Gemulai Tarian Buruh, Tak Seindah Nasibnya

Suhari Ete
Sekretaris Umum Perhimpunan Jurnalis Rakyat Tinggal di Batam - Kepulauan Riau
Konten dari Pengguna
8 April 2019 9:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Suhari Ete tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gemulai Tarian Buruh, Tak Seindah Nasibnya
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Ada kegembiraan, ketika perayaan kartini 7 April di Top 100 Tembesi kemarin, Gemulai tarian, maknyusnya masakan dan kreatifitas polesan poster kampanye mereka masih membekas hingga kini di otak saya. Sedikit sekali buruh lelaki terlibat dalam agenda tersebut. Memang benar itu adalah acara untuk perempuan, tapi lebih dari itu saya menyayangkan kealfaan dari para ketua dan pengurus serikat dalam agenda tersebut. Setidaknya memberikan dukungan hingga selesai acara. Dan di sisi lain problem buruh perempuan juga nyaris tidak muncul dalam demonstrasi rutin serikat buruh, meskipun mayoritas peserta aksi adalah perempuan. Dan penyumbang iuan COS terbesar adalah perempuan
ADVERTISEMENT
Meski saya juga harus akui bahwa di beberapa serikat, perempuan tampil di depan, sebagai ketua maupun sekretaris. Contohnya di PUK saya, saya dorong perempuan untuk menduduki posisi Ketua dan Sekretarisnya. Di tingkat nasional maupun di tingkat wilayah. Bahkan dalam kegiatan demonstrasi, semakin banyak perempuan yang memimpin barisan massa aksi
Di dunia kerja telah menjadi rahasia umum, perampasan terhadap hak buruh perempuan seperti hak cuti haid, keguguran di tempat kerja, hamil, melahirkan, ancaman pemutusan kontrak jika hamil, merupakan pengalaman sehari-hari perempuan.
Bagi sebagian besar perempuan, pemeriksaan terhadap haid adalah peristiwa yang sangat memukul batin. Masalah lainnya perempuan masih dipekerjakan di malam hari dan tidak mengerjakan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan fisiknya. Praktik inilah yang kerap membuat perempuan keguguran di tempat kerja atau melahirkan.
ADVERTISEMENT
Pemaksaan kerja lembur dan wajib memenuhi target produksi tertentu juga sering kita jumpai pada buruh perempuan. Mereka tidak memperoleh “insentif”. Apalagi buruh yang tidak berhasil memenuhi target produksi. Ika, misalnya, mengungkapkan bahwa buruh yang gagal memenuhi target produksi yang ditentukan perusahaan biasanya akan dihardik atau dihukum. Sementara buruh perempuan yang berhasil memenuhi target tidak memperoleh penghargaan atau imbalan sama sekali. Itu bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk eksploitasi dalam perusahaan.
Pola tersebut seolah menjadi sebuah kebiasaan yang terus-menerus berulang. Posisi perempuan yang secara individual lemah terpaksa membiasakan diri untuk mengerjakan tugas itu. Dalam situasi semacam itu buruh perempuan tentu membutuhkan bantuan sebuah organisasi pekerja yang kuat dan berpihak kepada kepentingan pekerja sehingga tercipta relasi industrial yang lebih adil.
ADVERTISEMENT
Kerentanan buruh perempuan terhadap eksploitasi merupakan problem klasik dalam relasi industrial. Di sisi lain, serikat pekerja nyaris tidak befungsi dalam memperjuangkan kepentingan buruh perempuan. Akibatnya meluas pada aspek-aspek lain non-ekonomi yang merendahkan harkat buruh perempuan. Pelecehan seksual secara verbal maupun non-verbal yang dilakukan oleh para penyelia atau satpam perusahaan sering dialami buruh perempuan.
Pengurus serikat pekerja yang sebagian besar laki-laki malah meremehkan masalah itu. Buruh perempuan sendiri sulit menyelesaikan kasus tersebut. Pelecehan seksual terhadap buruh perempuan yang terjadi berulang kali dianggap oleh aparatus perusahaan sebagai persoalan tidak serius. Kemungkinan besar mereka kurang atau tidak memahami bahwa pelecehan seksual adalah sebuah bentuk penghinaan. Karena itu, porsi dan eksistensi perempuan di dalam serikat pekerja perlu diperhatikan secara khusus. Selain itu, perspektif dan sensitif gender penting untuk disosialisasikan di kalangan buruh dan aparatus perusahaan supaya menyusun dan menerapkan peraturan-peraturan yang dapat menghukum pelaku pelecehan seksual.
ADVERTISEMENT
Ada banyak alasan untuk mengatakan problem tersebut menjadi tidak perhatian serikat. Bisa dikatakan, ‘perempuan itu tidak melapor’, ‘perempuan itu bukan anggota,’ ‘pengurus sudah mengadvokasinya melalui perjanjian kerja bersama, dan hak normatif cukup diselesaikan di tempat kerja. Memang nuansa blaming the victim (menyalahkan korban) atau sudah jatuh tertimpa tangga