"Akrobat" Komunikasi Pemasaran Mutakhir

Sufyan Muhammad
A Book Lover, also Telkom University Digital Public Relations Lecturer
Konten dari Pengguna
8 Januari 2020 17:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sufyan Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tampilan depan buku terbitan PT Simbiosa Rekatama Media (2019)
RESENSI BUKU
Judul: Digital Branding Teori dan Praktek
ADVERTISEMENT
Penulis: Dr. Uliani Yunus
Penerbit: PT Simbiosa Rekatama Media
Cetakan: Agustus 2019
Halaman: 248
ISBN: 978-602-7973-85-5
Harga: Rp76.800
Demam video blogging (vlog) dari selebriti tanah air, merupakan satu dari banyak kejadian yang layak ditandai dalam peta komunikasi pemasaran mutakhir di tanah air. Kala masih jadi suami istri, pasangan seleb Gading Marten dan Gisel kerap membuat vlog terkait anak mereka, Gempi. Impresi muncul relatif baik, karena viewer dan subscriber terus melesat pada saluran mereka. Keberhasilan ini lalu ditiru pesohor lainnya, terutama yang sebelumnya sudah eksis di layar televisi.
Sambutan audiens yang sebenarnya tak disangka ini kemudian menciptakan proses pembentukan jenama (brand/merek) yang relatif baru di Indonesia. Yakni tak lagi bergantung media massa yang sudah mapan sistemnya, namun hasil kreasi sendiri dengan melampaui banyak hierarkis eksisting.
ADVERTISEMENT
Sejalan fenomena tersebut, muncul pula para kreator-kreator konten yang berhasil menyita perhatian publik sekalipun mereka berbeda dengan Gading dan Gisel yang lebih dahulu wara-wiri di media massa. Pada titik, sebutlah nama Awkarin, Reza Arap, Atta Halilintar, dan banyak lagi.
Benang merah keduanya sama yakni mereka "sekedar" berbasis media digital, mencipta konten sendiri tanpa terkekang sistem penyiaran konvensional, dan intens produksi konten dalam gaya yang dihendaki masyarakat digital. Maka, ada gula ada semut: Metode komunikasi pemasaran baru ini pun mengundang banyak vendor/produsen untuk turut dipariwirakan.
Celebrity Endorsement (CE), istilah lain dari taktik komunikasi pemasaran tersebut, malah kian marak ketika penggunaan medium digital di dunia dan Indonesia khususnya, makin meningkat saja.
ADVERTISEMENT
CE menjadi salah satu strategi baru tapi sebenarnya lama dalam menarik atensi khalayak, terutama ketika media hari ini tak lagi sekedar menjadi pelengkap hidup masyarakat, namun juga telah hadir menyeruak penuh sesak pada keseharian kita (saturated media world).
Saat media belum begitu sesak karena masih belum banyak media digital saat itu, sebutlah di tahun 90-an, Nike diuntungkan dengan kehadiran sosok CE dari seorang Michael Jordan. Pebasket legendaris Amerika Serikat ini mampu mengintegralkan spirit jenama khas Nike dalam persepsi ideal masyarakat tentang sportivitas, gaya hidup, dan ekslusivitas.
Lalu, ketika kemudian fase saturated media world terjadi, korelasi CE dengan jenama kemudian kian menarik diperhatikan; Tak selalu keberadaannya menciptakan efek komunikasi pemasaran positif seperti diraih Nike, namun juga bisa bablas seperti terjadi kasus Kate Moss tadi.
ADVERTISEMENT
Bahkan, tak sekedar contoh personal barusan. Aplikasi digital yang kian menghujam seluruh sendi hidup masyarakat dunia juga berhasil mengubah aturan main hingga hierarkis yang biasanya ditemukan dalam komunikasi pemasaran.
Kita telah menjadi saksi bersama. Dahulu sekali, ketika majalah dan tabloid di Indonesia pada puncak jayanya, sampel kosmetik dan parfum menjadi bonus dari media massa cetak periodikal tersebut. Selepas itu, ada juga bonus gelang yang diberikan media tersebut saat mengampanyekan sebuah program --terdapat tulisan kampanye pada gelangnya tersebut.
Kini, hal yang dinamakan inovasi kala itu, bukan hanya tak pernah kita lihat lagi. Tapi sekaligus media cetaknya pun satu per satu bergugur digilas era digital yang mengagungkan konten freemium (gratis tapi premium) sekaligus kebebasan kreasi kontennya.
ADVERTISEMENT
75% konten majalah fesyen dunia dan di Indonesia (sebut saja Vogue, Elle, dan GQ) saat era keemasannya pun berbasis iklan yang mengedepankan CE tersebut. Kini, majalah-majalah tersebut tersisa segelintir bergantikan metode komunikasi pemasaran khas selebgram yang personal, kustomisasi, dan minim hierarkis.
Betapa perubahan lanskap komunikasi pemasaran yang demikian cepat ini tak bisa dibendung. Sulit dihentikan, sehingga pameo berubah atau mati (innovate or die) kita rasakan makin deras dirasakan sekaligus dipraktekkan.
Situasi-situasi semacam inilah yang coba dihadirkan penulis buku Digital Branding ini. Lingkungan yang berkembang dan berproses dalam dunia virtual, terutama yang terkait jenama dan turunannya, dikupas tuntas secara holistik baik dari sisi teori maupun praktik.
Selain terkait CE, pembaca juga bisa memperoleh pengetahuan komprehensif terkait jenama digital pada bisnis travel agent (hal.151-159), fesyen (hal.177-186), review harga (hal. 189-194), beauty influencer (211-223), hingga komunitas keagamaan seperti di Unlimitted Worship (hal. 163-172).
ADVERTISEMENT
Berbekal pengalaman praktis sebagai salah satu manager humas termuda di sebuah jenama multinasional, sekaligus doktor senior di Binus University, buku ini memang memadukan pengetahuan praktis dan akademis secara bersamaan. Karena itulah, akademisi dan praktisi komunikasi pemasaran, patut membacanya. Selamat menikmati!