Mengupas Fenomena Laten Kekerasan Perempuan

Sufyan Muhammad
A Book Lover, also Telkom University Digital Public Relations Lecturer
Konten dari Pengguna
2 Januari 2020 14:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sufyan Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mengupas Fenomena Laten Kekerasan Perempuan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Judul: Kekerasan Terhadap Perempuan
Penulis: Prof. Dr. M. Munandar Sulaeman & Ir. Siti Homzah, MS.
ADVERTISEMENT
Penerbit: PT Refika Aditama
Cetakan: April 2019 (Edisi Revisi)
Halaman: 154
ISBN: 978-623-7060-10-9
Harga: Rp46.000
Barangkalui beberapa hal di bawah ini, sekalipun hati kita meyakini salah, namun karena sudah menjadi pengetahuan umum yang mengakar, akhirnya menjadi sebuah pembenaran kebiasan. Bukan sebaliknya, membiasakan kebenaran.
Ambil contoh judul berita di media massa, semisal dalam kasus narkoba. Saat tertangkap Zarima Mirasfur, seorang artis tahun 90-an atas kepemilikan 30 ribu ekstasi kala itu, maka judul dan teras berita media massa memunculkan identitas gender: Ratu Ekstasi, Wanita Bandar Narkoba, dan semacamnya.
Seiring perbaikan ekonomi dan pendidikan masyarakat Indonesia, streotip semacam ini tak jua pudar. Dalam amatan resensor, sejumlah media massa kontemporer juga mengedepankan hal serupa. Seolah bahwa dengan penekanan gender, maka lebih baik segalanya dari sisi respon pasar.
ADVERTISEMENT
Anehnya, di sisi lain, masih dari ranah media massa, kita jarang atau bahkan tak pernah melihat kasus serupa yang kemudian disematkan identitas kelamin. Nyaris tak ada judul sebuah warta seperti Laki-laki Pengedar Miras, Pria Penyalur Pil Mabuk, dst.
Sekarang kita lebih fokuskan pada praktek di media elektronik. Saat layar teve memperlihatkan Satpol PP merazia tempat mesum, maka sorot kamera wartawan (mayoritas lelaki) umumnya ke sosok perempuan. Jika tertangkap razia, umumnya yang digeruduk lalu dibawa ke kantor Satpol PP juga hanya perempuannya. Si laki-laki hidung belang (penyematan gender yang jarang) umumnya bebas melenggang.
Temuan lain ada pula soal korban pemerkosaan. Kadangkala, korban perempuan sudah jatuh tertimpa tangga; Sudah menderita diperkosa, juga dianggap tak mampu menjaga penampilan sehingga mengundang tindak pemerkosaan tersebut. Baru ini juga viral saat seorang ahli pengobatan tradisional --yang mirisnya juga perempuan-- menekankan hal serupa, dan seperti biasa khas Indonesia, polemik pun terjadi.
ADVERTISEMENT
Lebih prihatin jika kemudian terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Ada pemakluman yang bias karena hal itu justru bentuk kepemimpinan lelaki, perempuan terlalu banyak menuntut, dan premis lain yang memosisikan perempuan sebagai makhluk lemah berulah. Lelaki dalam spektrum norma dan adat sejauh apapun, selalu diposisikan lebih baik dan lebih benar sekalipun kasat mata bisa sama salah atau bahkan pelaku kesalahan tersebut.
Situasi empirik sederhana tersebut, suka tidak suka, memamg menandakan (masih) kentalnya budaya patriarki pada masyarakat Indonesia. Karena itu, kehadiran buku yang satu ini semacam bentuk penelahaan situasi eksisting genderita tak kondusif tadi dengan cara "perlawanan" relatif tidak sederhana namun berkelas. Situasi eksisting ditelaah dengan pendekatan berbagai disiplin ilmu yang sistematis, sarat ilmu, dan dikupas berkualitas melalui buku satu ini.
ADVERTISEMENT
Perjuangan akademik ini memang harus konsisten dan berkesinambungan dilakukan .... hingga tak ada represivitas gender. Terlebih, fakta umumya sungguh tidak sesederhana yang kita pikirkan. Data Komnas Perempuan 2018 menyebutkan, ada 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan baik di ranah personal, ranah publik, dan ranah negara. Mirisnya lagi korban, sebagaimana ilustrasi di atas, tak hanya menimpa perempuan dewasa namun juga remaja bahkan bayi yang sama sekali tak tahu apa-apa!
Maka itu, mencarikan solusi atas fenomena umum dan data khusus tersebut sangat relevan dilakukan para akademisi seperti para penulis buku ini. Diperlukan kebermanfaatan ilmu, atau sisi aksiologis, guna mencari berbagai solusi permasalahan gender, sehingga civil society yang memuliakan perempuan, bisa diperoleh bersama pada bangsa ini.
ADVERTISEMENT
Digawangi Prof. Dr. M. Munandar Sulaeman, seorang pakar Sosiologi dan Antrolopogi pada Pasca Sarjana Unpad, buku ini mengupas detil dari berbagai paradigma ilmu/studi. Yakni Filsafat, Gender, Antropologi, Sosiologi, Hukum, Psikologi, Ekonomi, Komunikasi, dan Agama.
Pendekatan pembahasan dari para pemikir besar, semisal Habermas dengan analisis sosiologi kritis-nya, Foucault (arkeologi pengetahuan), Baudrillard (teori simulasi), dan Bourdieu (struktural genetik) banyak dipakai para penulis dalam buku ini. Khusus dari sisi sosiologi-nya, sudut pandang perilaku sosial dikedepankan karena kekerasan terhadap perempuan telah makin nyata sebagai prilaku empirik-obyektif di banyak ruang dan waktu.
Karenanya, sifat buku bersifat bunga rampai yang penuh "gizi" intelektual karena ditulis dari berbagai pakar dengan latar belakang ilmu berbeda. Kita menjadi banyak ilmu dalam mencari solusi, sekaligus tak mudah memvonis akar muasal penyebab.
ADVERTISEMENT
Pembaca yang tertarik menelaah soal kekerasan ini dari perspektif ilmiah, kiranya akan memperoleh semua kaitan pembahasan yang dibutuhkan. Bahkan, setidaknya pengalaman resensor, membaca buku ini tak hanya memperoleh ilmu pengetahuan terkait gender. Lebih dari itu, karena ditulis para pakar di bidangnya, maka pembahasan pun sejatinya memperlihatkan juga bagaimana mengupas fenomena di masyarakat menggunakan metode ilmiah (khususnya kualitatif) secara baik dan benar.
Pada bahasan dari perspektif Antropologi yang ditulis Prihatina Amberetnani (hal.59-76), konten buku membahas subtansi kekerasan yakni konsep patriarki, konsep gender, dan kekerasan terhadap perempuan. Seluruhnya dikaji merujuk prosedur ilmiah yang berlaku, hingga muncul sisi terpenting dari sisi simpulan. Bahwa budaya patriarki, sekalipun memiliki spektrum konteks dan ruang beragam, adalah salah satu penyebab utama pencetus kekerasan terhadap perempuan. Karena itu, acuan berfikir, bertindak, dan berlaku dari masyarakat khas patriarki perlu direduksi.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya, pembaca sangat direkomendasikan menelaah berbagai horizon yang ditawarkan dari buku (sudah cetak ulang) apabila tertarik mengkaji isu kekerasan terhadap perempuan. Memang, perlu waktu khusus dan intens dalam menelaah isinya yang relatif berat, namun materi beda dan berbobot dari bahasan serupa di medium lainnya, mengentalkan kekuatan utama dari buku ini. (Muhammad Sufyan Abd, Dosen Digital PR FKB Telkom University & Mahasiswa S3 Religion Studies UIN SGD Bandung angkatan 2017)