Konten dari Pengguna
DNA Baru BUMN: Dari Corporate Culture ke Performance
15 September 2025 11:20 WIB
·
waktu baca 4 menit
Kiriman Pengguna
DNA Baru BUMN: Dari Corporate Culture ke Performance
DNA baru BUMN lahir dari corporate culture yang kuat. Dengan kultur adaptif dan meritocracy, performance SDM meningkat, menjadikan BUMN motor penggerak ekonomi bangsa.Syaefunnur Maszah
Tulisan dari Syaefunnur Maszah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sebagai yang pernah menjadi direktur utama badan usaha milik daerah dan belajar S3 ilmu manajemen, saya menyaksikan langsung bagaimana budaya korporasi berperan besar dalam menentukan arah sebuah organisasi. Revitalisasi kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN) selalu menjadi agenda penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Namun, perhatian sering kali lebih banyak tertuju pada restrukturisasi keuangan, perombakan manajemen, atau intervensi regulasi. Padahal, ada satu variabel eksogen yang sering diabaikan, yakni corporate culture atau budaya perusahaan.
ADVERTISEMENT
Budaya korporasi merupakan sekumpulan nilai, keyakinan, dan norma yang membentuk perilaku kerja sehari-hari di organisasi. Edgar H. Schein, pakar manajemen dari MIT Sloan School of Management, menyebut budaya organisasi sebagai “the DNA of the company”—penentu utama arah dan pola hidup sebuah perusahaan. Tanpa transformasi budaya, reformasi struktural BUMN hanya akan menjadi kosmetik belaka.
Masalah utama yang dihadapi banyak BUMN di Indonesia adalah budaya kerja birokratis yang masih kental. Orientasi jabatan lebih menonjol dibanding orientasi kinerja. Loyalitas kepada atasan kadang lebih dihargai daripada pencapaian target bisnis. Kondisi ini menimbulkan inefisiensi dan resistensi terhadap perubahan.
Hambatan lain datang dari tumpang tindih kepentingan politik. Tidak jarang, direksi BUMN dipandang sebagai “jabatan politik” yang berpotensi mengaburkan profesionalisme. Budaya organisasi akhirnya terjebak dalam dilema: apakah bekerja demi kepentingan negara atau kepentingan kelompok tertentu. Situasi ini memperlemah etos inovasi dan daya saing global.
ADVERTISEMENT
Menurut teori Competing Values Framework yang dikembangkan oleh Robert Quinn dan Kim Cameron, budaya organisasi dapat dipetakan dalam empat tipologi: clan (kekeluargaan), adhocracy (inovatif), market (kompetitif), dan hierarchy (birokratis). Banyak BUMN masih dominan pada budaya hierarchy, padahal di era disrupsi digital, perusahaan harus mengadopsi lebih banyak nilai adhocracy dan market agar adaptif dan kompetitif.
Selain variabel eksogen berupa budaya organisasi, kinerja sumber daya manusia (SDM) adalah variabel endogen yang sangat menentukan outcome korporasi. Budaya yang sehat akan melahirkan SDM berkarakter agile, kompetitif, dan inovatif. Sebaliknya, budaya yang birokratis akan melahirkan SDM yang pasif, enggan mengambil risiko, dan minim inisiatif. Oleh karena itu, membangun budaya korporasi yang kuat sekaligus mengembangkan SDM unggul merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
ADVERTISEMENT
Alternatif strategi solusi yang ditawarkan adalah penguatan budaya berbasis kinerja (performance-driven culture). Ini berarti menanamkan mindset bahwa penghargaan, promosi, dan keberlanjutan karier ditentukan oleh capaian nyata, bukan kedekatan personal. Kotter dan Heskett dalam bukunya Corporate Culture and Performance (1992) membuktikan bahwa perusahaan dengan budaya adaptif dan berorientasi hasil dapat meningkatkan laba bersih hingga empat kali lipat dibanding perusahaan dengan budaya stagnan.
Best practices dapat dipelajari dari Temasek Holdings di Singapura. Sebagai sovereign wealth fund, Temasek tidak hanya mengelola aset negara, tetapi juga menanamkan budaya meritokrasi yang ketat. Setiap eksekutif dituntut transparan, profesional, dan accountable. Keputusan bisnis diambil dengan orientasi jangka panjang, bebas dari intervensi politik sesaat. Inilah yang membuat Temasek menjadi pemain global dengan portofolio di lebih dari 30 negara.
ADVERTISEMENT
Indonesia bisa belajar banyak dari Temasek. BUMN harus diarahkan untuk menjalankan prinsip good corporate governance sekaligus menanamkan budaya adaptif. Revitalisasi budaya dapat dimulai dengan menegakkan sistem reward and punishment yang adil. Budaya integritas juga wajib ditanamkan agar praktik rente bisa ditekan seminimal mungkin.
Tentu, revitalisasi budaya bukan pekerjaan semalam. Tantangan terbesarnya adalah resistensi internal. Karyawan yang sudah terbiasa dengan kenyamanan birokrasi akan menolak perubahan. Untuk itu, transformasi budaya harus dimulai dari level top management, yang memberi teladan nyata. Seperti kata John Kotter, “leaders establish the culture by what they systematically pay attention to.”
Selain itu, teknologi dapat menjadi enabler budaya baru. Digitalisasi proses bisnis mendorong transparansi dan akuntabilitas. Sistem kerja berbasis data akan menekan ruang untuk manipulasi. Dengan demikian, budaya kerja yang adaptif bisa terbentuk secara organik seiring penerapan sistem yang lebih modern.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif manajemen, budaya perusahaan yang kuat mampu menjadi variabel eksogen yang mendorong faktor internal lain, seperti inovasi produk, efisiensi operasional, dan kepuasan pelanggan. Tanpa budaya yang sehat, strategi bisnis secanggih apa pun sulit berjalan konsisten.
Implikasi lebih luas dari penguatan budaya organisasi BUMN adalah kontribusi ekonomi nasional. BUMN yang sehat akan lebih produktif, lebih berdaya saing, dan lebih mampu menyetor dividen kepada negara. Hal ini tentu memperkuat APBN dan menopang pembangunan infrastruktur maupun layanan publik.
Penguatan budaya perusahaan juga berdampak pada reputasi Indonesia di mata investor global. Ketika BUMN menunjukkan tata kelola dan budaya kerja yang profesional, kepercayaan pasar akan meningkat. Pada akhirnya, ini akan menarik lebih banyak investasi asing langsung (FDI) yang membuka lapangan kerja baru.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, revitalisasi BUMN tidak boleh hanya dilihat dari aspek struktural atau finansial, tetapi harus menyentuh aspek intangible seperti budaya. Corporate culture adalah fondasi yang membuat strategi berjalan, inovasi berkembang, dan kinerja berkelanjutan.
Membangun budaya organisasi bukanlah pekerjaan instan, tetapi sebuah proses panjang yang harus konsisten. Jika Indonesia serius menata budaya BUMN, maka perusahaan negara tidak hanya akan menjadi mesin ekonomi domestik, tetapi juga pemain global yang membanggakan bangsa.

