Tentang Pemerkosa dan Hukuman yang Pantas bagi Mereka

Konten dari Pengguna
14 Januari 2017 16:52 WIB
comment
12
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Surawira Lintang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Rape (Foto: Pixabay)
Kejahatan seksual tidak pandang usia. Siapapun dapat menjadi pelaku dan korban. Dan terjadi di mana-mana, termasuk di institusi terkecil, seperti keluarga.
ADVERTISEMENT
Salah satu “syarat” yang memenuhi seven deadly sins adalah lust atau hawa nafsu yang dapat mengarah ke percabulan, perzinaan, perkosaan, dan lainnya. Jika nafsu sudah menderu-deru dan otak isinya sudah penuh dengan selangkangan—one thing leads to another. And you know the rest of the story.
Namun, apa yang terjadi jika hubungan intim dua arah ini tidak dilakukan atas kesadaran atau kemauan salah satu pihak, terlebih dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak-anak?
Ketika saya mendengar (lagi-lagi, sigh) kasus perkosaan yang berujung pembunuhan terhadap anak-anak di bawah umur—4 tahun, lebih tepatnya—di Kota Sorong, Papua, rasanya pengen tak sumpahi kemaluan para pelakunya digigit gerombolan semut merah biar tahu rasa. Pelan-pelan tapi pasti.
ADVERTISEMENT
Cetek sekali ya hukuman versi saya? Well, I know very well that amount of punishment will never be enough.
Menurut Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, para pelaku tindakan sadis para pelaku layak diganjar hukuman mati.
Hukuman tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan chip. Perppu tersebut telah disahkan sejak bulan Oktober tahun 2016 lalu.
Apakah saya setuju dengan hukuman mati? Untuk kasus ini: ya, saya setuju. Tapi, hati kecil saya agak tersentil. Apakah hukuman mati sebenarnya “cukup” untuk memberi efek jera kepada para pelaku (dan predator seksual yang masih berkeliaran di luar sana)?
ADVERTISEMENT
I wasn’t really going to share this one in the first place, but, um, here goes.
Saya sendiri pernah menjadi korban pelecehan di angkutan umum. Dan saya pun sampai sekarang masih bertanya-tanya, apa yang membuat si pelaku menargetkan saya sebagai objek “pelampiasan”-nya?
Just in case you’re wondering, no, it wasn’t rape. Namun, tindakan manusia brengsek ini membuat saya trauma cukup lama untuk naik angkutan umum.
Sebagai gambaran, pada situasi tersebut keadaan saya jauh dari kata “menarik”—pulang ngantor, lepek, nggak ada cakep-cakepnya, dan menggunakan masker muka. Pakaian saya pun tidak “mengundang,” seperti kebanyakan stigma korban pelecehan seksual. Dan saya mengenakan hijab.
ADVERTISEMENT
Lalu, kenapa tidak melawan? Jujur saja, saya kaget, malu, dan terlalu takut. I was screaming for help through my eyes and some people were actually witnessing what really happened there, but no one came to help.
Lalu, pada akhirnya saya memberanikan diri untuk pindah tempat duduk dan berdiri di dekat pintu bus.
Alright, what I’m trying to say here is, memang kisah saya terdengar tidak ada apa-apanya dibanding dengan korban perkosaan dan pembunuhan lainnya, namun, korban kekerasan seksual beserta keluarganya harus berani untuk bersuara. Dimulai dari diri sendiri dan bagaimana cara kita memandang kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT
This has to change. And, for God’s sake, enough with the victim blaming.
Yang harus dihukum adalah pelakunya, bukan korban kekerasan seksual. Titik.