Merindukan Bung Karno, Bung Hatta, dan Nenek Moyang Kita

Sudirman Said
Warga negara biasa.
Konten dari Pengguna
17 Oktober 2017 16:18 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sudirman Said tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Minggu malam saya terbang ke Semarang. Di pesawat sempat nonton film pendek, menceritakan pidato Bung Karno di BPUPK, tanggal 1 Juni 1945.
Tahun 1945 penduduk kita 70 juta jumlahnya, dan menurut salah satu literatur hanya 7 % yang melek huruf. Artinya 93 % (!!!) buta huruf, dan dapat diduga sebagian besar dari mereka miskin.
Tapi, inilah hebatnya. Di saat penderitaan dan kemiskinan mendera bangsa, seorang Pemimpin berpidato dengan kalimat bertenaga, kata-kata besar memotivasi, menginspirasi, meluruskan, berpihak kepada yang benar, menohok yang diluar batas kewajaran.
Bung Karno dengan fasih mengutip pikiran-pikiran besar negarawan dunia, pemimpin negara yang punya peradaban lebih maju, dan dengan percaya diri mengajak bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa merdeka.
ADVERTISEMENT
Menjadi bangsa berharkat, sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya.
"Kemerdekaan harus kita raih sekarang, tidak perlu menunggu sampai segala sesuatunya beres. Tidak perlu menunggu hal-hal yang njilmet!", tegasnya.
Bahkan Bung Karno menggarisbawahi justru Kemerdekaan adalah pintu gerbang menuju bangsa beradab: bangsa yang sejahtera, cerdas, dan berperan dalam percatuan dunia.
Bung Karno bertutur dengan runtut tanpa text, tentang perjalanan bangsa, tentang perkembangan dunia, dan tentang arah masa depan kita.
Hari ini, rakyat kita 250 juta lebih, dan yang buta huruf tinggal 2.3 %. Sebagian besar sudah cukup sandang pangan, dan sebagian elitnya berkelimpahan. Tapi dewasa ini kita jarang sekali mendengar pemimpin negara bicara hal besar. Jarang kita mendengar kalimat kalimat yang menggelorakan semangat juang sebagai bangsa, terlebih dalam percaturan dunia yang makin ketat persaingannya.
ADVERTISEMENT
Hari ini, pemimpin nasional kita, legislatif, eksekutif, yudikatif, eksaminatif ada dalam "defensive mood". Hampir semua lembaga tinggi negara (BPK, MA, MK, DPD, DPR) pemimpin tertingginya masuk jebakan salah guna kuasa. Boro-boro bicara hal besar tentang arah bangsa ke depan, mereka malah sibuk melindungi diri, bersiasat menggunakan kekuasaanya demi keselamatan dirinya, kedudukannya.
Sudah tidak ada lagi kesan bahwa kekuasaan yang melekat padanya itu diberikan oleh rakyat, dan seharusnya digunakan untuk melayani rakyat.
Bung Karno dan Bung Hatta. (Foto: Dok. Kemdikbud)
Kita merindukan Bung Karno, Bung Hatta, Ki hajar Dewantara, Panglima Soedirman, Sjahrir, Dr. Radjiman dan sejenisnya. Manusia-manusia terbaik, para pribumi tulus ikhlas, manusia terdidik yang sudah selesai dengan diri sendiri.
Kita melihat suasana diam, mendambakan hal-hal yang memang sudah lama melampaui batas-batas kewajaran. Kita seperti makin permisif membiarkan kemencengan terjadi tanpa halangan. Kita seperti sedang membangun suasana, "kalau saya punya kuasa, dan saya mau berbuat apa saja, tak ada yang bisa menghalanginya".
ADVERTISEMENT
Suasana diam dan mendiamkan adalah surga bagi para "predator", perusak tatanan bernegara, koruptor, dan penguasa lalim.
Kita merindukan para pemimpin kita yang mengangkat tinggi harga diri bangsa, memacu keras semangat juang dan etos kerja, meluruskan hal-hal yang melampaui batas kepatutan, memberi arah kemana masa depan bersama akan dibangun.
Selamat beraktivitas. Jangan pernah lelah mencintai Indonesia yang hebat ini.
Semarang, 16 Oktober 2017
Sudirman Said