Ustadz Abdul Somad Pekanbaru, Dakwah Digital Simpel yang Memikat

Sufyan Muhammad
A Book Lover, also Telkom University Digital Public Relations Lecturer
Konten dari Pengguna
15 Juli 2017 17:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sufyan Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
oleh: Muhammad Sufyan Abdurrahman (Dosen Digital Public Relation Telkom University)
ADVERTISEMENT
Apa yang pantas diingat dari Ramadhan 1438 H kemarin? Salah satunya adalah makin cuatnya nama Ustadz Abdul Somad (UAS), penceramah muda bernas dari Pekanbaru, Riau.
Ini karena ceramah lengkap, dan apalagi cuplikan dakwah durasi 3-6 menit darinya demikian viral lintas gawai pelbagai merek melalui aneka media sosial perantaranya.
Viral ini dalam pengamatan penulis disertai decak kagum karena penguasaan ilmu, terutama hadist, seolah mengalir tak bertepi. Sekalipun memang, di saat bersamaan, tak sedikit yang keberatan, benci, bahkan muncul rumor dirinya dilaporkan ke kepolisian atas materi dakwah yang dinilai anti kebhinekaan.
Penulis mencoba menelusuri seberapa populer UAS di media digital. Ternyata, pada dua kanal utama ceramahnya di Youtube, Tafaqquh Online dan Fodamara, video UAS ditonton total akumulasi 16,255 juta view dari total 1.410 video yang mencakup dirinya. Dahsyat!
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya kemudian dari sisi ilmu komunikasi massa, apa yang membuat ceramahnya kerap diburu banyak warganet Indonesia kontemporer? Adakah rahasia komunikasi publik Islami yang dilakukannya dalam rentang dakwah dan mengajar kembali di Indonesia sejak 2008 lalu?
**
Penelusuran diawali dengan mencari nomor kontak awal dari humas Tafaqquh Online. Penulis akhirnya bisa bersilaturahmi digital dengan Bang Hidayat, asisten pribadi UAS. Wawancara kemudian bisa dilakukan melalui telepon pada Jum'at (14/7/2017) siang selepas da'i kelahiran 18 Mei 1977 ini shalat Jum'at-an. Hampir setengah jam lebih berbincang tak terasa, yang dalam waktu bersamaan, menyisakan hikmah dan kesan mendalam.
Di mata alumni S1 Al-Azhar, Mesir serta S2 Dar Al-Hadits Al-Hassania Institute, Kerajaan Maroko tersebut, sebenarya tidak ada sesuatu yang baru dalam dakwahnya --sekalipun banyak warganet menyebutnya sebagai penceramah berilmu tinggi namun rendah diri, tegas prinsip namun lembut perangai, dan serius tapi santai.
ADVERTISEMENT
"Tidak ada hal baru [dalam ceramah saya], hanya melanjutkan perintah Allah Swt dan Rasul SAW. Bahwa kita ummat terbaik, yang diperintahkan untuk mengajak pada kebaikan dan mencegah kemunkaran. Sekalipun kita semua bermunajat, berdoa rame-rame, namun jika tak amar ma'ruf nahi munkar, maka doa takkan dikabulkan," katanya.
Jadi, sambung UAS, yang dilakukan dalam dakwahnya simpel dan sederhana saja yakni menegakkan QS Ali Imran 110: Ummat terbaik yang dilahirkan untuk manusia guna menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang yang mungkar dan beriman kepada Allah Swt.
Dalam perspektif lain, merujuk cendekia besar Muslim Mesir, Umar Tilmisani, kewajiban menyampaikan kebenaran ini adalah manunggal dengan muslim di manapun. Nahnu duat qobla kulli sya'in, alias semua dari kita adalah pendakwah sebelum menjadi siapa-siapa.
ADVERTISEMENT
Lalu, jika benar sesimpel dan senormatif begitu, sergah penulis, mengapa dampak tausyiah UAS terasa lebih masif? Bukankah itu pula yang sekian tahun dilakukan oleh banyak asatidz, dari kampung hingga kota, dari yang direkam ataupun tidak?
Menurut ayah satu anak ini, pembobotan materi tentu menjadi nilai tambah. Misal seniornya sesama lulusan Al-Azhar di Pekanbaru, Dr. Mustafa Umar, LC, MA, yang fokus membahas tafsir Al-Quran, terutama dari Tafsir Al-Ma'rifat. Demikian pula dirinya, yang lulusan sekolah hadist utama di dunia tersebut, maka hadist menjadi fokus subtansi dakwahnya.
"Demikian pula juga jika ada pendakwah ahli politik, akan bahas sisi tersebut [untuk menarik audiens]. Intinya, apapun spesialisasi kita, maka luruskan niat untuk amar ma'ruf nahi munkar, sehingga akan terjaga dari saling mengejek dan saling menjatuhkan yang lain," sambung pria tinggi ini.
ADVERTISEMENT
**
Dengan situasi semacam ini, dakwah digital memikat, maka dalam hemat penulis, dakwah dan syi'ar UAS akan makin sering menjumpai masyarakat Indonesia. Artinya, dalam waktu bersamaan, popularitasnya otomatis akan makin meroket.
Di mata dosen UIN Sultan Syarif Kasim, Riau ini, popularitas bukan hal menakutkan. Ada berkah, namun bisa jadi musibah. Tapi selama kita punya kemampuan mengatur ini semua, maka popularitas takkan pernah merugikan.
"Kalau karena popularitas maka kita punya jadwal misal sampai di 10 televisi hingga tak bisa bergerak kemana-mana, itu kita perlu intropeksi. Ini mau syiar atau mau menonjolkan diri? Apa yang mau dicari dari hidup ini? "katanya, balik bertanya. Sungguh, jawaban memikat kesekian kalinya dari Ustadz Somad! (**)
ADVERTISEMENT