Konten dari Pengguna

Mendorong Ruang Layak Huni Untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah Kota Tangsel

suhail eresmair
Student at Indonesia International Islamic University (UIII)
7 April 2021 22:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari suhail eresmair tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto : Kesenjangan Sosial di Indonesia, sumber : jamberita.com
zoom-in-whitePerbesar
Foto : Kesenjangan Sosial di Indonesia, sumber : jamberita.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh : Kajian Publik dan Regional (KAPUR Institute)
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Kota Tangerang Selatan memiliki struktur perekonomian yang didominasi oleh sektor tersier, mencapai 74%. Dari sisi lapangan usaha, sektor real estate memiliki kontribusi paling besar yakni 17% pada tahun 2017. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa akses kepada rumah layak huni di Tangsel hanya dimiliki oleh mereka yang mampu membayar.
ADVERTISEMENT
Padahal, menurut Sarosa (2020) dalam Kota Untuk Semua, salah satu strategi mengakhiri kemiskinan dalam berbagai bentuknya adalah dengan menyediakan Perumahan layak huni bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Hal ini merupakan tujuan pertama dari pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia.
Pemenuhan kebutuhan perumahan bagi masyarakat miskin memang merupakan permasalahan rumit, karena kemampuan pembiayaan dan tidak adanya partisipasi dalam pengadaan perumahan bagi mereka (Budiharjo, 2006). Umumnya penghasilan masyarakat miskin berada di bawah rata-rata sehingga kesulitan dalam mengakses kredit perumahan dari perbankan (Panudju, 1999). Selain masalah keterbatasan biaya, penyediaan rumah bagi masyarakat miskin dianggap kurang menarik karena tidak memberikan keuntungan bagi pengusaha (Arimurty & Manaf, 2013; Ram & Needham, 2016).
ADVERTISEMENT
Dengan pesatnya pertumbuhan penduduk di kota-kota besar di negara berkembang, maka sejumlah persoalan muncul dan menjadi karakteristik perkotaan, yakni tantangan untuk menciptakan lapangan kerja, menyediakan fasilitas publik yang memadai, dan memfasilitasi perumahan dengan kondisi layak. Tidak heran jika kemudian kota-kota besar ini juga dicirikan oleh kemiskinan (urban poverty). Hal ini setidaknya tercermin dari banyaknya warga kota yang hidup di daerah kumuh. (World Bank, 1975).
Landasan Hukum Hunian Layak Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Perlu dipahami bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh rumah dengan layak, aman, sehat, dan teratur sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Perhunian pasal 129. Dalam UU tersebut juga dijelaskan bahwa MBR memiliki hak untuk bermukim dalam rumah dan juga mendapat sokongan dari pemerintah dalam penyelenggaraan perumahan. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Pemukiman memperkuat kewajiban Pemerintah memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR.
ADVERTISEMENT
Peraturan Menteri PUPR No. 1 Tahun 2021 tentang Kriteria Masyarakat Berpenghasilan Rendah dan Persyaratan Kemudahan Pembangunan dan Perolehan Rumah merinci di antara kemudahan yang bisa didapat MBR adalah angsuran yang rendah dan juga kemudahan dalam pembangunan rumah. Sayangnya tidak seluruh MBR memiliki akses atas haknya tersebut, sehingga mereka terpaksa tinggal di hunian tidak layak dan dalam konteks komunal membangun pemukiman kumuh.
Padahal, Pemerintah harus secara aktif melakukan pencegahan pertumbuhan pemukiman kumuh sebagaimana amanah UU 1/2011 dan Peraturan Pemerintah 14/2016. Oleh karenanya, Pemerintah diwajibkan untuk meningkatkan kualitas pada pemukiman kumuh melalui upaya pengawasan dan pengendalian serta pemberdayaan masyarakat (PP 14/2016 pasal 102). Peningkatan kualitas pemukiman kumuh harus diawali dengan pemetaan lokasi pemukiman kumuh, dan penetapan tersebut didahului dengan pendataan oleh pemerintah daerah setempat dengan melibatkan peran masyarakat sesuai dengan pasal 106 di PP yang sama.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks daerah, pengaturan lebih detail biasanya dituangkan melalui Perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah (Perda RTRW). Pemerintah Kota Tangerang Selatan telah mengeluarkan Perda No. 9 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tangerang Selatan sebagai perubahan dari Perda No.15 Tahun 2011. Di Pasal 46, Pemerintah Kota menetapkan lokasi pemukiman kumuh melalui Keputusan Wali Kota. Dalam hal ini telah dikeluarkan Keputusan Wali Kota Tangerang Selatan No. 663/Kep. 87-Huk/2016 melampirkan data mengenai pemukiman kumuh yang kemudian direvisi ke Kepwal No. 663/Kep.131-Huk/2017.
Namun yang menjadi catatan dalam hal ini adalah minimnya transparansi data pada Kepwal terbaru mengenai data pemukiman kumuh. Selain itu, peta zonasi pemukiman kumuh yang harunya masuk ke Perda tata ruang juga tidak dilampirkan sehingga upaya peningkatan kualitas pemukiman bisa terhambat.
ADVERTISEMENT
Evaluasi Program Pemukiman Bagi MBR Di Kota Tangerang Selatan
Jumlah penduduk Kota Tangerang Selatan Bertambah sebanyak 51.598 Jiwa pada tahun 2019 (BPS, 2019), sehingga kepadatan penduduk mengalami peningkatan. Menurut Izzatus Sholikha (2019), hal ini mengakibatkan kebutuhan pemukiman semakin tidak terbatas. Aktivitas masyarakat baik dari aspek ekonomi, sosial, budaya, lingkungan akan berdampak pada peningkatan penggunaan lahan dan kebutuhan rumah.
Salah satu indikator kinerja utama Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan Kota Tangerang Selatan tahun 2016-2021 adalah rasio rumah layak huni dan persentase pemukiman kumuh yang tertata. Berdasarkan data Dinas Perkimta, rasio rumah layak huni di Tangerang Selatan mencapai 99,96%. Terdapat 328.652 rumah layak huni bagi 354.582 Kepala Keluarga pada tahun 2019. Namun, jumlah Kepala Keluarga tersebut berbeda cukup jauh dengan data BPS Kota Tangsel, di mana BPS mencatat terdapat 445.570 Rumah Tangga di Kota Tangsel pada tahun 2019. Artinya, muncul indikasi bahwa banyak rumah tangga dengan rumah tidak layak huni yang tidak masuk ke dalam data Dinas Perkimta.
ADVERTISEMENT
Dalam menyiapkan rumah layak huni bagi MBR, Pemkot Tangsel pada tahun 2017 telah membangun Rusunawa (Rumah Susun Sewa) yang terletak di Serua, Ciputat. Terdapat dua tower dengan luas kamar dan harga sewa yang berbeda, Tower I memiliki 72 unit dengan luas 27 m2 dan harga sewa Rp 220.000 – Rp 250.000 sedangkan Tower II memiliki 64 unit dengan luas kamar 36 m2 dan harga sewa Rp 400.000 – Rp 600.000. Namun, pemeliharaan fasilitas masih menjadi PR bagi Pemerintah Kota. Pantauan pada 2019, kondisi rusun dibiarkan kumuh, atap kanopi bagian atas terbang dibawa angin, plafon kamar bolong dan teras tergenang akibat hujan, sehingga ada satu lantai rusun yang hanya terisi di satu kamar.
ADVERTISEMENT
Selain membangun rusunawa dengan seluruh fasilitas yang harus menyertainya, Pemerintah Kota juga harus memperhatikan sumber penghasilan MBR yang dipindahkan dari pemukiman kumuh. Menurut Budi Yana Saifullah (2017), Pengembangan ekonomi lokal menjadi prasyarat kunci untuk memperbaiki kondisi ketertinggalan dan ketimpangan penghidupan kelompok Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang umumnya dimanifestasikan oleh rendahnya kemampuan ekonomi dan akses mereka terhadap permukiman yang layak huni dan berkelanjutan. Secara umum kelompok MBR tersebut dapat bertahan hidup di kawasan permukiman kumuh dengan mengandalkan pada kegiatan usaha skala mikro dan pekerja rendahan/buruh.
Pemindahan MBR dari pemukiman kumuh jangan sampai memutus sumber pencaharian mereka karena jarak dan akses yang semakin jauh, serta lokasi kegiatan usaha yang tidak tersedia di lokasi baru mereka. Keberpihakan dan program menyeluruh tersebut selama ini belum terlihat dijalankan secara maksimal oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan.
ADVERTISEMENT
Belajar Dari Daerah Lain Menuju Hunian Layak Bagi Masyarakat Miskin
Kampung di Kelurahan Jodipan, Kota Malang bisa menjadi contoh transformasi pemukiman kumuh menjadi destinasi pariwisata baru. Kini dikenal sebagai Kampung warna-warni Jodipan dan terletak di bantaran Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas, kampung tersebut dulunya sempat masuk rencana penggusuran Pemerintah Kota Malang. Namun setelah dipoles dan dipercantik oleh komunitas mahasiswa dan seniman mural di Kota Malang, kampung Jodipan pun berubah menjadi salah satu destinasi pariwisata andalan di Kota Malang melalui penataan kota yang unik dengan menonjolkan warna-warna yang mencolok sebagai daya tarik.
Kawasan yang awalnya memiliki banyak masalah dari mulai kawasan rumah yang tidak layak huni, sanitasi yang buruk, perilaku masyarakat terhadap kesadaran untuk tidak membuang sampah ke sungai yang rendah, serta peluang usaha yang minim karena kawasan mereka yang kumuh, bahkan sempat terancam akan digusur, kini mampu mendatangkan ratusan turis per hari. Awalnya warga Jodipan yang sering membuang sampah di bantaran sungai dan acuh kepada kebersihan lingkungan, namun sekarang kebiasaan buruk itu sudah ditinggalkan, selain itu sanitasi yang buruk, saat ini sudah tersedia toilet-toilet umum yang dapat digunakan oleh warga sekitar dan juga para pengunjung, meningkatnya perekonomian warga akibat banyaknya pengunjung yang datang juga dirasakan oleh warga karena mereka dapat membuka kesempatan-kesempatan baru untuk berjualan dan memproduksi kerajinan tangan yang dapat mereka jual.
ADVERTISEMENT
Selain mengembangkan kawasan kumuh yang sudah ada, Pemerintah Kota juga bisa membangun kawasan baru dan mengisinya dengan MBR dari berbagai lokasi, sebagaimana yang dilakukan Kementerian Sosial di Kampung Topeng, Kota Malang. Terdapat 40 unit rumah dibangun untuk 40 kepala keluarga yang sebagian besar adalah gelandangan dan pengemis, dan sebagian kecil pedagang keliling. Memanfaatkan lahan milik pemerintah sebagai tempat tinggal untuk masyarakat miskin, pembinaan terhadap warga di sana ditujukan agar menjadi masyarakat yang mandiri, yaitu dengan mengajarkan mereka keterampilan dan memberdayakan masyarakat untuk membuat keripik dan makanan lainnya yang nantinya dapa dijual. Kawasan Kampung Topeng ini juga dijadikan sebagai destinasi wisata dan edukasi seputar Topeng, di lokasi ini terdapat sarana untuk membuat dan mengenal berbagai macam topeng.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Kota juga bisa menerapkan strategi jangka panjang yang lebih komprehensif untuk menyediakan ruang huni layak bagi MBR, sebagaimana di Kabupaten Belitung. Penyediaan perumahan bagi masyarakat miskin di Kabupaten Belitung dilaksanakan secara sinergis baik oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah, maupun perusahaan swasta. Program tersebut ditetapkan melalui Peraturan Bupati No 45 Tahun 2013 tentang rumah tangga sasaran penerima rumah layak huni dan implementasinya telah dilaksanakan melalui sumber dana seperti bantuan rehabilitasi RTLH Kemenpera, Program Satam Emas oleh Pemprov Babel, APBD Kabupaten, CSR, Dana Desa, dan lain-lain. Program Rehabilitasi RLTH Kemenpera dapat membangun rumah sebanyak 147 unit, Program Satam Emas membangun 189 unit, penggunaan APBD selama 8 tahun menghasilkan 320 unit, dan CSR perusahaan berkontribusi membangun 13 unit. Seluruhnya diperuntukkan untuk masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah. Adapun mekanismenya bisa berupa penyerahan dana langsung ke pihak masyarakat untuk pembangunan swadaya maupun penyerahan kepada kontraktor kepada pihak ketiga.
ADVERTISEMENT
Belajar dari daerah-daerah tersebut, Pemerintah Kota Tangerang Selatan dengan APBD sekitar Rp 4 Triliun dan masifnya sektor swasta menyerap sumber ekonomi kota seharusnya juga mampu menyediakan berbagai program hunian layak bagi MBR, baik menggunakan APBD sendiri maupun melalui kerja sama dengan pihak swasta. Pelibatan masyarakat sipil seperti mahasiswa dan insan cendekia juga seharusnya bisa didorong oleh Pemkot karena banyaknya sumber daya tersebut di Kota Tangsel. Komponen pentingnya adalah hunian yang disiapkan harus memiliki fasilitas layak huni, terawat dengan baik, dan mempertimbangkan kedekatan jarak antara lokasi tinggal dengan lokasi berusaha MBR yang mayoritas bergerak di sektor informal. Jika itu bisa dilakukan dengan maksimal, maka Kota Tangerang Selatan bisa semakin dekat kepada cita-cita pembangunan berkelanjutan yang pertama: tidak ada satu pun masyarakat yang tertinggal (gerbong pembangunan).
ADVERTISEMENT