Korupsi Gawat Darurat

Sudirman Said
Warga negara biasa.
Konten dari Pengguna
9 Desember 2018 13:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sudirman Said tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Indonesia Corruption Watch mengadakan aksi “Cek Sebelum Milih” di Bundaran HI, Jakarta. Aksi tersebut memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia (HAKORDIA) yang jatuh pada 9 Desember. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Indonesia Corruption Watch mengadakan aksi “Cek Sebelum Milih” di Bundaran HI, Jakarta. Aksi tersebut memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia (HAKORDIA) yang jatuh pada 9 Desember. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
ADVERTISEMENT
Tahun ini, peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, yang jatuh pada 9 Desember 2018, ada dalam suasana tahun politik. Lazimnya suasana tahun politik, segala wacana campur aduk antara evaluasi dan janji-janji, antara harapan dan kenyataan.
ADVERTISEMENT
Dalam proses kontestasi, petahana pasti menjadi sasaran evaluasi, sementara penantang terus berupaya menjual janji. Penantang berusaha memberi harapan tentang masa depan yang diangankan, sedangkan petahana akan mempertahankan kenyataan.
Apapun perspektifnya, haruslah kita akui korupsi di negeri ini memang sudah dalam situasi darurat. Tidaklah salah kalau ada yang menyebutnya sudah seperti kanker stadium empat. Tentu saja, 'kanker' itu istilah medis yang sekadar dipinjam untuk menggambarkan betapa gentingnya keadaan; sehingga kita dapat bergegas untuk menanganinya dengan serius.
Adalah benar, Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index/CPI) terus membaik sejak reformasi, sampai-sampai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo, menyebut pertumbuhannya paling tinggi di dunia. Akan tetapi, kita juga melihat kenyataan bahwa dalam empat tahun ini pertumbuhan CPI mengalami stagnasi.
ADVERTISEMENT
Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, CPI Indonesia menanjak tajam dari 22 pada tahun 2005, menjadi 36 pada tahun 2015. Namun, pada masa Presiden Joko Widodo, CPI kita hanya naik satu poin dari 36 ke 37.
Bila dibandingkan dengan target yang dijanjikan Presiden Jokowi pada awal pemerintahannya, angka di atas masih jauh di bawah target. Targetnya 65, hasilnya baru 37. Masih jauh, bukan?
Telusurilah jejak digital. Kita akan mendapat banyak informasi bahwa dalam empat tahun terakhir ini, pegiat antikorupsi banyak memberi rapot merah kepada cara pemimpin negara kita mengurus penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
Transparansi Internasional (TI) menyatakan: “Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang sedikit membaik (beberapa tahun ini) adalah buah kerja keras KPK, meskipun KPK mengalami tekanan dan perlawanan yang keras dari pemerintah dan parlemen”. Secara implisit, kita menangkap pesan dari pernyataan TI bahwa KPK seperti dibiarkan bekerja sendiri.
ADVERTISEMENT
Malu, Pilu
Ilustrasi korupsi. (Foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi korupsi. (Foto: Shutterstock)
Nilai buruk dari penggiat antikorupsi dan penegakan hukum terhadap langkah-langkah penegakan hukum dan pemberantasan korupsi itu tak berlebihan. Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, negara mengalami banyak kasus yang memalukan, yang mungkin baru pertama kali terjadi sepanjang sejarah Republik Indonesia.
Empat dari tujuh Pimpinan Lembaga Tinggi Negara terjerat kasus korupsi. Ketua Dewan Perwailan Rakyat (DPR), Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Pejabat Tinggi Mahkamah Konstitusi (MA). Sebagian sudah diputus pengadilan dan masuk penjara, sebagian lolos statusnya karena melalui praperadilan, sebagian lagi masih bolak-balik diadili karena kasus korupsinya beranak-pinak. Lanskap kepemimpinan nasional kita penuh noda akibat korupsi.
Pada periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo, Ketua DPR RI, Setya Novanto, disidang oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dan diputuskan melanggar etika. Sebelum vonis dijatuhkan, ia mundur dari jabatannya. Lantas menggugat alat bukti pengaduan ke MKD melalui MA, dan MA memenangkannya. Proses politik yang amat singkat mengembalikannya ke posisinya, setelah terpilih menjadi ketua umum partainya.
ADVERTISEMENT
Tak lama kemudian, ia menjadi tersangka kasus korupsi berskala raksasa. Melalui proses praperadilan, status tersangka dibatalkan. KPK menetapkannya kembali sebagai tersangka melalui alat bukti lain, dan ia gugat kembali sambil menghilang, kabur menghindar dari aparat hukum yang menjemputnya. Drama pelariannya dihentikan oleh tiang listrik. Sebuah akrobat yang amat vulgar mempertontonkan bagaimana seorang pimpinan lembaga pembuat hukum mempermainkan hukum.
Dalam 14 tahun, kita mencatat lebih dari 600 penyelenggara negara masuk penjara karena korupsi, 302 di antaranya terjadi dalam empat tahun terakhir. Proporsi ini menunjukkan tren yang memburuk.
Sekadar mengingatkan kembali, yang dipenjara karena korupsi meliputi 5 pimpinan lembaga tinggi negara, 229 anggota legislatif, 29 menteri/kepala lembaga, 20 gubernur, 91 bupati/wali kota/wakilnya, dan 30 polisi, jaksa, dan hakim, serta puluhan pejabat eselon I,II, III. Ada juga mantan duta besar dan para pengacara.
ADVERTISEMENT
Saking banyaknya petinggi negara masuk penjara, Kompas (6/12/18) dalam "Tajuk Rencana"-nya, sampai-sampai menuliskan kalimat ini: “Di penjara khusus korupsi, mungkin para koruptor itu bisa membentuk pemerintahan sendiri, pemerintahan para koruptor”. Memilukan.
Dalam sejarah penegakan hukum, kita juga mencatat kejadian penting. Seorang jenderal ditetapkan tersangka korupsi menjelang diangkat menjadi pimpinan tertinggi instansi penegak hukum. Seperti menjadi pola, sidang praperadilan membatalkan status tersangkanya. Alih-alih menjadi catatan negatif, Presiden Joko Widodo malah menugaskannya dalam jabatan amat strategis dan menaikkan pangkatnya.
Praktik tidak “prudent” dalam ketaatan hukum juga terjadi pada tahun 2016, ketika seorang warga negara asing diangkat menjadi menteri anggota kabinet. Suatu pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, tetapi luput dari perhatian dan kajian para ahli. Belakangan, seorang menteri aktif yang belum lama diangkat, ditetapkan menjadi tersangka korupsi.
ADVERTISEMENT
Dua kejadian ini memberi bukti kuat bahwa kepala negara kita kurang hati-hati dalam menggunakan kewenangan dan diskresinya. Jelas kiranya, yang harus dikoreksi dalam iklim bernegara kita.
Pelemahan Lingkungan Pengendalian
Ilustrasi KPK. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi KPK. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
Pada era Presiden Jokowi, KPK bukannya dikuatkan, malah mengalami tekanan dan pelemahan yang sangat sistematis dan bertubi-tubi. Ancaman revisi UU KPK, UU KUHP, pencabutan kewenangan penyadapan, hingga ancaman fisik kepada petugasnya.
Yang amat fenomenal, di tengah-tengah gempuran Panitia Khusus KPK yang hendak mempreteli kewenangannya, penyidik handal yang sering mengurus kasus-kasus besar diserang fisik dan mentalnya. Selasa legi, 11 April 2016, Novel Baswedan disiram air keras, sebelah matanya rusak permanen. Pelakunya tak diketahui hingga kini. Negara gagal melindungi keselamatan penegak hukumnya.
Tidaklah berlebihan jika ada yang mangatakan: dalam pemberantasan korupsi, Indonesia kehilangan pemimpin dan kepemimpinan karena selama empat tahun lebih negara diurus oleh pimpinan dan penguasa. Pemimpin bekerja dengan visi, nilai-nilai luhur, ilmu pengetahuan, dan inisiatif yang menginspirasi. Penguasa menggunakan legitimasi, kewenangan, tekanan, dan iming-iming materi sebagai instrumen.
ADVERTISEMENT
Dalam disiplin ilmu para auditor, kita mengenal istilah “lingkungan pengendalian”. Lingkungan pengendalian adalah gabungan dari filosofi, struktur, sikap tindak, dan preferensi terhadap segala sesuatu. Lingkungan pengendalian yang kuat didasari oleh integritas, nilai-nilai etika, komitmen pada kompetensi, check and balance, dan komitmen pada praktik-praktik manajerial yang prudent dan akuntabel.
Dari perspektif ini, kita patut cemas, jangan-jangan kita sedang mengalami pelemahan lingkungan pengendalian negara. Suasana check and balance, sepertinya sedang terus melemah atau dilemahkan.
Kita tidak mendengar suara kritis dan strategis dari kalangan akademisi. Lembaga studi independen semakin lamat-lamat menyuarakan koreksinya. Media massa “arus utama” terasa semakin memudar ketajamannya. Banyak cerdik pandai, yang Bung Hatta sebut sebagai "kaum intelejensia", kehilangan kejernihannya. Keadaan ini berisiko menjadi persemaian subur bagi praktik-praktik menyimpang dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara.
ADVERTISEMENT
Mencari Dirigen Orkestra
Indonesia Corruption Watch mengadakan aksi “Cek Sebelum Milih” di Bundaran HI, Jakarta. Aksi tersebut memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia (HAKORDIA) yang jatuh pada 9 Desember. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Indonesia Corruption Watch mengadakan aksi “Cek Sebelum Milih” di Bundaran HI, Jakarta. Aksi tersebut memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia (HAKORDIA) yang jatuh pada 9 Desember. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Menghadapi situasi di atas, kiranya Indonesia membutuhkan pemimpin yang mampu menjadi komposer sekaligus dirigen orkestrasi gerakan antikorupsi. Pemimpin bervisi, berkonsep, dan yang mampu menggerakkan seluruh potensi. Dengan kata lain, kita butuh pemimpin strategis.
Untuk memimpin pemberantasan korupsi kita butuh pemimpin baru yang tekun bekerja memperkuat dan menggunakan institusi. Bukan pimpinan yang sibuk membangun pesona pribadi melalui atraksi dan foto selfie. Seorang pemimpin yang mampu melakukan pembenahan institusional.
Berikut ini beberapa gagasan dasar, tentang pembenahan institusional untuk mengatasi gawatnya tingkat korupsi kita.
Pertama-tama, haruslah disadari bahwa cara paling efektif menanggulangi korupsi adalah dengan keteladanan perilaku para pemimpin tertinggi. Seketat apapun hukum dan aturan, bila para pemimpin punya niat menjebolnya, dapat dijebol juga. Karena itu adalah penting pimpinan tertinggi negara dikelilingi pribadi-pribadi yang satu visi, cita-cita, tata nilai, dan cara kerja; yang berorientasi pada pencegahan dan pemberantasan korupsi. Memilih “core team” terbaik adalah agenda penting bagi Pemimpin mendatang. Ada pepatah: “kita adalah siapa di sekitar kita”.
ADVERTISEMENT
Kedua, untuk meminimalkan korupsi politik, kita patut mengapresiasi dan mendukung usulan KPK agar partai politik dibiayai negara. Bila partai politik dibiayai negara, maka akan memaksa Parpol lebih akuntabel karena ada kewajiban pelaporan, pengawasan berlapis, dan audit oleh lembaga independen. Partai politik juga akan membuka peluang dan mendorong talenta terbaik, kader-kader bangsa untuk masuk politik tanpa kendala biaya. Hanya pemimpin strategis yang akan mendorong kebijakan ini.
Ketiga, dalam bidang penegakkan hukum, pemimpin strategis akan berupaya agar lembaga penegak hukum dipimpin oleh teknokrat terbaik di bidangnya. Lembaga penegak hukum tak boleh dipimpin tokoh partisan. Lembaga penegakan hukum yang diurus oleh pribadi yang berafiliasi dengan partai politik tertentu mudah diselewengkan untuk kepentingan politik subjektif. Atau sekurang-kurangnya, dapat membangun persepsi ketidakadilan yang membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa.
ADVERTISEMENT
Keempat, KPK harus diperkuat dengan tindakan nyata, bukan dengan retorika. Jumlah anggaran belanja harus ditambah, kewenangan harus dijaga, bahkan diperkuat. Jumlah dan kualitas sumber daya manusia harus terus ditingkatkan. Penyidik independen yang jumlahnya hanya puluhan, harus dilipatgandakan. Bila perlu, kantor-kantor perwakilan harus dibangun di berbagai penjuru wilayah Republik Indonesia.
Yang tak kalah penting, partai berkuasa nantinya harus mendorong individu yang berintegritas tinggi, kuat kompetensinya, dan memiliki sikap indepeden dan berani melawan korupsi; untuk menjadi Pimpinan KPK di masa datang.
Kelima, Program Single Identity Number (SIN) harus diperjuangkan secepatnya. Pemimpin strategi memahami manfaat progam ini bagi transparansi, keadilan, dan ketertiban segala bidang dari ekonomi, hukum, sosial, hingga politik. Program SIN dapat memperkuat integritas pengelolaan APBN, sistem pengadaan barang dan jasa, kebijakan perpajakan, subsidi, hingga pengurusan hak-hak warga negara di bidang politik.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, menghadapi korupsi yang sudah dalam status “gawat darurat” kita harus mencari kepala negara yang mampu menjadi dirigen orkestra: menata partitur dan menggerakkan seluruh masyarakat terlibat sepenuh-penuhnya dalam memberantas korupsi. Kita membutuhkan panglima yang mampu memimpin perang semesta melawan korupsi.
Selamat Hari Antikorupsi. Jangan pernah lelah mencintai Indonesia yang hebat ini.
Slatri (Brebes), 9 Desember 2018
*) Sudirman Said, Ketua Institut Harkat Negeri (IHN)