Travel journal

Cap Go Meh di Singkawang

Swastika Nohara
Penulis skenario film dan blogger. Karyanya antara lain Tiga Srikandi, Cahaya Dari Timur: Beta Maluku, Keong Emas, Berburu Harta Karun dan Papua Berkisah.
25 Januari 2020 19:18 WIB
comment
23
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Travel journal Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Travel journal Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Pesawat yang kami tumpangi mulai menurunkan altitude, sebentar lagi kami mendarat di Pontianak, ibu kota provinsi Kalimantan Barat. Dari Pontianak kami bertiga menyewa mobil dan berkendara sekitar 4 jam menuju Singkawang, kota yang menjadi pusat perhatian warga Tionghoa Indonesia menjelang perayaan Cap Go Meh setiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
Cap Go Meh dirayakan 15 hari setelah tahun baru Imlek, sekaligus sebagai penutup rangkaian perayaan Imlek. Di Singkawang perayaan Cap Go Meh selalu ramai karena pawai ratusan Tatung yang masing-masing beratraksi menunjukkan kesaktiannya.
Sepanjang perjalanan menuju Singkawang, saya berulang kali mencoba menelfon sebuah nomor hotel. Tapi selalu sibuk. Kami bertiga memang nekat, pergi ke Singkawang menjelang Cap Go Meh, tapi belum punya reservasi hotel.
Padahal sebulan sebelum Cap Go Meh hotel-hotel Singkawang sudah full booked semua. Karena itulah kami kesulitan mendapatkan hotel. Namun kami beruntung, di bandara kami bertemu seorang pria yang ternyata tokoh masyarakat Singkawang. Beliau memberikan nomor sebuah hotel, dan kami diminta menyebut namanya saat check-in.
ADVERTISEMENT
Benar saja, pihak hotel masih punya satu kamar cadangan yang jauh lebih kecil dibanding kamar standar mereka. Kamar mungil ini kami tempat bertiga, bersama tiga ransel, satu tas kamera, dan satu tas tripod besar. Wow! Penuh sekali! Tidak apa, yang penting bisa ikut merasakan gempita Cap Go Meh di Singkawang.
Keesokan paginya, kami berjalan kaki menyusuri jalan utama kota Singkawang untuk meresapi suasana kota dan mengamati kesibukan warganya. Saya selalu suka berjalan kaki pagi-pagi di pusat kota yang saya kunjungi karena bisa melihat banyak hal.
Baru saja berjalan lima menit, tampak arak-arakan sekelompok orang memainkan musik, melakukan atraksi tarian naga dan dipimpin seorang pria bermake-up putih hitam dan memakai kostum jubah merah seperti di film-film Mandarin zaman dulu. Pria ini keluar masuk deretan toko sambil membawa kantong.
ADVERTISEMENT
Di depan setiap toko, naga ini bergoyang diiringi tabuhan musik. Oh, ternyata kantong itu berisi uang sumbangan dari para pemilik toko!
Penasaran, saya ikuti rombongan ini hingga mereka beristirahat di ujung jalan. Saya memberanikan diri menyapa, tentu dengan senyum manis.
Ternyata mereka adalah rombongan salah satu Tatung yang akan berlaga dalam perayaan Cap Go Meh, dan kegiatan ini adalah salah satu cara mereka mengumpulkan dana untuk acara tersebut. Rasa penasaran membuat saya minta izin mengikuti mereka berkeliling hingga pulang ke markas.
Rupanya yang mereka sebut sebagai markas ini adalah rumah Pak Lin, pemimpin rombongan sekaligus Tatung. Pak Lin (48 tahun) telah dua puluh tahun lebih menjadi Tatung.
ADVERTISEMENT
Tatung adalah seseorang yang dipercaya sebagai mediator arwah nenek moyang yang turun ke bumi menjelang dan selama perayaan Cap Go Meh.
Warga kota Singkawang di Kalimantan Barat keturunan Tionghoa, meyakini kekuatan tuah yang dibawa para Tatung atau disebut juga Lou Ya. Setiap perayaan Cap Go Meh, ratusan orang Tatung diarak oleh pendukungnya keliling kota selama sehari penuh dalam keadaan trance.
Setiap Tatung berlomba tampil dengan kostum, musik dan rombongan yang meriah dan atraktif. Biasanya mereka menunjukkan atraksi kekebalan tubuh, yaitu menusuk dirinya dan wajahnya dengan pisau dan benda tajam lain.
Beberapa hari menjelang perayaan Cap Go Meh, para Tatung ini semakin gencar mempersiapkan diri dengan caranya masing-masing. Pak Lin mengaku pantang makan daging sebagai salah satu persiapannya, termasuk kaldu dan kuah daging. Salain itu dia pun sibuk menggalang sumbangan dari para donatur.
ADVERTISEMENT
Sebagai Tatung senior yang sudah diakui rekam jejaknya, dia punya jejaring luas. Namun mengumpulkan beberapa belas juta rupiah tetap bukan hal mudah.
Mereka perlu dana untuk kostum Tatung, bendera dan umbul-umbul, kaos seragam kru tetabuhan sejumlah 13 orang, perlengkapan atraksi dan uang makan selama beberapa hari persiapan hingga hari-H.
Hari perayaan Cap Go Meh pun tiba. Pawai arak-arakan rombongan tatung akan memadati jalan-jalan utama kota ini. Setiap tahun jumlah penonton pawai Cap Go Meh selalu bertambah, bahkan di beberapa titik kota yang strategis, penonton sampai berjubel.
Penonton sebaiknya memakai topi dan membawa bekal air minum agar tidak dehidrasi. Sebab begitu sudah berada dalam kerumunan penonton pawai Tatung, akan sulit keluar untuk membeli air minum.
ADVERTISEMENT
Kami sudah siap di rumah Pak Lin sejak matahari terbit untuk melihat persiapannya, mulai dari membakar dupa, sembahyang hingga memakai kostum. Istri Pak Lin membocorkan sebuah rahasia, yakni Pak Lin harus memakai celana dan kaos dalam baru untuk pawai setiap tahunnya.
Tak lama setelah sembahyang, tiba-tiba tubuh Pak Lin menggeliat, lalu berlari ke halaman rumah petaknya yang mungil. Di depan rumah, geliat tubuhnya semakin liar, seakan berontak pada sebuah kekuatan yang tak terlihat.
Suasana menjadi tegang. Istrinya segera memberi komando pada anak buah mereka untuk memainkan tetabuhan. Para remaja penabuh musik yang tadinya duduk-duduk santai, mendadak sigap meraih alat musik dan memainkan irama musik dengan tempo cepat.
ADVERTISEMENT
Pak Lin mulai menandak, matanya mendelik ke atas, air liur mengalir dari sudut mulutnya. Mulutnya komat-kamit tanpa suara yang jelas. Rupanya dia kerasukan!
Sebuah pertanda bagus, kata sang istri dengan senyum mengembang. Hal ini berarti roh salah satu dewa sudah berkenan datang merasuki tubuh Pak Lin, dan ini adalah syarat mutlak agar pawai sukses hari ini, dan Pak Lin bisa menampilkan atraksi kekebalan tubuh.
Sang istri pun memberi komando pada rombongan mereka agar lebih semangat menabuh musik. Ritmenya mirip musik pertunjukan Barongsai, namun berganti-ganti kadang lebih cepat, kadang melambat.
Pawai pun dimulai, kami berjalan mengikuti rute yang sudah ditentukan melewati jalan-jalan utama kota, dengan salah satu titik keramaian di Jalan Diponegoro yang sejak pagi sudah dipadati penonton.
ADVERTISEMENT
Sepanjang jalan Pak Lin menari, menandak atau menusuk-nusuk rubuhnya sendiri dengan belati, kadang mengiris kulit tangan dan kakinya dengan parang, tapi tidak setetes darahpun yang mengucur.
Kadang matanya mendelik. Saat menjelang siang hari dia berganti gaya tarian. Tiba-tiba banyak membungkuk dan melompat. Istrinya berbisik, hal ini karena ada ruh dewa yang lain merasuki tubuhnya. Jadi dalam sehari, bisa beberapa ruh dewa yang berbeda bergantian merasuki tubuhnya.
Ada pula Tatung dari suku Dayak, atau yang menggabungkan unsur budaya Dayak dalam pertunjukan mereka. Pertunjukan tarian dan atraksi kekebalan tubuh mereka tidak kalah seru. Sebagai penonton, saya sangat terhibur dengan ragam budaya ini.
Konon kabarnya, dahulu pawai iringan Tatung di Singkawang ini asal mulanya dilakukan untuk membersihkan kota dari roh jahat. Jadi tari-tarian dan atraksi mereka punya tujuan yang sakral dan mulia.
ADVERTISEMENT
Seiring dengan perkembangan zaman, pawai iringan Tatung ini sudah menjadi kalender wisata tahunan yang memberi pemasukan cukup besar bagi kota Singkawang. Kami sebagai pengunjung pun berharap keragaman budaya semacam ini terus terjaga dengan baik, dengan mempertahankan nuansa sakralnya. ***
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten