Pemimpin, Budaya, dan Tata Nilai

Sudirman Said
Warga negara biasa.
Konten dari Pengguna
6 Agustus 2018 12:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sudirman Said tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Leader (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Leader (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
“Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, sebuah peribahasa yang kita dengar dan kita pelajari sejak di bangku Sekolah Dasar (SD). Artinya, siapapun yang pernah bersekolah sekurang-kurangnya SD, pasti mendengar dan memahami makna peribahasa itu.
ADVERTISEMENT
Guru menjadi perlambang orang yang dihormati, dituakan, dan karenanya seluruh kata-kata dan perilakunya menjadi pedoman. Murid merupakan simbolisasi dari orang yang lebih muda, lebih rendah ilmu dan kedudukannya. Kepada gurulah, murid-murid memberi respek, manaruh hormat, dan karenanya kata-kata dan tindakan seorang guru diikuti oleh murid-muridnya.
Di antara tugas-tugas seorang pemimpin memanglah menjadi pendidik, menjadi “guru” bagi orang-orang sekelilingnya, teladan bagi anggota organisasi yang dipimpinnya. Jika ia seorang CEO perusahaan, maka kata-kata dan tindakannya menjadi pedoman seluruh manajer dan karyawan di perusahaan yang bersangkutan. Bila ia seorang bupati atau wali kota, maka ucapan dan tindakannya akan mewarnai kehidupan bermasyarakat dalam lingkungan kabupaten dan kota yang dipimpinnya.
Para tokoh agama: kyai, pastor, biksu, suhu, pedanda, dan pendeta adalah panutan bagi umatnya. Pun demikian bila sang pemimpin seorang presiden, kepala negara di manapun. Di antara tugas-tugas penting yang harus diembannya, seorang kepala negara adalah penjaga budaya, penjaga nilai-nilai bangsa. Kata-katanya adalah inspirasi sikap tindak dan perilaku rakyat seluruhnya.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1989, terbit sebuah buku autobiografi yang judulnya sangat melekat dalam ingatan para pemerhati kepemimpinan dan politik Indonesia: Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Editornya dua budayawan terkemuka, G. Dwipayana dan Ramadhan KH.
Sebagai mahasiswa yang sedang menekuni Studi Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, di The George Washington University, saya membaca buku itu dengan saksama.
Bahkan buku itu sempat saya jadikan alat peraga dan bahasan dalam salah satu presentasi di mata kuliah “Consulting in Organizational Behavior and Change”, dan mendapat aplaus antusias dari profesor dan para mahasiswa. Di antara mahasiswa yang mengambil mata kuliah ini ada para eksekutif di World Bank dan perwira militer Pentagon, yang berkantor tak jauh dari kampus kami.
ADVERTISEMENT
Ketika itu, Pak Harto sedang menyelesaikan periode kelimanya, dan para pendukungnya tengah bersiap mencalonkannya kembali untuk periode keenam sebagai Presiden Republik Indonesia.
Karena itu, kajian teori budaya organisasi mengenalkan tiga lapis pembentuk budaya yaitu:
1. Lapisan terluar yang terlihat (observable culture);
2. Lapisan tengah adalah nilai-nilai yang diyakini bersama (shared values),
3. Lapisan terdalam adalah pandangan tentang benar dan salah yang menyatukan (common assumptions).
Kebiasaan-kebiasaan, tata cara, upacara, dan simbol-simbol yang tampak sehari-hari adalah bagian dari “observable culture”. Lapisan tengah dan lapis terdalam memang lebih abstrak. Tetapi, secara sederhana dapat dipahami sebagai standar hidup, tujuan bersama, dan pandangan tentang benar-salah, tentang kepatutan-ketidakpatutan yang menjadi pedoman perilaku bagi seluruh warga organisasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam praktik sehari-hari, apa-apa yang tampak dalam perilaku, simbol yang dipilih, kegiatan yang dilaksanakan, adat-istiadat dan upacara yang diselenggarakan, pilihan penampilan ke publik; semuanya adalah refleksi dari tata nilai dan pandangan tentang benar-salah, tentang patut-tidak patutnya atas sesuatu.
Selanjutnya, pilihan kata dan tindakan seorang pemimpin akan menjadi inspirasi bagi segenap warga yang dipimpinnya. Di sinilah kredibilitas seorang pemimpin menjadi pertaruhan. Semakin tepercaya, semakin kredibel, seorang pemimpin maka semakin banyak kata dan tindakannya yang diikuti warga.
ADVERTISEMENT
Visi, misi, diksi, dan aksi seorang pemimpin terpercaya adalah sumber inspirasi bagi segenap warga. Sebaliknya, pemimpin yang tidak kredibel, kata dan tindakannya akan ditentang anggota yang dipimpinnya. Pernyataannya menjadi sumber kontroversi, perbuatannya menjadi bahan olok-olok, sikap perilakunya memantik kegaduhan tanpa henti.
Tahun ini dan tahun depan adalah tahun politik. Setelah 416 Bupati, 98 wali kota, dan 34 gubernur dipilih melalui pilkada serentak, tahun depan kita akan punya hajat besar: memilih 17.610 anggota DPRD kabupaten/kota, 2.207 anggota DPRD Provinsi, 575 anggota DPR RI, 136 anggota DPD, dan tentu saja pasangan presiden/wakil presiden.
Sebagaimana pilkada yang baru saja kita lewati dengan baik, pemilu tahun 2019 sejatinya adalah hajat nasional memilih 20.530 pemimpin warga, baik eksekutif, maupun legislatif. Kita berdoa semoga kesadaran akan peran kepemimpinan sebagai penjaga budaya dan nilai-nilai warga bangsa terus melekat pada para kandidat yang tengah bersiap “melamar”, mengajukan diri untuk dipilih.
ADVERTISEMENT
Dengan senantiasa mengingat peran itu, maka hendaklah kita bijak memilih kata-kata, menjaga sikap tindak, dan perbuatan. Sebab kata dan perbuatan para pemimpin adalah inspirasi bagi perilaku warga negara. Diksi dan anjuran keluruhan akan direspons oleh tindakan terpuji. Sebaliknya pilihan kata provokatif yang menampilkan rendahnya akal budi, akan memancing sikap agresif dan permusuhan antarwarga. Waspadalah.
Sudirman Said. (Foto: Dok: Sudirman Said)
zoom-in-whitePerbesar
Sudirman Said. (Foto: Dok: Sudirman Said)