Mantan NAPI : Bisa atau Tidak Menjadi Calon Pejabat Publik

Sultan Nangapria
sultan adalah penulis diberita dan beberapa artikel di media online
Konten dari Pengguna
29 Mei 2018 5:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sultan Nangapria tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sistem pemilihan umum di Indonesia dari waktu ke waktu senantiasa mengalami perubahan bahkan perubahan itu sejalan dengan kebutuhan dan tuntutan rezim yang berkuasa. Semua sistem yang dilaksanakan sepertinya mengandung cacat bawaan, seperti ada larangan namun tidak ada sanksi, bahkan banyak yang multi tapsir sehingga menyisakan persoalan-persoalan yang tidak bisa diselesaikan secara tuntas.Desain sistem pemilu secara sengaja direkayasa dan ada kecendrungan perekayasaan itu mengutamakan kepentingan pemerintah atau penguasa yang tidak lain adalah para aktor politik yang terlibat langsung dalam proses penyusunan Undang-undang.
ADVERTISEMENT
Pemilu itu sendiri sebagai Politik formal yang menjadi basis legitimasi kekuatan politik yang dominan dalam pengambilan keputusan sehingga kondisi dan situasi tertentu desain sistem pemilihan umum tidak melihat realitas sosial politik masyarakat, atau yang paling sederhana bagaimana perumus Undang-Undang Pemilu mengedepankan kepentingan rakyat termasuk konstituen mereka sendir.
 Jimli Asshiddiqie mengatakan bahwa Implikasi dari desain sistem Pemilu yang penuh dengan rekayasa tersebut,  mengakibatkan terpilihnya para pemimpin yang sebagian besar tidak memenuhi harapan rakyat, seperti pemimpin yang korup, kurang beretika dan senantiasa mementingkan kepentingan individu. Pada tulisan ini akan di bahas tentang hak warga Negara yang menjadi narapida dan mencalonkan diri pada pilkada maupun pemilu. Persoalan mantan narapida yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, legislative dan presiden menjadi hal yang paling seksi di bicarakan di ruang public dan maupun di tataran elit politik di negeri ini. Setiap warga Negara Indonesia berhak di pilih dan memilih dan itu di amantkan dalam undang-undang dasar 1945.
ADVERTISEMENT
Indonesia telah merdeka hampir 71 tahun, namun pelaksanan pemilihan maupun pemilihan  umum dari waktu ke waktu belum dapat dikatagorikan benar-benar demokratis kecuali pemilihan umum yang pertama yaitu pemilihan umum tahun 1955. Pemilu selalu menunjukkan kesan yang tidak enak dihati rakyat. Bahkan sejumlah kalangan menyatakan bahwa pemilu hanyalah basa-basi yang justru menimbulkan kerawanan dimasyarakat, terutama ketika para elit politik dan penyelenggara pemilu terjebak persolan politik dan konflik individu maupun kelompok, sehingga menyisahkan regulasi dan aturan dalam hal pemilu yang tidak memiliki oreantasi yang benar-benar menjadi harapan untuk memperbaiki sistem demokrasi bangsa Indonesia.
Mantan narapidana (NAPI) kini menjadi hal yang belum selesai dibicarakan oleh semua elemen di bangsa ini. Kalau mantan narapidan di larang untuk mencalonkan diri baik dalam konteks pilkada maupun pimilihan legislative setidaknya harus dilihat sebuah ide dasar dan nilai filosofisnya sehingga aturan yang di buat itu menjadi aturan yang valid dan tidak mendiskreditkan hak-hak warga Negara, sehingga aturan yang dibuat itu menjadi aturan yang bisa diterima oleh semua kalanngan baik di tataran elit dan masyarakat biasa.
ADVERTISEMENT
Dengan muncul problem mantan narapidana yang ingin di larang untuk mencalonkan diri maka timbul pertanyaan. Apakah mantan narapidan bisa mencalon diri sebagai kepala daerah dan legislative.? Kalau memang bisa apa dasarnya dan kalaupun tidak bagaimana dasar hukumnya.
Setiap warga negara juga berhak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat 3). Penegasan konstitusi hak politik warga negara, tertuang dalam Undang Undang tentang HAM khusus Pasal 43 ayat:
1)Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2) Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. 3)Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Pada bagian lain masyarakat dunia melalui Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (MU PBB) telah memproklamasikan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia terdiri atas 30 pasal memuat pokok-pokok hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Dengan demikian, di dalamnya tidak saja mencakup hak sipil dan hak politik (Hak Sipol) melainkan juga hak ekonomi, sosial, dan budaya (Hak Ekosob). Hak-hak yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia ini merupakan bentuk pengakuan terhadap hak asasi manusia secara tertulis yang keberadaannya diakui oleh hampir seluruh negara di dunia.
Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia ini merupakan instrumen hukum internasional yang memuat pokok-pokok tentang hak asasi manusia dan kebebasan dasar, seperti mengakui adanya persamaan hak-hak atas seluruh individu dimana seluruh individu tersebut berhak atas kemerdekaan, kesetaraan, keadilan, kebebasan, keselamatan, dan kesejahteraan dirinya. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia ini dimaksudkan juga sebagai acuan umum hasil pencapaian dari sebuah kesepakatan untuk semua rakyat dan bangsa untuk terjaminnya pemenuhan, pengakuan, penghormatan, penegakan dan perlindungan hak-hak manusia secara universal dan efektif.
ADVERTISEMENT
Sejak lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 bangsa ini telah menjunjung tinggi HAM. Sikap tersebut tampak dari Pancasila dan UUD Tahun 1945, yang memuat beberapa ketentuan-ketentuan tentang penghormatan HAM warga negara. Sehingga pada praktek penyelenggaraan negara, perlindungan atau penjaminan terhadap HAM dan hak-hak warga negara (citizen’s rights) atau hak-hak konstitusional warga negara (the citizen’s constitusional rights) dapat terlaksana. Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right) setiap individu atau warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh negara.
Hak politik warga negara mencakup hak untuk memilih dan dipilih, penjaminan hak dipilih secara tersurat dalam UUD 1945 mulai Pasal 27 ayat (1) dan (2); Pasal 28, Pasal 28D ayat (3); Pasal 28E ayat (3).56 Sementara hak memilih juga diatur dalam Pasal 1 ayat (2); Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (1); Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945.57 Perumusan pada pasal-pasal tersebut sangat jelas bahwa tidak dibenarkan adanya diskriminasi mengenai ras, kekayaan, agama dan keturunan. Setiap warga negara mempunyai hak-hak yang sama dan implementasinya hak dan kewajiban pun harus bersama-sama.
ADVERTISEMENT
secara khusus juga di atur dalam pasal 43 ayat 1 UU Nomor 39 Tahun 1999  tentang hak asasi manusia, yang berbunyi : ‘’setiap warga Negara berhak  untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan  hak melalui pemungutan suara yang lansug, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan’’. Untuk dapat melakukan pembahasan terkait hak-hak politik Narapidana, maka haruslah diketahui terlebih dahulu beberapa istilah terkait pembahasan tersebut. Pertama, penulis mencoba mengambil beberaa kutipan terkait pengertian narapidana. Kamus besar Bahasa Indonesia memberikan arti bahwa: Narapidana adalah orang hukuman (orang yag sedang mejalani hukuman karena tindak pidana); terhukum. Sementara itu, menurut Kamus induk istilah ilmiah menyatakan bahwa Narapidana adalah orang hukuman; orang yang bui. Selanjutnya berdasarkan kamus hukum narapidaa diartikan sebagai berikut : Narapidana adalah orang yang menjalani pidana dalam lembaga permasyarakatan. Berdasarkan Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Menurut Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, terpidana adalah seseorang yang di pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
ADVERTISEMENT
Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa narapidana adalah orang atau terpidana yang sedang menjalani masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan dimana sebagian kemerdekaannya hilang. Lantas apakah seorang yang telah di pidana dan menjalan hokum apakah dia tidak bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau legislative. Setiap orang berhak memilih dan pilih sebagaimana dijelaskan diatas, tapi orang yang tidak di perkenangkan untuk untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan lesgislatif sebagaiman di jelaskan dalam pasal 10 KUHP dan pasal 18 UU tipikor sebagai Dasar hukum pencabutan hak politik. Demikian pula Pasal 18 UU Tipikor Ayat 1 mengenai pidana tambahan, bisa berupa pencabutan seluruh atau sebagian hak tertentu.
Pencabutan hak-hak tertentu ini sifatnya sementara, kecuali memang terpidana dijatuhi pidana penjara seumur hidup. Hukuman ini pada dasarnya dimaksudkan sebagai upaya mendegrdasikan martabat seseorang sebagai warga negara yang memang layak untuk dihormati atau untuk menekan orang menjadi warga negara yang tidak pantas dihormati dengan meniadakan sebagian hak perdatanya dan hak-haknya menurut hukum publik karna orang tersebut telah melakukan kejahatan.
ADVERTISEMENT
Dari uraian diatas bahwa seorang mantan narapidana bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah maupun legislative namun ketika hak politiknya sudah di cabut dan mendapatkan keputusan hokum yang ingkrah maka tidak bisa mencalonkan diri sebagai pejabat public. Pada sisi lain ketika setiap warga Negara yang sudah menjalan hukumanya maka bisa mencalon diri sebagai pejabat public.
Sewalapun mantan narapidana sudah menjalankan hukumnya dan bisa mencalonkan diri sebagai pejabat public tetap menyisahkan rasa ketidak percayaan kepada masyarakat dan atau krisis kepercayaan untuk menjalankan amanah dan kepemimpinannya apalagi untuk mewujudkan pemerinyah yang baik.
Penulis adalah : Harmoko ketua IMM Cabang Bima priode 2016-2017.