Kisah Koulibaly Jadi Korban Aksi Rasialis dan Janji pada Seorang Bocah
Konten dari Pengguna
6 Januari 2020 10:01 WIB
Tulisan dari Supersoccer tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Susah banget kayaknya mengenyahkan aksi rasialisme di Serie A . Ini sudah tahun 2020, tapi masih ada saja, tuh, aksi rasialisme yang terjadi di stadion. Tahun sudah baru, satu dekade telah berlalu, tapi kelakuan masih saja begitu. Ampun.
ADVERTISEMENT
Korban teranyar adalah Mario Balotelli . Aksi rasialisme terhadap penyerang 29 tahun itu terjadi dalam laga pekan ke-18 Serie A 2019/20, Brescia kontra Lazio, Minggu (5/1/2020). Ya, itu adalah laga perdana Serie A di tahun 2020.
"Kekalahan ini menyakitkan, tetapi kami akan kembali lagi dan menjadi lebih kuat. Kami yakin, kami sudah berada di jalan yang tepat! Untuk fans Lazio yang berada di stadion, kalian memalukan. Katakan tidak terhadap rasialisme," kata Balotelli via Instagram.
Di rumah orang saja, suporter Lazio berani berbuat seperti itu. Bagaimana kalau di rumah sendiri?
ADVERTISEMENT
Kepada The Players' Tribune, Koulibaly mengaku bahwa perlakuan rasialis yang ditunjukkan suporter Lazio pada waktu itu merupakan pengalaman diskriminasi pertamanya di dunia sepak bola.
"Pertama kali aku benar-benar jadi korban rasialisme di sepak bola adalah melawan Lazio beberapa musim lalu (2015/16). Setiap kali mendapat bola, aku mendengar mereka membuat suara," kisahnya.
"Aku menyadari beberapa penggemar Lazio membuat suara monyet setiap kali aku menyentuh bola. Aku bingung harus bagaimana saat itu. Rasanya aku pengin keluar lapangan saja sebagai bentuk protes, tetapi lalu aku berpikir bahwa itulah yang sebenarnya mereka inginkan," lanjutnya.
Aksi itu membuat wasit menghentikan laga untuk sementara. Wasit yang memimpin laga tersebut menunjukkan keberpihakannya kepada bek Timnas Senegal itu dalam ranah sportivitas.
ADVERTISEMENT
"Wasit [Massimiliano] Irrati menyetop laga. Dia berlari menghampiriku, dan dia berkata, 'Kalidou, aku bersamamu, jangan khawatir. Mari kita hentikan nyanyian [rasialis] ini. Kalau kamu enggak mau menyelesaikan laga ini, kasih tahu aku'," kenangnya.
"Menurutku, dia sangat berani. Tetapi aku bilang, aku ingin menyelesaikan laga. Mereka membuat pengumuman kepada para penonton. Tiga menit kemudian, kami mulai bermain lagi. Namun nyanyian itu tidak berhenti," tambah Koulibaly.
Koulibaly jelas geram. Dia pantas marah atas perlakuan para pelaku rasialisme terhadapnya. Namun, satu hal yang patut diapresiasi dari pribadinya adalah Koulibaly tidak melupakan janji. Amarahnya tidak lantas membuatnya lupa akan janji kepada seorang bocah.
"Usai peluit akhir dibunyikan, aku berjalan ke terowongan dengan perasaan sangat, sangat marah. Tapi lalu aku teringat sesuatu yang penting. Sebelum laga, ada bocah laki-laki yang berjalan sambil memegang tanganku saat hendak masuk lapangan," kata Koulibaly.
ADVERTISEMENT
"Bocah itu bertanya, apakah dia bisa memiliki jersiku? Aku berjanji akan memberikannya setelah laga. Lantas, aku kembali untuk mencarinya. Aku menemukannya di tribune dan aku memberikan jersiku," lanjutnya.
Momen ini membuat Koulibaly sadar bahwa seharusnya manusia menjaga pikiran positif laiknya seorang bocah. Bocah polos yang belum terpapar ujaran-ujaran kebencian. Bagi Koulibaly, orang-orang dewasa telah kehilangan hal itu.
"Coba tebak apa hal pertama yang dia katakan padaku? 'Aku sangat menyesal atas apa yang terjadi'. Itu membuatku tersentuh. Pria kecil ini meminta maaf atas kelakuan banyak pria dewasa yang aku tak tahu jumlahnya. Aku membalasnya dengan, 'Itu tidak masalah. Terima kasih. Ciao'," ujarnya.
Dalam sejarahnya, aksi rasialisme tidak cuma dilakukan oleh suporter Lazio. Ada suporter tim Serie A lain yang pernah melakukannya.
ADVERTISEMENT
Bahkan, Koulibaly pernah juga jadi korban aksi rasialisme suporter Inter Milan. Mirisnya, itu terjadi pada 26 Desember 2018. Bayangkan, habis kemarin merayakan Natal, besoknya langsung berbuat jahat lagi. Ckckck...
Intinya, rasialisme masih sulit untuk dimusnahkan dari Serie A. Koulibaly juga bilang bahwa pangkal masalahnya enggak cuma persoalan warna kulit.
"Aku tahu bahwa masalah ini tidak hanya terjadi karena warna kulit. Orang-orang juga menyebut para pemain Serbia (kulit putih) sebagai 'gipsi', mereka menyebut orang Italia seperti Lorenzo Insigne sebagai 'Neapolitan sh*t'," katanya.
Entah, kita ini harus bagaimana lagi? Atau mungkin, mari kita kembali punya pikiran positif laiknya bocah polos saja.
---
Mau nonton bola langsung di Inggris? Ayo, ikutan Home of Premier League . Semua biaya ditanggung kumparan dan Supersoccer , gratis! Ayo buruan daftar di sini . Tersedia juga hadiah bulanan berupa Polytron Smart TV, langganan Mola TV , dan jersey original.
ADVERTISEMENT