news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Logika Sederhana Kasus KTP Elektronik

Sudirman Said
Warga negara biasa.
Konten dari Pengguna
13 November 2017 22:06 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sudirman Said tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aksi Kasus E-KTP. (Foto: Sigid Kurniawan/Antara)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi Kasus E-KTP. (Foto: Sigid Kurniawan/Antara)
ADVERTISEMENT
“Hukum menjadi sedemikian rumit menghadapi Setya Novanto”, demikian kalimat pembuka halaman Opini majalah berita mingguan terkemuka, pekan ini. Betapa tidak, Ketua Umum Partai Golkar ini seolah-olah bisa menekuk-lenturkan aturan. Perlu dicatat Setya Novanto saat ini adalah Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), lembaga pembuat hukum, yang anggotanya disyaratkan dipanggil dengan sebutan “yang terhormat”.
ADVERTISEMENT
Harus dikatakan di sini, memang suatu paradoks luar biasa sedang terjadi. Seorang Ketua DPR, dengan bantuan pengacara dan orang-orang sekitarnya, terlalu telanjang dan bernafsu ingin mempertunjukkan kekuasaannya. Ia berakrobat mempermainkan logika publik, menganggap seolah rakyat dungu semua, dan berusaha menghindar dari jerat hukum dengan cara-cara yang semakin hari semakin mencemaskan. Caranya menghadapi kasus ini jelas terbaca, ada gejala runtuhnya batas-batas kepatutan dalam kepengurusan negara.
Persolan substansi hukum, biarlah aparat penegak hukum dan para pembela Novanto yang mengurusnya. Melalui tulisan ini, saya hanya ingin berbagi pandangan betapa banyaknya logika-logika sederhana yang membuat kita dengan mudah akan memahami bahwa kasus ini memang istimewa. Istimewa, bukan karena nilai uang negara yang dirampoknya, tetapi juga karena jumlah dan kaliber pihak-pihak yang terlibat didalamnya. Lebih istimewa lagi, drama dari waktu ke waktu yang mengiringi proses hukumnya: mulai dari penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan perkara ini. Hal-hal istimewa inilah justru yang menjadi penjelas berbagai logika sederhana itu.
ADVERTISEMENT
Untuk membangun logika-logika sederhana, mari kita cerna dan jawab dengan seksama pertanyaan-pertanyaan di bawah ini.
Dapatkan kita bayangkan, seandainya urusan KTP Elektronik ini hanya menyebabkan kerugian negara Rp 1 miliar rupiah saja, dan melibatkan urusan blanko cetak saja, akankah membuat kegaduhan seluruh Indonesia seperti yang terjadi beberapa bulan ini?
Jika yang terlibat dalam perkara ini hanya Pejabat Eselon IV, III, atau II, apakah akan memicu keriuhan di Gedung Parlemen. Akankah kasus ini mampu menjadi pembangkit nyali bagi sebagian anggota DPR untuk menempuh langkah-langkah yang oleh rakyat kebanyakan pun telah menjadi bahan tertawaan.
Jika bukan Ketua DPR yang terlibat dalam kasus mega korupsi ini, dan jika tidak melibatkan sejumlah anggota DPR yang terhormat, apakah anggota DPR berani membabibuta membentuk Panitia Khusus Hak Angket KPK, berbondong-bondong berkunjung ke penjara mencari informasi yang sumbernya sulit dipercaya?
ADVERTISEMENT
Mari renungkan dengan rasa kemanusiaan yang mendalam, haruskah Novel Baswedan disiram air keras, yang menyebabkan cedera serius di matanya, dan menimbulkan guncangan jiwa seluruh keluarganya? Apakah drama penyiksaan Novel Baswedan dari waktu ke waktu akan terjadi, jika ia hanya menyidik kasus kasus korupsi yang melibatkan pelaku kelas teri?
Bertanyalah dengan nurani, bila urusan korupsi ktp-elektronik itu hanya soal cetak mencetak blanko biasa, dan bukan kelas kakap pelakunya, apakah akan ada kisah bunuh diri seorang saksi utama bernama Jonannes Marliem, di Amerika sana?
Hari ini, Miryam S. Haryani, seorang anggota DPR yang cantik dan cerdas divonis penjara lima tahun lamanya, karena terbukti memberikan keterangan palsu demi menutupi kejadian sesungguhnya di balik kasus ktp elektronik. Pertanyaan kita, mengapa seorang Miryam S. Haryani harus menempuh risiko hukuman penjara tambahan, demi menjalankan skenario yang menyesatkan?
Setya Novanto, saksi di sidang e-KTP (Foto: Antara/Hafidz Mubarak A)
zoom-in-whitePerbesar
Setya Novanto, saksi di sidang e-KTP (Foto: Antara/Hafidz Mubarak A)
Jika kasus ini biasa-biasa saja, bukan sebuah konstruksi canggih dan raksasa, mengapa seorang Setya Novanto yang selalu tampil necis, segar bugar dan penuh senyum; tiba-tiba dinyatakan jatuh sakit komplikasi luar biasa: vertigo, jantung mampet 80%, penurunan fungsi ginjal, keseimbangan tubuh bermasalah, hingga tumor di tenggorokannya? Dan sungguh lucu bukan, anak-anak sekolah tertawa karena deretan penyakit itu sembuh sekaligus, sejurus setelah hakim tunggal Cepi Iskandar membebaskanya dari status tersangka.
ADVERTISEMENT
Publik juga terus bertanya, sedemikian kuatkah Novanto dan para pengacaranya? Mengapa berani melakukan serangan balik tak terkira: tak terbatas mengajukan gugatan pra-peradilan, tetapi juga melaporkan 24 Penyidik KPK kepada Kepolisian, mengkriminalkan dua Pimpinan KPK dengan tuduhan pemalsuan surat dan penyalahgunaan wewenang. Mengapa sampai teguran halus seorang Wakil Presiden pun “dihardik” oleh sang pengacara?
Keberanian pengacara Novanto memang patut diacungi jempol. Di media massa ia meminta presiden, polisi, dan TNI melindungi Setya Novanto, karena KPK dianggap bertindak inkonstitusional. Betapa hebatnya mereka membolak-balik logika: manusia dengan status tersangka minta dibela kepala negara dan perangkatnya, sementara lembaga penegak hukum seperti KPK ditempatkannya sebagai pelanggar undang-undang dasar negara.
Akhirnya kita patut bertanya, akankah ada tebaran meme-meme berkomentar tentang segala tingkah laku Novanto beserta para penopangnya, jika tak ada suasana batin yang merata. Meme-meme itu tidak sekedar refleksi kreativitas warga, tetapi juga cermin kegusaran, kemarahan, kecemasan, bahkan kemuakan warga negara. Mereka gusar menyaksikan ketegaan Setya Novanto dan konco-konconya merendahkan akal sehat, dan membolak-balikkan logika rakyat Indonesia. Rakyat yang telah memberi mandat, dan membiayai seluruh kebutuhan hidupnya sebagai pejabat negara.
ADVERTISEMENT
Kadang saya ingin berseru kepada mereka: Bung, tampaknya Anda sedang lupa zaman. Ngurus negara di jaman now, masih merasa hidup di jaman baheula. Kalian tak lagi bisa semena-mena, bersiasat terus menerus mencoba menyembunyikan realita. Ini jaman terbuka, segala sesuatu tercatat di mesin pencari google, dan media elektronik lainya. Hanya soal waktu hal-hal yang tak masuk logika akan menjadi konsumsi rakyat semesta.
Sebagai catatan, sesungguhnya ada momentum penting yang kalau saja dimanfaatkan dengan baik, kerumitan dan kegaduhan yang menelan energi dan perhatian segenap bangsa kita tak perlu terjadi. Tanggal 16 Desember 2015 Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah memutuskan Setya Novanto bersalah telah melakukan pelanggaran etika sebagai Anggota DPR. Malam harinya ia mengajukan pengunduran diri sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat.
ADVERTISEMENT
Sangat disayangkan, situasi ini tidak dimanfaatkan oleh segenap komponen pemimpin bangsa untuk menghentikan langkah-langkah kontroversinya. Yang terjadi adalah, entah faktor apa yang mampu menguatkan kembali posisinya, menjadi Ketua Partai dan mengembalikannya sebagai Ketua DPR RI. Dua momentum itulah yang menjadi pintu masuk segala kegaduhan jagat politik dan kepemimpinan nasional Indonesia. Jadi kalau ada pihak yang menyesali dan menyalahkan kegaduhan kasus ktp elektronik, maka sesalilah dan salahkanlah pihak-pihak yang membantunya kembali pada posisi semula.
Kembali pada logika-logika sebagaimana diuraikan di atas, boleh jadi penyelesaian kasus korupsi ktp elektronik ini juga sederhana. Jangan-jangan, jika tangan-tangan kuat berhenti menopangnya, maka penegakan hukum yang seharusnya akan berjalan lancar, tak harus menempuh kerumitan luar biasa. Sebab logika sederhana kita juga berkata: segala drama dan kegaduhan yang terjadi, tak mungkin terjadi tanpa penopang tangan-tangan kuat dan berkuasa.
ADVERTISEMENT
Semarang, 14 November 2017