Reklamasi dan Keadilan Sosial

Sudirman Said
Warga negara biasa.
Konten dari Pengguna
2 November 2017 11:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sudirman Said tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Reklamasi Teluk Jakarta (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Reklamasi Teluk Jakarta (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Dalam kapasitas saya sebagai Ketua Tim Sinkronisasi Program Kerja Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Anies-Sandi, saya berkesempatan me-review berbagai dokumen yang menjelaskan kronologi pelaksanaan reklamasi pantai utara Jakarta. Juga melakukan serangkaian diskusi dengan para ahli, baik ahli hukum, ahli lingkungan, perencana kota dan tata ruang, sampai ahli hukum tata negara.
ADVERTISEMENT
Untuk melengkapi perspektif, tentu saja Tim Sinkronisasi bertemu dan mendengar sejumlah instansi pemerintah, baik di Pemda DKI Jakarta maupun beberapa kementerian terkait. Kami juga berkomunikasi dan mendengar kelompok masyarakat terbawah, para nelayan yang terdampak oleh pelaksanaan reklamasi ini.
Dua hari sebelum pelantikan, semua informasi dan pendapat yang kami himpun sudah disampaikan kepada Pak Anies dan Pak Sandi, dengan rekomendasi agar melanjutkan kajian secara komprehensif seluruh aspek pelaksanaan reklamasi pantai utara Jakarta. Dengan mempertimbangkan bahwa proses kajian itu akan memerlukan komunikasi dengan sejumlah instansi pemerintah, maka waktu terbaik menuntaskannya adalah setelah keduanya duduk secara resmi sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur.
Saya pribadi berpendapat, kajian ini harus dilakukan dengan dingin, hati-hati, melalui pendekatan profesional dan tidak terseret nuansa politis secara berlebihan. Dari sisi waktu, saya memandang kajian ini tidak perlu dilakukan secara terburu-buru, agar memperoleh waktu yang cukup untuk menghasilkan solusi permanen bagi isu besar yang sudah telanjur menjadi perhatian masyarakat luas.
Anies Sandi di Istana (Foto: Yudhistira Amran/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Anies Sandi di Istana (Foto: Yudhistira Amran/kumparan)
ADVERTISEMENT
Mari kita beri kesempatan Pemimpin baru Jakarta ini bekerja dengan seksama, dengan cermat, dan tuntas.
**
Saya ingin berbagi pandangan melalui tulisan ini, suatu sudut pandang yang sesungguhnya menjadi salah satu tujuan bernegara yakni: pelaksanaan reklamasi dalam perspektif keadilan sosial.
Ada hubungan yang erat antara tata kelola penyelenggaraan negara dengan keadilan sosial. Kita memahami bahwa prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance principles) meliputi: transparansi, akuntabilitas, kemandirian, dan keadilan. Hanya jika pengelolaan kuasa publik (public authority) dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip di atas, maka keadilan dapat diwujudkan.
Sebaliknya penyelenggaraan pemerintahan dan negara yang mengabaikan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, independensi, dan keadilan niscaya sulit untuk mewujudkan tujuan bernegara yang dalam Pembukaan UUD 1945 dirumuskan dengan sangat indah: melindungi segenap tumpah darah dan bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan turut serta dalam ketertiban dunia.
ADVERTISEMENT
Mari kita tinjau dengan seksama apakah pelaksanaan program reklamasi telah sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut? Apakah pemegang otoritas publik, baik di pemerintah pusat maupun daerah telah mengedepankan kepentingan publik yang luas, atau sebaliknya lebih berpihak pada kepentingan sekelompok kecil warga yang memperoleh previlese?
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa "pecah" nya isu reklamasi ini terjadi ketika KPK mengungkap kasus penyuapan dan korupsi yang melibatkan oknum anggota DPRD DKI Jakarta dan pejabat perusahaan pengembang melalui operasi tangkap tangan di suatu malam pada bulan Maret 2016.
Proses persidangan menyusul OTT ini lah yang membuka tabir, sehingga begitu banyak kejanggalan di sekitar pelaksanaan reklamasi pantai Jakarta. Kejanggalan yang segera terbuka adalah ternyata pulau-pulau dibangun tanpa landasan peraturan zonasi, yang diharuskan oleh Undang-Undang nomor 27/2007 yang sudah diamandemen melalui UU no. 1/2014; beserta seluruh aturan pelaksanaannya. Jelas ini suatu penyimpangan dari aturan yang sah berlaku.
ADVERTISEMENT
Penyimpangan berikutnya adalah deretan properti yang dibangun di atas pulau bermasalah itu, ternyata dibangun tanpa Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Dan sungguh ajaib, properti yang dibangun secara ilegal di atas pulau yang masih memiliki permasalahan hukum, telah dipasarkan dan diperjualbelikan, bahkan sampai ke mancanegara.
Tindakan menyuap anggota DPRD DKI dalam proses pembahasan Raperda yang menjadi heboh publik, akhirnya dapat kita simpulkan memang menyimpan begitu banyak persoalan. Dan proses persidangan dan diskursus publik yang mengikutinya, telah memperkuat kesimpulan itu.
Jika kita menelaah dari asal muasal kebijakan reklamasi, kita akan menemukan kenyataan bahwa pelaksanaan reklamasi yang terjadi di teluk Jakarta, jauh dari rancangan awal sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden No. 52 tahun 1995. Dalam rancangan awal yang dimaksud reklamasi adalah normalisasi dan rehabilitasi pantai yang bersambung dengan daratan, yang bahkan titik terjauhnya sudah didefinisikan dengan detail yaitu pada kedalaman laut 8 meter.
ADVERTISEMENT
Sejak terbit Kepres 52/1995 sebenarnya sudah terjadi penguatan landasan hukum yang menyangkut tata ruang dan pengelolaan kawasan pantai dan pulau-pulau kecil. Dua undang-undang yang terbit hampir bersamaan yaitu UU nomor 26/2007 dan UU nomor 27/2007 telah didukung beberapa peraturan pelaksanaannya, hingga peraturan setingkat Menteri.
Seharusnya, begitu peraturan-peraturan di atas terbit, seluruh keputusan dan aturan di bawahnya diharmonisasikan agar tidak ada yang bertentangan. Dari kajian yang dilakukan oleh Tim Sinkronisasi, tampak jelas beberapa Peraturan Gubernur DKI yang terbit sesudah kedua undang-undang di atas masih belum singkron dengan jiwa dan semangat kedua undang undang di atas.
Kata-kata "pulau" seakan muncul tiba-tiba dalam salah satu peraturan gubernur DKI. Selanjutnya lahir sejumlah keputusan dan ijin-ijin yang melegitimasi pembangunan pulau-pulau tersebut. Dari situlah kejanggalan demi kejanggalan terus terjadi, bahkan masih terus terjadi di hari-hari terakhir periode Gubernur DKI Jakarta terdahulu, sebelum periode Anies-Sandi.
ADVERTISEMENT
Patut dicatat bahwa otoritas yang membidangi lingkungan hidup yakni Kementerian Lingkungan Hidup pernah memberikan keputusan "tidak layak lingkungan" atas rancangan membangun pulau-pulau di teluk Jakarta. Bahkan keputusan itu diberikan berulang yaitu di tahun 2003 dan tahun 2013. Bayangkan, dua keputusan yang sama konsisten dalam rentang waktu 10 tahun, yang sudah pasti dibuat oleh dua menteri yang berbeda. Artinya memang substansi yang menjadi landasan keputusannya demikian kuat.
Kini deretan pulau terlanjur dibuat: tanpa landasan aturan zonasi, tanpa Kajian Lingkungan Hidup Strategis, tanpa rekomendasi dan ijin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan; yang kesemuanya diwajibkan oleh Undang-undang yang berlaku. Dan pembangunan itu jelas dilakukan atas seijin Gubernur DKI Jakarta, di masa pemerintahan sebelum Anies dan Sandi. Pemberian ijin pelaksanaan reklamasi ini layak menjadi kajian publik, untuk menjawab pertanyaan: kok bisa ijin diberikan tanpa kelengkapan syarat-syarat yang memadai sebagaimana diatur undang-undang?
ADVERTISEMENT
**
Kembali pada soal keadilan, segala kejanggalan itu jelas-jelas melukai rasa keadilan masyarakat. Dalam hiruk pikuk berjuang untuk hidup, sejumlah besar warga DKI yang hidupnya pas-pasan mencoba bertahan. Ada yang dengan membangun kontrakan, membuka warung, atau hidup di lahan-lahan milik negara. Kita menyaksikan betapa aparat sangat sigap meruntuhkan bangunan bermasalah dan menelantarkan penghuninya. Jadilah mereka makin terpuruk tak berdaya.
Di lain pihak, ratusan properti megah yang jelas-jelas dibangun dengan melanggar hukum, dibiarkan bahkan pengembangnya menjadi "sahabat" dari otoritas yang seharusnya menegakkan aturan. Di manakah rasa adil itu?
ADVERTISEMENT
Jika kita memperluasnya dengan keseimbangan beban dan pemerataan kesempatan pembangunan di seluruh wilayah tanah air, pelaksanaan reklamasi seperti yang kita saksikan ini sesungguhnya mengandung potensi persoalan yang tidak kecil.
Reklamasi dengan membangun pulau-pulau untuk hunian dan kawasan komersial sesungguhnya membenani wilayah Jakarta dan sekitarnya secara berlebihan. Daya dukung lingkungan ada batasnya: air tanah, sanitasi, transportasi, energi, dan insfrastruktur lainnya sudah pasti harus disiapkan untuk itu.
Di lain pihak, memacu pembangunan hunian, kawasan ekonomi, komersial lengkap dengan insfrastruktur pendukungnya dengan fokus Jakarta Centris, sama saja menyabot kesempatan bagi wilayah lain untuk tumbuh dan berkembang. Ini juga melukai rasa keadilan bagi wilayah Indonesia keseluruhan.
Kita tidak ingin kebijakan pembangunan kota Jakarta dan wilayah Indonesia lainnya makin memperlebar kesenjangan antar wilayah, disebabkan kebijakan yang "dirancang" oleh pemilik modal. Kita juga tidak ingin kebijakan ke depan diambil dengan semangat mengayomi dan melindungi suatu tindakan yang sudah "telanjur". Karena sama artinya dengan tidak belajar dari kesalahan masa lalu, dan memberi kesempatan kepada pelaku usaha untuk mengulang kekeliruan yang sama.
ADVERTISEMENT
Yang berbicara perlunya memberi kepastian hukum dan melindungi investor, harus kembali pada nurani dan pemahaman sederhana: "cara terbaik melindungi investor dan menjamin kepastian hukum adalah dengan mengajak pelaku usaha TIDAK melanggar hukum.
Saya sungguh berharap langkah apa pun yang akan dilakukan oleh pemerintah baik Pemerintah DKI Jakarta maupun pemerintah Pusat benar-benar menjadi solusi permanen. Solusi yang dilandasi jiwa dan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Solusi yang berorientasi pada pencapaian keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sudirman Said (Foto: kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sudirman Said (Foto: kumparan)
Oleh: Sudirman Said
Solo, 2 November 2017