Gempa Bumi Pengusir Kompeni

Konten dari Pengguna
22 Mei 2017 13:24 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Omar Mohtar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gempa Bumi Pengusir Kompeni
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Reruntuhan Benteng Solor (sumber: www.media-kitlv.nl)
Wilayah Sunda Kecil, atau yang kini dikenal sebagai kawasan Nusa Tenggara di masa lalu telah banyak disinggahi oleh pedagang. Pedagang-pedagang tersebut berasal dari berbagai wilayah, baik yang berasal dari daerah lain di Nusantara, Tiongkok, Melayu, Portugis, serta Belanda. Di awal abad ke-16, terdapat satu pelabuhan dagang yang telah berkembang di wilayah itu yang terletak di Pulau Timor. Dalam Pelayaran dan Perdagangan Kawasan laut Sawu Abad ke-18 - Awal Abad ke-20 dijelaskan jika pedagang-pedagang tersebut menukarkan barang yang mereka bawa dengan komoditas andalan Pulau Timor, kayu cendana. Dalam buku yang sama Didik Pradjoko juga menjelaskan jika Belanda dan Portugis yang berniat ingin menguasai pulau ini harus gigit jari karena para raja-raja yang berkuasa di pulau ini tidak mengizinkan pedagang asing membangun pemukiman tetap.
ADVERTISEMENT
Portugis kemudian mencari pulau lain di sekitar Pulau Timor untuk membangun pemukiman. Pada 1566, Portugis membangun pemukiman di Pulau Solor. Pulau ini berada di sebelah utara Pulau Timor. Di Pulau Solor, Portugis juga membangun gudang untuk menyimpan kayu cendana dari Pulau Timor dan sebuah benteng sederhana yang dibangun untuk sistem pertahanan.
Pada 20 Maret 1602 Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC didirikan dan berusaha untuk menguasai beberapa pulau di Nusantara. Salah satu yang dituju adalah Pulau Solor karena letaknya dekat dengan Pulau Timor. VOC kemudian menyerang Solor pada 1613. Penyerangan ini dipimpin oleh Kapten Apollonius Schotte, tulis Ian Burnett dalam East Indies. Benteng Portugis yang terdapat di Pulau Solor dibombardir oleh pasukan VOC.
ADVERTISEMENT
Beberapa hari kemudian, banyak penduduk Solor yang melarikan diri dan VOC berhasil menguasai pulau tersebut. Benteng Portugis di Solor lalu dibangun ulang dan diperkuat oleh VOC. Dikutip dari Inventory and Identification Forts in Indonesia, benteng ini mempunyai empat bastion dengan dua pintu masuk. Benteng yang dibangun oleh van Raemburch ini kemudian dikenal dengan nama Benteng Henricus atau Lohayong.
Namun, VOC hanya berkuasa di Solor selama enam belas tahun. Pada 1629, VOC meninggalkan Solor karena kalah bersaing dengan Portugis di sekitar Laut Sawu. Seperti yang dijelaskan oleh Didik Pradjoko dalam makalahnya, Perebutan Pulau dan Laut: Portugis, Belanda, Kekuatan Pribumi di Laut Sawu Abad XVII-XIX yang disampaikan pada Konferensi Nasional Sejarah VIII 2006. Tak lama kemudian, Solor kembali dikuasai oleh Portugis.
ADVERTISEMENT
Pada 1646, Solor untuk kedua kalinya diserang oleh VOC. VOC ingin kembali menguasai Solor karena akan menjadikan pulau ini sebagai pelabuhan persinggahan bagi kapal VOC yang akan menuju Maluku, dan menyaingi Portugis di sekitar Laut Sawu. Meskipun VOC kembali berhasil menguasai Pulau Solor, mereka lagi-lagi harus meninggalkan pulau itu. Kali ini VOC hanya menguasai Solor dalam waktu yang relatif singkat, sekitar dua tahun. Pada 2 Februari 1648, gempa bumi melanda Solor dan sekitarnya. Benteng Henricus yang dibangun VOC hancur. Dinding-dinding benteng runtuh. Meriam-meriam yang ada di benteng pun terlempar dari tempatnya. Arthur Wichmann dalam Die Erdbeben Des Indischen Archipels atau yang lebih dikenal dengan Katalog Wichmann (1918), menyebutkan jika getaran gempa dirasakan hingga Larantuka dan Pulau Timor.
ADVERTISEMENT
Gempa ini juga memakan korban jiwa empat orang Belanda termasuk anak dari komandan benteng, Hendrik ter Horst. Dari Katalog Wichmann juga diketahui jika gempa susulan masih sering terjadi. Salah satunya yang terjadi pada 24 Mei 1648. Gempa susulan ini membuat usaha VOC untuk memperbaiki Benteng Henricus menjadi sia-sia. Tidak berhasil memperbaiki Fort Henricus, VOC akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Solor dan tidak pernah kembali lagi hingga 200 tahun, seperti yang tertulis dalam Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia.
Djauhari Noor dalam Pengantar Mitigasi Bencana Geologi menyebut jika daerah Nusa Tenggara bersama dengan daerah sepanjang selatan Jawa dan Bali merupakan tempat pertemuan Lempeng Eurasia dan Lempeng Indo-Australia. Pergerakan kedua lempeng tersebut membuat gempa bumi bisa terjadi. Masyarakat Nusantara kala itu banyak mengaitkan bencana gempa bumi yang terjadi dengan suatu hal mistis.
ADVERTISEMENT
Di Solor, kisah mengenai kepercayaan masyarakat tentang gempa bumi dijelaskan oleh R.H. Barnes dalam Avarice and Inquity at the Solor Fort (1987). Ada sebuah kepercayaan di Solor jika gempa terjadi karena ular besar yang berada di perut bumi terganggu dan mulai bergerak. Gerakan dari ular besar itulah yang menyebabkan Solor yang berada di atasnya bergoyang dengan keras. Gempa bumi yang terjadi juga dikaitkan keberadaan dewa yang bernama Tana Ekan. Masyarakat sekitar mempercayai jika Tana Ekan merupakan dewa yang membawa bumi. Tana Ekan menempatkan bumi di bahunya. Jika bumi bergerak, hal tersebut menandakan Tana Ekan sedang bergerak atau menggeser bahunya. Ada pula yang percaya jika Tana Ekan tidak hanya asal bergerak. Tana Ekan bergerak dengan sengaja untuk menghukum orang-orang yang telah berbuat kesalahan.
ADVERTISEMENT
Pengetahuan ilmu bumi yang belum berkembang di kalangan masyarakat kala itu membuat gempa bumi dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat mistis. Zaman kini telah berubah. Pemikiran manusia dan ilmu bumi semakin berkembang. Apa yang dahulu dipercayai oleh masyarakat mengenai gempa bumi pun telah berubah, meskipun tidak semua masyarakat. Kepercayaan yang dipercayai di masa lalu, hendaknya kini dapat dijaga dan dijadikan sebagai sebuah cerita yang dapat memperkaya kearifan lokal di Indonesia.