Pejuang (Masih) Ada di Mana-mana

Sudirman Said
Warga negara biasa.
Konten dari Pengguna
17 Juli 2017 9:56 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sudirman Said tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jamaah pengajian di Dukuh Tegal Arum (Foto: Sulaiman)
zoom-in-whitePerbesar
Jamaah pengajian di Dukuh Tegal Arum (Foto: Sulaiman)
ADVERTISEMENT
Kalau kita menonton adegan demi adegan panitia angket KPK, pasti banyak yang sesak dada, cemas, mengapa penerima mandat rakyat malah bertindak berlawanan denga suara hati rakyatnya.
ADVERTISEMENT
Sudah jelas bahwa rakyat mau korupsi diberantas dan karenanya KPK harus kuat dan dikuatkan, kok wakil rakyat yang dipercaya membawa suara hati mereka tak henti mencari cara untuk melemahkan KPK, kalau bisa bahkan membubarkannya.
Semoga saja ini hanya kecemasan yang berlebihan. Meskipun hampir semua cerdik pandai terpercaya menyampaikan analisis dan kecemasan sejenis.
Menonton perilaku sebagian elit politik kita, wajar kalau kita sesak dada. Parlemen dipimpin oleh figur yang dari waktu ke waktu selalu saja menjadi sorotan publik, baik karena kasus hukum, tuduhan korupsi, maupun pelanggaran etika yang divonis oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Perhatian kita patut dilayangkan dalam bentuk renungan mendalam atas dua pertanyaan:
ADVERTISEMENT
1) Mengapa figur seperti itu terpilih menjadi sebuah pemimpin partai [politik)?
2) Mengapa partai politik dan anggota parlemen menerima dan memilihnya kembali sebagai Pemimpin Parlemen—suatu lembaga bernaungnya wakil rakyat yang terhormat?
Mari kita terus merenung dan mencermati, ke arah mana jarum sejarah bangsa dan negara ini hendak menuju.
Saya kok masih yakin dan akan terus meyakini bahwa bangsa ini dari waktu-ke waktu akan terus menjadi bangsa yang lebih baik, lebih beradab, lebih taat hukum, lebih terdorong untuk menjaga dan meningkatkan harkatnya.
Keadaan yang tampak suram disebabkan banyaknya ketidakpatutan perilaku elit, menjadi pertanda sekaligus panggilan akan hadirnya solusi, melalui tangan, pikiran, dan hati yang bersih.
Keyakinan dan optimisme sekurang-kurangnya didasari oleh dua hal.
ADVERTISEMENT
Pertama, alam semesta memiliki hukumnya sendiri, hukum keseimbangan; jika hal-hal berjalan sedemikian buruknya akan selalu muncul mekanisme koreksi.
Kedua, di berbagai penjuru nusantara, dari desa-desa, kecamatan, kabupaten, yayasan kecil hingga korporasi besar, kota, kabupaten, sampai ibukota negara selalu saja kita bertemu para pejuang yang sesungguhnya.
Mereka yang dengan kekuatan dan inisiatifnya sendiri terus memperjuangkan perbaikan keadaan, melalui berbagai jalan: pendidikan, ekonomi, penegakan hukum, pemberantasan korupsi, perjuangan hak-hak perempuan, sampai penanggulangan narkoba.
Mereka inilah para penjaga republik sejati: tidak merepotkan negara, bergerak dan menggerakkan dengan kreativitasnya, dan tak pernah berhenti, meskipun begitu banyak rintangan dan halangan yang menyertainya.
Sejak Ramadhan sampai pekan-pekan ini, dan akan terus saya lakukan dalam waktu-waktu mendatang, saya berkesempatan keluar masuk puluhan desa, kecamatan, dan kabupaten di Jawa Tengah.
ADVERTISEMENT
Di samping kangen kampung halaman, saya juga sedang belajar tentang potensi dan tantangan provinsi Jawa Tengah. Dalam perjalanan ini, saya menemukan banyak sekali pejuang sejati tadi. Melalui tulisan ini saya ingin menceritakan beberapa dari mereka.
Di desa, kecamatan Sambung Macan, Kabupaten Sragen, saya bertemu dengan Ibu Sugiharti. Ibu berusia 75 tahun yang akrab dipanggil Mami adalah seorang aktivis perempuan. Rumahnya yang sederhana dijadikan Women Crisis Center (WCC).
Dengan bangga dan antusias Mami bercerita:
“Sudah lebih dari 350 kasus kekerasan pada perempuan dan anak saya tangani dengan tuntas. Saya para legal, memberikan pembelaan hukum, dan melakukan terapi doa untuk para korban kekerasan. Lawan saya dalah pengacara nakal, juga laki-laki kerdil yang berani memukuli dan menyiksa pasangannya atau predator yang memperkosa anak-anak kecil”.
ADVERTISEMENT
Berkat dedikasinya Mami diganjar dengan sejumlah penghargaan. Dinding ruang tamunya dipenuhi piagam dan foto-foto dengan tokoh nasional.
“Saya tahun ini mendapat predikat Perempuan Inspiratif Nasional," tuturnya bangga.
Mami Sugiharti (Foto: Sulaiman)
zoom-in-whitePerbesar
Mami Sugiharti (Foto: Sulaiman)
Kegigihannya tampak nyata. Kemana-mana naik sepeda motor (ingat, usianya sudah 75 tahun), sepanjang kami bertamu telpon dari wartawan terus bordering silih berganti.
“Sedang ada kasus yang saya tangani, ditukar 1 miliar atau 1 trilyun sekalipun, saya tidak mungkin menarik kasus ini”.
Saya sungguh merinding dibuatnya. Seorang perempuan, di desa kecil, ujung timur Provinsi Jawa tengah, memiliki keteguhan luar biasa untuk membela kaumnya. “Mulai bulan depan saya akan diajak Ibu Menteri Pemberdayaan Perempuan keliling Indonesia untuk memberi motivasi”.
ADVERTISEMENT
Luar biasa, bukan?
Di kota Solo, saya dipertemukan dengan Kyai Ali (yang akrab dipangil Mbah Ali). Pendiri dan pemimpin Pondok Pesantren. Mengelola boarding school yang menampung sekolahnya kata seorang teman yang tinggal di Solo, menjadi salah satu favorit pilihan orang tua karena kualitasnya.
Katanya, Mbah Ali ini tokoh yang cukup vokal mengkritisi berbagai masalah sosial dan kebijakan publik.
Bagi pemimpin yang punya niat baik, orang seperti Mbah Ali ini adalah aset: bekerja suka rela, membantu pemerintah menyeklenggarakan pendidikan tanpa minta bantuan, dan bersedia mengingatkan pemerintah agar kebijakannya terus berpihak pada rakyat.
Yang amat menarik perhatian saya adalah ketika duduk ngeriung bersila, Mbah Ali dikelilingi orang-orang berperawakan keker, sebagain berambut gondrong, dengan pakaian aneka rupa. Ada yang bersarung, ada berkaos loreng tentara, ada yang bertuliskan: pesan-pesan baik.
Bersama Mbah Ali (Foto: Sulaiman)
zoom-in-whitePerbesar
Bersama Mbah Ali (Foto: Sulaiman)
“Pak Sudirman, mereka ini dulu para gali di Solo. Gali betulan, bukan main-main", cerita Mbah Ali, disambut ketawa riuh mereka yang ada di riungan itu. Rupanya, sejak lama di antara kesibukan mengasuh santri-santrinya, Mbah Ali gigih membina preman-preman, pengguna markoba, sampai penjahat kambuhan.
ADVERTISEMENT
"Saya tidak minta sumbangan dari pemerintah sepeserpun," katanya. Sudah ratusan preman dibina, diajak belajar shalat dan mengaji, dan diajari hidup mandiri supaya bisa kembali hidup menjadi anggota masyarakat yang normal.
Mbah Ali, satu contoh lagi pejuang sejati: bekerja mandiri, memberi manfaat bagi masyarakat, tidak mengeluh, dan….
Di Karang Anyar saya ketemu kyai unik, pengasuh pondok pesantren Ilyas. Namanya Kyai Syamian Perawakannya masih kekar, wajahnya segar penuh kharisma. Bicaranya runtut dan tampak paham betul soal-soal pemerimtahan dan kenegaraan.
Ia sudah beberapa tahun merintis pembangunan pesantren yatim piatu. 50-an anak yatim. Putra dan putri menyambut kami dengan sopan. Pakaian mereka rapi, wajahnya tampak bersih, menunjukkan anak-anak ininterjaga dan terpelihara dengan baik.
Kyai Syamian (Foto: Sulaiman)
zoom-in-whitePerbesar
Kyai Syamian (Foto: Sulaiman)
Setelah lama berbincang, saya disuguhi teh hangat dan berbagai penganan, akhirnya Pak Kyai Syamian buka kartu. "Mungkin tidak ada yang tahu bahwa latar belakang saya adalah militer”.
ADVERTISEMENT
Saya kaget betul, tapi juga menjadi paham mengapa perawakannya tampak masih altetis dan bugar. Lebih kaget lagi ketika saya bertanya tugas di mana. "Lima kali saya bolak balik ditugaskan di Timor Timur. Saya dari kesatuan Kostrad”.
Seorang mantan Bintara, pensiunannya tak seberapa, setelah berjuang membela negara di medan paling berisiko, memilih mengurus anakyatim dan menjadi pendidik agama.
“Saya benar-benar dibantu Allah saja mengurus semua ini. Bagaimana mungkin pensiunan bintara seperti saya harus menyediakan biaya operasional puluhan jutarupiah tiap bulan utuk anak-anak yatim itu. Mereka semua tidak dipungut biaya."
Saya terdiam cukup lama: betapa banyak di antara kita yang jauh memiliki kemampuan, jauh memiliki kekuasaan, ikhtiar dan sumbangsihnya bagi orang-orang yang kurang beruntung masih terbatas dan biasa biasa saja. Bandingkan dengan kyai ini.
ADVERTISEMENT
Di dalam perjalanan menuju tempat pertemuan berikutnya saya terdiam lebih lama. Betapa banyaknya orang berkuasa dan kaya raya, bukannya memanfaatkannya untuk kebajikan seperti Kyai, tetapi malah menggunakan kekuasaanya untuk merusak tatanan bernegara.
Perjalanan saya ke wilayah Solo raya lebih terasa sebagai perjalanan rohani. Selama beberapa hari bertemu dengan orang-orang ikhlas, orang-orang soleh, pemuka agama yang dari mulutnya hanya keluar kebaikan dan ajakan berbuat baik.
Selama perjalanan saya diantarkan oleh satu figur yang tak kalah fenomenal. Seorang doter spesialis kesehatan jiwa, berjenggot lebat, dan terus aktif sepanjang perjalanan menjelaskan keadaan wilayah kota-kota dan desa yang kami kunjungi. Dengan kemampuannya sendiri Dokter Dede membangun klinin di desanya. Kami meginap di rumahnya.
ADVERTISEMENT
Dokter Dede adalah pria yang lahir di Garut, menyelesaikan Fakultas Kedokteran di UNS hingga spesialis kedokteran jiwa. Semasa mahasiswa aktif dalam berbagai organisasi pergrakan.
Ia bercerita salah satu orang dekatnya adalah Wiji Thukul. Tapi juga mengaji ke sejumlah kyai karena ia punya hubungan dekat dengan sejumlah tokoh agama. Bahasa Jawanya lumayan medok, meskipun masih terdengar sesekali cengkok asli sundanya. "Saya sudah 22 tahun di Solo dan Sragen," kata Pak Dokter.
Malam itu di rumahnya diadakan pengajian mengundang Kyai.
Ratusan hadirin memenuhi halamannya. Pengeras suara berkualitas baik dipasang. Kelompok hadrah dengan rebana dan nyanyin bertema doa dan pesan kebaikan dikumandangkan. Sangat menggairahkan.
Ratusan ibu-ibu berdandan rapi, di antaranya banyak yang menggendong bayinya, luar biasa, amat antusias mengikuti pengajian ini. Sungguh tak disanka sangka, tepat menjelang tengah malam Pak Kyai menutup ceramah dan doa-doanya dengan mengajak hadiri menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
ADVERTISEMENT
Ratusan hadirin pun larut dalam dua suasana, keberagamaan dan ke-Indonesiaan yang dalam. Sungguh, dari desa ini, sekali lagi, memberi bukti tak ada alasan menubrukkan sikap beragama dengan ber-Pancasila.
Menutup tulisan ini, saya ingi kembali membagi optimisme; meskipun jagat elit politik nasional terlihat mendung menggantung, tetapi di pelosok-pelosok sana masih banyak pejuang-pejuang sejati, bukan para penggerak bayaran.
Saya yakin di 7.809 desa, dan 769 kelurahan di seluruh Jawa tengah kita akan menemukan pejuang-pejuang lainnya. Kepada merekalah sesungguhnya kita bisa menaruh harapan, sambil bersyukur:
Ternyata ibu-ibu kita masih terus melahirkan para pejuang.