news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Mencintai Indonesia untuk Selamanya

Sudirman Said
Warga negara biasa.
Konten dari Pengguna
14 April 2019 16:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sudirman Said tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mencintaimu….seumur hidupku
Selamanya…setia menanti
Kau tetap milikku…
Ilustrasi Bendera Indonesia. Foto: Shutterstock
Kata-kata di atas adalah penggalan lagu romantis berjudul “Mencintaimu”, yang didendangkan penyanyi cantik Krisdayanti. Sebagian besar politisi yang sedang ikut kontestasi mungkin hafal lagu yang populer di awal tahun 2000-an ini. Ketika itu mereka masih muda dan senang mendayu-dayu dengan lagu-lagu bertema asmara.
ADVERTISEMENT
Sebagai penikmat musik, saya senang dengan aransemennya yang pas betul dengan lirik dan corak suara penyanyinya. Yang membaca tulisan ini, mungkin boleh iseng “googling” cari dan dengarkan lagu ini, untuk sekadar mengenang masa muda.
Mencintai seseorang dalam suasana asmara, tentu berbeda konteksnya dengan cinta pada negeri kita: Indonesia Raya. Meski begitu, tak ada salahnya bila kita menaruh harapan agar para penyelenggara negara dan para politisi yang sedang sibuk berkontestasi (termasuk saya), menempatkan cintanya pada Indonesia, sebaik dan sedalam cinta kita pada pasangannya.
Cinta yang harus dijaga seumur hidup, selamanya; diwujudkan dengan kesetiaan untuk hidup bersama, dan rasa memiliki sepenuh hati. Cinta yang mendorong kita untuk menjaganya, yakni menjaga keselamatannya, menjaga keutuhannya, menjaga kelangsungan hidupnya. Juga cinta yang memacu semangat untuk menata dan membangunnya, seperti pesan pada lagu kebangsaan Indonesia Raya: bangunlah jiwanya, bangunlah badannya.
ADVERTISEMENT
Bahkan dalam mencintai Indonesia, haruslah ada kesadaran penuh bahwa negeri hebat ini akan terus hidup jauh melampaui usia kita, melampaui usia generasi anak cucu kita. Karenanya segala sikap dan tindakan, hendaklah mempertimbangkan kepentingan masa depan yang panjang. Sebab, di sanalah ada terletak kepentingan dan hak generasi-generasi berikutnya.
Petugas kebersihan melintas di dekat papan sosialisasi pemilu 2019 di kawasan Bundaran HI. Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Dalam beberapa hari mendatang, Indonesia akan menggelar hajat penting memilih para pemimpinnya: pemimpin eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden), dan pemimpin legislatif (para anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan DPD). Pemilu berbiaya Rp 25,59 triliun ini akan memilih 20.510 politisi.
Mereka adalah 1 Presiden, 1 Wakil Presiden, 575 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 136 anggota Dewan Perwakilan Daerah, 2.207 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan 17.610 Anggota DPRD Kabupaten/Kota.
ADVERTISEMENT
Bagi para kontestan, mencintai Indonesia artinya membudayakan persaingan sehat dengan adu gagasan, adu kredibilitas, adu rekam jejak, dan adu kehebatan program kerja. Rasa cinta kita pada negeri ini diwujudkan dengan membangun suasana positif dalam kompetisi yaitu tidak melakukan kampanye hitam, tak menebar kebencian, tidak memfitnah, dan menebar berita bohong demi memenangkan kontestasi.
Mencintai Indonesia juga berarti mencintai warganya, jangan karena ngotot ingin dipilih sampai-sampai harus merusak mental warga negara dengan menebar uang, money politics, yang sejatinya adalah menyuap rakyat. Jangan pula jejak-jejak kompetisi kita sampai merusak kerukunan dan persaudaraan antar warga.
Bagi para penyelenggara Pemilu baik Pemerintah, Komisi Pemilihan Umum, maupun para pengawas; mencintai Indonesia adalah dengan menjadi penyelenggara dan pengawas profesional, yang jujur, adil, netral, dan memberikan pelayanan terbaik. Memihak pada salah satu kontestan akan mencederai hasil pemilu.
ADVERTISEMENT
Aparat keamanan, penegak hukum, tentara, dan petugas intelejen adalah penjaga rasa aman dan ketenteraman warga. Mereka sungguh diharapkan perannya menjadi penjaga tumpah darah, dan pelindung rakyat seluruhnya; tanpa pandang bulu, tanpa membedakan warna dan pilihan politiknya.
Anggota Brimob POLRI mengikuti Apel Patroli Skala Besar TNI-Polri di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Minggu (14/4). Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Wujud cintanya pada Indonesia adalah dengan menjadi pelayan, penjaga, dan pelindung seluruh rakyat. Karena sosok dan peran kalian, menampakkan keberpihakan pada satu warna politik dapat dibaca sebagai ancaman bagi warga negara yang berbeda pilihan politiknya.
Kita tidak ingin aparat yang gagah secara fisik, tetapi kehilangan wibawa di mata rakyat yang membiayainya. Kita ingin Polisi, Militer, Intelejen, dan Penegak Hukum yang mencintai seluruh warga bangsa, agar seluruh warga juga menaruh hormat dan memberikan cintainya.
ADVERTISEMENT
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sesuai namanya adalah memang MILIK Negara, artinya seluruh rakyatlah yang menjadi pemiliknya. BUMN bukan milik satu periode rezim, apalagi milik kelompok politik tertentu. Keliru bila ada usaha-usaha memanfaatkan akses dan pengaruhnya pada BUMN untuk tujuan politik praktis, memenangkan partai atau kontestan politik tertentu.
Bagi para pemimpin BUMN, para direksi, pada komisaris, dan para penentu kebijakan di Kementerian BUMN; mencintai Indonesia adalah menjaga asetnya dengan sikap amanah dan menjalankan tugas dengan jujur dan profesional. Jangan khianati kepercayaan rakyat, uruslah perusahaan negara sebaik-baiknya. Jangan sekali-sekali menjadikan BUMN sebagai alat politik, karena akan meninggalkan jejak kerusakan budaya, kerusakan sistem, dan kerusakan moral yang sulit dipulihkan.
Ingatlah kisah-kisah “pemerkosaan” BUMN untuk tujuan politik di masa lalu, yang meninggalkan cerita pilu, mengirimkan begitu banyak eksekutif BUMN ke ruang pengadilan, dan memaksa mereka harus menghabiskan hari tuanya di penjara.
ADVERTISEMENT
Media, para akademisi, dan ilmuwan politik (termasuk pelaku survei politik) adalah meteor penerang bagi seluruh warga. Orang kebanyakan yang dalam kegelapan memahami politik membutuhkan suluh penerang. Mereka butuh bimbingan dalam memilih partai apa yang baik, calon mana yang jujur dan dapat dipercaya.
Rakyat yang awam perlu penjelasan siapa calon pemimpin yang lebih kompeten membawa bangsa untuk menuju masa depannya. Media, akademisi, dan para pembuat opini yang cinta Indonesia akan menjaga kejujuran opininya. Karena opini mereka akan didengar oleh sebagian besar warga yang awam.
Ilustrasi Surat Suara Pemilu 2019. Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Bila opininya jujur objektif, selamatlah seluruh warga. Sebaliknya bila pandangan dan temuan-temuannya bias berpihak karena dibungkus kepentingan, apalagi diwarnai kebohongan, sesatlah seluruh warga bangsa disebabkan salah memilih pemimpinnya.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, kita ingin menggugah rasa cinta kepala negara pada bangsa yang dipimpinnya. Siapapun presiden kita, dia adalah seorang kepala negara, pemimpin tertinggi, dirigen orkestra seluruh elemen bernegara. Dengan seluruh kekuasaan dan pengaruhnya, kepala negara adalah pemberi warna kehidupan berbangsa.
Wujud cinta seorang kepala negara pada bangsanya adalah menjaga, meyakinkan, mendorong, mengarahkan agar seluruh instrumen bekerja sebaik-baiknya. Seluruh cabang eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus digunakan untuk mewujudkan cita-cita para pendiri bangsa.
Karenanya, kepala negara harus menjaga agar segenap aparatnya menjadi pengayom dan pelayan warga, bukan mengadu domba. Kepala negara perlu terus mengingatkan media dan akademisi untuk menjaga objektivitasnya, menjadi obor penerang arah kehidupan rakyat seluruhnya.
Dalam konteks pemilu, kepala negara wajib mengarahkan seluruh penyelenggara pemilu agar bekerja sekuat tenaga untuk mewujudkan pemilu yang benar-benar berintegritas dan berkualitas. Pendek kata, seluruh ucapan, sikap, tindakan, dan keputusan kepala negara adalah standar tertinggi dalam tata pengelolaan berbangsa dan bernegara.
ADVERTISEMENT
Semakin tinggi standar etika dan moral yang ditampilkan, makin baiklah warisan sejarah yang ditinggalkan. Sebaliknya, bila norma-norma terbaik diabaikan atau bahkan dilanggar, maka warisan yang ditinggalkan oleh seorang kepala negara adalah kerusakan institusional dan moral.
Pertanyaannya, bagaimana kalau seorang presiden, kepala negara yang sedang menjabat ikut serta menjadi kontestan? Nah di situlah panggilan moral kepemimpinan seorang Petahana. Pasti akan ada dilema-dilema moral.
Di satu sisi sebagai calon presiden ia harus memenangkan kompetisi, di sisi lain sebagai kepala negara yang masih menjabat ia punya kewajiban etik dan moral menjaga “level playing field”, arena bermain yang setara bagi semuanya. Pada Pemilu 2019 ini dilema yang dihadapi Presiden Joko Widodo tidaklah mudah.
ADVERTISEMENT
Dalam persaingan yang sangat ketat, selalu ada dorongan untuk melakukan banyak hal yang cenderung berisiko melanggar aturan atau menerobos norma. Tetapi bila Presiden Joko Widodo benar-benar tulus menjalankan perannya sebagai Kepala Negara, di atas kepentingan subjektifnya sebagai Petahana, kita memiliki optimisme bahwa apapun hasil Pemilu 2019 ini, akan diterima oleh seluruh warga.
Seniman mural di Aceh saat mengikuti perlombaan mural dalam rangka mengkampanyekan pesan pemilu damai 2019 di Stadion H Dimurtala, Lampineung, Banda Aceh, Minggu (17/3). Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
Pemilu adalah perlombaan mencintai Indonesia, mencintai dasar negara Pancasila, mencintai bangsa dan rakyatnya. Mari kita berlomba mewujudkan cinta kita pada negeri ini dengan berbuat yang terbaik, berlomba-lomba dalam kebaikan sebagai warisan abadi.
Jika itu yang kita lakukan, maka hasil apapun yang kita peroleh (sebagai kontestan), sejarah akan mencatat bahwa kita telah menjadi bagian dari yang telah ikut membangun, bukan menjadi bagian yang ikut merusak atau meninggalkan kerusakan.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, jangan pernah lelah mencintai Indonesia yang hebat ini. Mari kita dendangkan kembali lagu romantis Krisdayanti, “Mencintaimu” bagi Indonesia kita. Kita penuhi suasana hati hari-hari ke depan dengan kasih sayang pada sesama warga bangsa, pada seluruh rakyat Indonesia; apapun partainya, siapapun Presiden dan Wakil Presiden pilihannya. Mencitaimuu….seumur hidupku, setia menanti…..selamanya…
Brebes, 14 April 2019
*Sudirman Said, Ketua Institut Harkat Negeri (IHN)