Masalah Kependudukan di Sulbar: Stunting dan Pernikahan Dini

Konten Media Partner
18 Juli 2019 21:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-26 tingkat provinsi Sulawesi Barat. Foto: Dok. Kominfo Pemprov Sulbar
zoom-in-whitePerbesar
Peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-26 tingkat provinsi Sulawesi Barat. Foto: Dok. Kominfo Pemprov Sulbar
ADVERTISEMENT
Stunting dan pernikahan anak usia dini menjadi dua permasalahan kependudukan di Sulawesi Barat. Merujuk data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), menunjukkan persentase pernikahan anak usia dini di Sulbar di atas rata-rata nasional yang mencapai 19,4 persen.
ADVERTISEMENT
"Ada dua isu strategis kependudukan dan permasalahan terkait keluarga di Sulawesi Barat, yakni tingginya angka pernikahan usia anak dan stunting," ungkap Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) BKKBN Sulawesi Barat, Andi Ritamariani, di sela-sela pelaksanaan peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-26, Kamis (18/7).
Untuk itu, kata dia, pihaknya terus berusaha melakukan berbagai program untuk mengatasi dua permasalahan tersebut.
Di antaranya sosialisasi kesehatan reproduksi, peningkatan promosi pengasuhan seribu hari pertama kehidupan bagi ibu hamil dan keluarga baduta (bawah dua tahun), serta penyiapan perencanaan kehidupan keluarga bagi remaja, utamanya remaja putri sebagai calon ibu.
"Kita berharap, peringatan Harganas ini juga bisa menjadi momentum kolaborasi program BKKBN dengan OPD (Organisasi Perangkat Daerah) untuk mengatasi masalah-masalah kependudukan di Sulbar," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN, Dwi Listyawardani, menyebutkan Sulawesi Barat menjadi provinsi dengan pernikahan usia dini paling tinggi yang mencapai 19,4 persen, diikuti Kalimantan Tengah dan Gorontalo.
Menurutnya, kasus pernikahan usia dini cenderung lebih tinggi di desa dibanding di perkotaan. Pernikahan usia dini bagi anak perempuan di desa, kata dia, juga umumnya disebabkan oleh faktor kemiskinan dan dilakukan untuk meringankan beban orang tua.
"Pernikahan usia dini di desa biasanya dilakukan karena anak perempuan yang putus sekolah kemudian dinikahkan oleh orang tuanya. Padahal, pernikahan usia dini di bawah 19 tahun berisiko menyebabkan penyakit kanker leher rahim pada perempuan karena alat kelamin perempuan di bawah 19 tahun masih rentan terinfeksi berbagai virus, sehingga bisa mengalami kanker serviks 15 tahun atau 20 tahun kemudian," ujarnya.
ADVERTISEMENT
[Sapriadi]