Belajar dari Piala AFF U19

Nur Syafa'at
Alumni S2 Administrasi Publik Universitas Brawijaya - Freelancer yang sedang belajar menulis
Konten dari Pengguna
24 Juli 2022 9:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Syafa'at tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Shutterstock.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Meski pada pertandingan terakhir penyisihan grup bermain apik dan menang telak atas Myanmar dengan skor 5 – 1, Garuda Muda U19 tetap tak dapat melaju ke semifinal Piala AFF U19 Tahun 2022. Kegagalan kali ini terasa begitu berbeda, karena beberapa hal yang sesungguhnya pantas diapresiasi. Tak pernah kalah sejak pertandingan pertama, produktivitas gol tinggi, dan hanya kemasukan 2 kali.
ADVERTISEMENT
Ferrari dan kawan-kawan, kala itu, menurut saya, relatif sukses menghibur dengan permainan yang "berbeda" dengan Timnas Senior. Berani menahan bola, passing pendek, semangat membara, dan kerjasama yang diatas kebiasaan. Saya menyebutnya diatas kebiasaan, karena kerjasama pemain kerap jadi salah satu alasan besar kegagalan tim sepak bola tanah air selama ini. Meski Sin Tae Yong (STY) memang bukan yang pertama memegang keberhasilan itu. Kalau kita ingat, beberapa tahun silam, Fachri Husaini dan Indra Sjafri juga sukses meramu permainan indah dan memenangkan kejuaraan tingkat Asia Tenggara kala menukangi Tim U16 dan U19. Artinya, ini memang bukanlah persoalan pelatih belaka.
Lebih dari Sekadar Aturan
Saya dan publik sepak bola tanah air tentu sempat mengkhawatirkan permainan tim ketika Marcelino Ferdinan cedera. Faktanya, permainan memang sempat drop. Namun Arkhan Fikri dan Subhan Fajri ternyata cukup mampu menjadi dirigen di lini tengah. Pun ditambah dengan moncernya penampilan Rabbani Tasnim yang mampu keluar dan memecah kebuntuan Hokky Caraka pasca bertemu Filipina. Alhasil, penampilan brilian mereka serta kerjasama apik pula yang akhirnya menjadi kunci kesuksesan Garuda Muda membabat dua pertandingan terakhir.
ADVERTISEMENT
Tapi skenario kompetisi AFF, Federasi Sepakbola Asia Tenggara, bicara lain. Tak seperti kebiasaan dalam pertandingan sepakbola Eropa yang saat ini terus mengalami metamorfosa aturan. Alhasil, skema Head to Head yang berlaku pertama setelah hitungan poin dalam grup menjadi batu sandungan Garuda Muda, memupus harapan mereka, mengecewakan kita semua.
Netizen pun bergolak, saya termasuk yang sedih atas hal itu. Rasanya, tak cukup puas dengan aturan yang – menurut saya – kurang proporsional lagi untuk diterapkan saat ini. Apalagi, setelah membaca aturan penentu posisi dalam klasemen dalam Liga Champions Eropa tahun lalu. Dikutip dari bola.net, penentuan posisi klasemen grup secara berurutan dimulai dari poin tertinggi, selisih gol antar tim, total gol antar tim, selisih gol keseluruhan di semua pertandingan, hingga pola disipliner tim yang diukur dari perolehan kartu kuning dan kartu merah. Tak ada (lagi) head to head yang dulu juga pernah berlaku.
ADVERTISEMENT
Diketahui, perubahan aturan dalam sepak bola dunia terus terjadi, selain revolusi VAR (Video Assistant Referee), pada 24 Juni 2021, EUFA, Federasi Sepak Bola Eropa, secara resmi juga menghapus aturan gol tandang di semua kompetisi klub yang bernaung di bawahnya. Aturan itu diketahui mulai diterapkan pada babak 16 besar Liga Champions Eropa 2022 yang lalu.
Tentunya saja, kecewa itu boleh, tapi tidak perlu juga bereaksi berlebihan, apalagi, semua sudah didasarkan pada aturan yang sebelumnya tentu telah disepakati dan diputuskan untuk ditetapkan. Rasanya cukup sulit untuk diprotes, walaupun banyak komentar yang mencurigai Vietnam dan Thailand bermain “Sepak Bola Gajah” kala bertemu pada waktu yang sama, terutama pada 15 menit terakhir. Saling menahan bola, malas merebut dari lawan, sampai pluit tanda pertandingan berakhir dibunyikan.
ADVERTISEMENT
Uniknya, kedua tim yang dikenal kompetitif itu pun terkena “karma” kala harus takluk pada fase semifinal dari Laos dan Malaysia yang biasanya tak mampu melawan mereka. Mengejutkan, namun itulah pertandingan, kerap hanya ideal di atas kertas belaka.
Move On Lebih Baik
Terlepas dari kisah sedih Skuad Garuda Muda U19, hal yang patut diketahui bersama, bahwa kompetisi AFF bukan termasuk dalam agenda FIFA (Federasi Sepak Bola Dunia). Ia bisa dibilang sekadar gengsi Asia Tenggara, meski juga cukup bisa dijadikan barometer perkembangan pemain dan tim. Pandit Football berkomentar pendek dan menarik dalam Instagramnya, kenapa tidak menang melawan Thailand atau Vietnam?
Kita semua, publik sepak bola tanah air baiknya segera move on. Bagaimanapun, STY harus terus didukung untuk berbagi ilmunya. Semoga PSSI juga tidak "bermain-main" lagi dengan target. Saya menyebutnya demikian, karena kita hanya mendengar ambisi juara, tapi belum cukup disuguhi kompetisi usia muda yang tersistem dan terselenggara dengan baik, pun Liga Nasional yang berulang kali dilanda masalah, entah pengaturan skor, jadwal tidak tetap hingga soal wasit dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Di tempat berbeda, sebagian besar penggemar sepak bola tanah air tentu pernah mendengar tentang Garuda Select. Dennis Wise dan Des Walker, duo Legenda Inggris, adalah sosok penting dibalik proyek ambisius Djarum yang jadi angin segar tersebut. Saya memang tak punya cukup pengetahuan atas sepak terjang mereka kala masih merumput, tapi cukup mudah mencarinya lewat mesin pencari Google. Sebagaimana PB Djarum yang fokus pada Bulu Tangkis, Garuda Select jelas memberikan opsi baru bagi siapapun Pelatih Timnas, khususnya kelompok usia muda.
Saya teringat ketika menonton Bagus Kahfi di sebuah talkshow yang dipandu Vincent dan Desta. Diluar kerja keras dan kerja cerdas Bagus - Bagas kala meniti karir, ada sebuah cerita menarik dari pengalaman Bagus selama bergabung bersama Young Utrecht. Bahwa sepakbola kita masih punya banyak pekerjaan rumah dari sisi fasilitas, pun pemain perlu memperkuat mental bertanding, dan disiplin/kesungguhannya dalam berlatih maupun menjaga pola makan. Tak hanya itu, Bagus yang akan segera bergabung dengan Klub Liga Utama Yunani itu juga menuturkan bagaimana latihan di Belanda yang mengedepankan intelegensia.
ADVERTISEMENT
Bagus tidak sendiri di Eropa, ada Witan, Egy Maulana, Brylian, David Maulana dan di Korea ada Asnawi, serta yang terbaru Pratama Arhan. Pemain² muda itu jelas telah membuktikan kapasitasnya hingga direkrut klub luar negeri. Mereka "seharusnya" bukan sekadar pioneer dan pemicu semangat pemain² muda lainnya, namun juga harapan akan perkembangan sepakbola kita pada masa yang akan datang. Semoga.
Piala Asia memang baru digelar tahun depan, namun agenda Asian Games U23 ada di depan mata. Semoga kelak tak ada lagi istilah sukses tapi gagal, namun sebaliknya, gagal tapi sukses. Istilah kedua penting bagi mereka yang memahami bahwa setiap kesuksesan selalu diwarnai kerja keras dan proses yang tak selalu mulus. Namun, sepanjang itu dilakukan dengan penuh komitmen dan berkesinambungan. Klise rasanya untuk terus mengingatkan bahwa mental dan sportivitas akan menerima apapun hasilnya dengan lapang dada. Bravo Garuda.
ADVERTISEMENT
Nur Syafa'at
Freelancer yang sedang Giat Belajar Menulis