pulang ke desa menjadi wiraswasta dan sebagain besar waktunya diwakafkan untuk menjadi aktivis kegiatan sosial kemasyarakatan di desa Winduaji.
ADVERTISEMENT
“Dulu ini tempat buang sampah, Pak. Sampah menggunung dan bau, mencemari air waduk dan menimbulkan bau tak sedap yang menggangu warga,” kata Mas Wakhyono dengan antusias. “Kami-kami warga desa dibantu tokoh-tokoh desa Winduaji iuran untuk membangun taman ini,” tutur Mas Ayub menimpali.
Kalau Anda melihat taman di salah satu tepian waduk penjalin sekarang ini, tidak terbayangkan bahwa tempat itu semula adalah timbunan sampah. Sekarang ini sampah dikelola dikumpulkan dan dibuang ke tempat pembuangan akhir jauh di luar desa, yang dibangun atas kesepakatan warga.
***
Pemuda Komunitas Diaspora Winduaji (Foto: Hartono)
zoom-in-whitePerbesar
Pemuda Komunitas Diaspora Winduaji (Foto: Hartono)
Saya datang ke Desa Winduaji memenuhi undangan Komunitas Diaspora Winduaji, yang diasuh oleh Dr. Ali Rokchman, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Mas Ali Rokhman adalah ilmuwan politik kelahiran Winduaji, menyelesaikan program doktornya di Asahi University, Jepang. Sebagai aktivis kreativitasnya seperti tak terbendung. Di tempat kelahirannya, Dr. Ali Rokhman menggerakkan anak-anak muda untuk melahirkan berbagai inisiaif, dan mengajak serta para perantau asal Winduaji yang dihimpunnya dalam wadah “Diaspora Winduaji". Dari orang-orang desa yang sudah terdidik dan “mentas” ini, lahir banyak ide yang selanjutnya menumbuhkan berbagai organisasi kemasyarakatan.
ADVERTISEMENT
Ikatan Pemuda dan Pelajar Islam Winduaji, organisasi tempat Mas Ali Rokhman pernah bergabung, dibuat lebih aktif. Ketuanya, Husni Sabela Basfi, adalah sarjana yang sedang menyelesaikan program S2 di Universitas Jenderal Soedirman. Husni memilih tinggal dan bergiat di kampung halamanya dengan menyelenggarakan berbagai kursus dan pendidikan non-formal, seperti bimbingan belajar. Dari institusinya telah banyak sekali anak-anak berbakat yang disalurkan untuk memperoleh beasiswa, atau melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.
Acara sore itu adalah ngeriung, sambil ngabuburit (menunggu saat berbuka), diskusi informal membahas berbagai hal tentang situasi nasional, situasi Jawa Tengah, sampai isu-isu pembangunan di tingkat lokal Brebes maupun Paguyangan. Sejumlah tokoh masyarakat hadir di situ: pemimpin pondok pesantren, pengelola Universitas Peradaban Bumiayu, Ketua STMIK Paguyangan, aktivia kebudayaan, Pak Kades, Ketua BPD, dan tak ketinggalan tim pembina desa dari FISIP UNSOED. Diskusinya berjalan antusias. Di dalam ruang utama warung ikan betutu dan di bangku-bangku teras warung penuh hadirin. Sejumlah awak media juga hadir.
Anak terampil dari Desa Winduaji (Foto: Hartono)
zoom-in-whitePerbesar
Anak terampil dari Desa Winduaji (Foto: Hartono)
ADVERTISEMENT
Sepanjang perjalanan menyusuri tepian Waduk Penjalin, sepanjang obrolan dengan sejumlah aktivis “pergerakan”, mengamati berbagai inisiatif yang muncul di Winduaji, sekurang-kurangnya saya belajar dua hal: Pertama, jika setiap desa yang telah melahirkan begitu banyak orang-orang terdidik dan tersejahterakan mendapat sentuhan warganya yang sudah melanglangbuana untuk mendorong berbagai inisiatif perbaikan, maka desa tidak lagi sekadar tempat lahir yang ditinggalkan; melainkan dapat didorong sebagai pusat-pusat pertumbuhan dan kreativitas. Sebagian besar elit baik di level nasional, provinsi, maupun kabupaten adalah anak-anak desa yang dientaskan. Jika sedikit saja mereka bisa mengalokasikan sumber daya, pikiran, dan kepeduliannya membangun tempat lahirnya, seperti yang dilakukan komunitas Diaspora Winduaji, maka pembangunan desa-desa kita akan dapat dipacu dengan cepat.
ADVERTISEMENT
Kedua, betapa pentingnya peran kepemimpinan untuk menjadi pembeda. Di Winduaji, peran kepemimpinan Dr. Ali Rokhman sangat nyata. Datang dengan ide, setelah kulo nuwun pada perangkat desa-para pemimpin formal, menghimpun anak-anak muda, mengajak serta kolega yang tersebar di seantero nusantara, menghimpun sumber daya, selanjutnya adalah inisiatif perubahan dan pergerakan yang tak dapat dibendung. Kepemimpinan Dr. Ali Rockhman yang menggerakkan telah menjadi pembeda antara Desa Winduaji dengan desa desa lainnya.
Negara yang makmur dan maju, katanya, adalah kumpulan dari provinsi yang maju dan makmur. Provinsi yang maju adalah himpunan dari kota-kota dan kabupaten yang berkemajuan. Kabupaten yang makmur adalah kumpulan dari desa-desa yang makmur dan maju. Membangun Indonesia dari desa, sebagai kebijakan sudah dicanangkan. Dana desa akan terus ditingkatkan oleh Pemerintah jumlah dan kualitas pengelolaanya. Alangkah indahnya jika di setiap desa ada penggerak yang menjadi sumber ide, kreativitas, jejaring, dan sumber daya pendorong pembangunan. Geliat yang terjadi di Desa Winduaji, tepian Waduk Penjalin, di Kecamatan Paguyangan kiranya menjadi inspirasi kita semua.
Suasana asri Waduk Penjalin (Foto: Hartono)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana asri Waduk Penjalin (Foto: Hartono)
ADVERTISEMENT
Paguyangan, 10 Juni 2017