Tenaga Dalam Dokter Radjiman

Sudirman Said
Warga negara biasa.
Konten dari Pengguna
19 Januari 2017 10:39 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sudirman Said tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hand (Foto: Pixabay)
Pagi itu, sekitar 1887-1888, hujan rintik turun di sebuah sekolah dasar di Yogyakarta. Itu sekolah elite priyayi. Para pengajarnya orang Belanda.
ADVERTISEMENT
Seorang bocah laki-laki bersimpuh di lantai bagian luar kelas, persis di bawah jendela besar. Perawakannya yang kurus dan agak dekil menandakan ia anak orang kebanyakan yang hidup serba kekurangan.
Rupanya ia sedang menguping pelajaran. Sesekali, ia melongokkan kepala, mengintip ruang kelas. Si guru mengamati, setiap kali seusai putra Ndoro yang diantarnya masuk kelas, bocah itu segera ambil posisi njingkrung di bawah jendela, bukan langsung pulang apalagi bermain.
Suatu saat sang guru (orang Belanda) memergoki si anak yang sedang nguping. Dikira akan mendamprat, sang guru malah mengajak si anak masuk mengikuti pelajaran. Ketika dites beberapa soal yang dipelajarinya dari hasil nguping, ia tak kesulitan menjawab.
Terutama karena ia yatim, si Ndoro mengambil bocah cemerlang dan gigih bercita-cita itu sebagai anak angkat. Akhirnya, baik pengantar maupun yang diantar menjadi teman sekelas. Setelah bersekolah, ia tak terbendung lagi dari memperoleh pengajaran yang lebih memadai.
ADVERTISEMENT
Prestisius karena, jangankan anak orang wong cilik, anak bangsawan pun masih jarang karena memang susah menembusnya. Si Bocah merasa amat beruntung.
Ia lalu bersungguh-sungguh mengabdi sebagai dokter di Banyumas, Purworejo, dan Semarang. Setelah bekerja di RSJ Lawang, Jawa Timur (pada mana namanya kini diabadikan), tahun 1906, ia lanjut studi ke Sekolah Dokter Tinggi, Amsterdam.
Si bocah makin mengabdikan keilmuannya yang didapat dari Berlin dan Paris sebagai ahli bedah, ahli ilmu bersalin, dan ahli penyakit kandungan. Ia seperti pantang berhenti pada satu titik stasiun perhentian.
ADVERTISEMENT
Ilmu Tenaga Dalam
Selasa siang (17/1), saya berkesempatan singgah di salah satu tapak tilasnya, rumah berpekarangan luas di Dusun Dirgo (Desa Kauman, Kecamatan Widodaren, Ngawi) yang juga dijadikan museum. Itu adalah bagian dari perjalanan menapaki jejak sejarah dan para tokoh sebelum republik berdiri.
Kembali pada cerita si bocah kurus yang dibolehkan masuk kelas. Nama bocah itu adalah Radjiman. Lahirnya Kamis Pahing, 21 April 1879, di Desa Glondongan, Mlati, Sleman, Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Ndoro-nya adalah Dokter Wahidin Soedirohoesodo. Bocah miskin Radjiman punya tekad gigih “menjadi orang”. Tentu saja ada peran Dokter Wahidin, namun yang lebih utama tentu karena ia punya “tenaga dalam”.
Yang terakhir ini rasa-rasanya bukan sekadar anugerah, tapi juga harus ada unsur ndableg bernyali dalam memanfaatkan kesempatan emas di depan mata. Pada saat yang sama, ada pula anugerah lain berupa pikiran yang cerdas dan wasis. Olehnya, ia bisa berprestasi murni karena ia mampu atau kompeten.
ADVERTISEMENT
Ditegakkannya meritokrasi itulah yang memungkinkan dokter Radjiman yang “bukan siapa-siapa” bisa sejajar dengan orang-orang dari kalangan ningrat.
Ditambah dengan terbukanya akses pada pendidikan, orang-orang bermental pejuang seperti dokter Radjiman jadi mampu meraih kompetensi tinggi hingga bisa merangsek masuk ke kelas menengah yang (nanti saya ceritakan) berperan memajukan rakyat banyak, baik di sebagai dokter maupun negarawan.
Bagaimana sekarang?
Setidaknya di kancah politik, hulu dari semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, kita lihat, hampir semua lininya seperti dibajak. Politikus kita makin tega memanfaatkan dan memanipulasi ketidakpahaman.
ADVERTISEMENT
Tak ayal, wajah kehidupan demokrasi jadi keruh, kusut, mahal, korup, kuyup dengan politik uang, dan oligarkhis. Jangan ditanya kualitas produk yang dihasilkannya (undang-undang dan perilaku), jauh dari bermutu.
Rekrutmen politik alih-alih menghasilkan yang terbaik, justru memproduksi banyak politikus yang, meminjam kalimat Pak Ginanjar Kartasasmita, “jauh di bawah standar, baik moral, kapasitas, maupun kompetensinya” (Kompas, 2 Desember 2016).
Syukurlah kita masih punya orang-orang baik yang masih waras menjunjung tinggi prinsip-prinsip profesionalisme dan meritokrasi. Kita masih punya Ridwal Kamil di Bandung, Risma di Surabaya, Nurdin di Bantaeng, Kang Yoto di Bojonegoro, dan sebagainya. Tapi, jumlah mereka hanya segelintir, minoritas.
ADVERTISEMENT
Wahai orang-orang baik dan bernyali, berhimpun dan berbarislah. Diamnya para orang baik-bernyali ketika melihat ketidakberesan terus berlangsung, itu sama halnya dengan membiarkan pencuri masuk menggarong rumah kita.
Kita butuh banyak orang baik yang punya “tenaga dalam” seperti dokter Radjiman untuk berhimpun dan merangsek ke kepemimpinan politik, mewarnai hulu dari semua kehidupan bernegara itu dengan dominasi warna kebaikan dan kemaslahatan.
Sudah mapan, mau apa lagi?
Ada satu sekuel menarik dari kisah dokter Radjiman.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya turun, tapi juga memutuskan menetap di Ngawi untuk lebih fokus mengobati. Ia membangun rumah di Dusun Dirgo, tinggal di tengah-tengah masyarakat terdampak pes yang kebanyakan fakir-fakir itu. Ia obati rakyatnya hingga kondang sebagai dokter ahli penyakit pes.
Pertanyaannya, lha wong sudah mapan dan hidup enak, mengapa tidak menikmati hidup saja? Mengapa justru memilih tidak enak-enakan, terjun ke lapangan dengan makin melarat dan mungkin juga akan berisiko tertular pes?
ADVERTISEMENT
Yang lisan sejalan dengan yang laku. Perilakunya menguatkan ideologi yang selalu diucap dan dituliskannya. Sejarah mencatat itu dengan tinta tebal.
Bayangkan, tahun 1950, pada usianya yang sudah kepala tujuh, Radjiman masih melakukan perjalanan ulang-alik Ngawi-Jakarta demi memenuhi panggilan tugas sebagai salah seorang anggota parlemen karena sumbangsih pemikirannya diakui masih tajam-bernas.
Rakyat Indonesia membalas jasa-jasa dokter Radjiman itu dengan memberikan penghormatan luar biasa besar. Barangkali hanya Radjiman lah satu-satunya warga bukan Presiden yang pernah berpidato pada acara resmi Dirgahayu Kemerdekaan RI di istana, yakni pada 17 Agustus 1950.
ADVERTISEMENT
Yang menarik lagi, demi menghormatinya pula, kereta api Surabaya-Jakarta sampai menyempatkan berhenti di tengah persawahan Desa Walikukun yang sepi sekitar 1,5 kilometer dari rumahnya di Ngawi—kala itu stasiun Walikukun belum dibangun—hanya untuk satu alasan: menjemputnya hadir di sidang-sidang DPR maupun keperluan kenegaraan lain di Jakarta.
Berkaca pada dokter Radjiman yang wafat di usia sepuh, mewakafkan segenap jiwa, raga, pikiran, perasaan buat bangsa dan rakyatnya, adalah pilihan yang tak punya limitasi ruang dan waktu.
Tak terbersit pikiran, nanti sajalah berjuang setelah mapan. Sebaliknya, berjuang harus menjadi panggilan sepanjang masa selagi tenaga dan pikiran masih segar-segarnya, mewakafkan diri bagi sesamanya, sebanyak-banyaknya manusia.
ADVERTISEMENT
Kita harus tetap istiqamah, tetap tabah sampai akhir, mengerahkan segala daya upaya, sebagaimana yang telah dokter Radjiman ajarkan dengan mengerahkan “tenaga dalam”-nya, menjadi pelayan rakyat hingga akhir hayat.
Ngawi, 17 Januari 2017