Media Sosial dan Pentingnya Literasi Digital

Nur Syafa'at
Alumni S2 Administrasi Publik Universitas Brawijaya - Freelancer yang sedang belajar menulis
Konten dari Pengguna
25 Juli 2022 14:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Syafa'at tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto : Unspalsh.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto : Unspalsh.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sejak pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi selama dua dasawarsa terakhir, dunia mengalami guncangan hebat. Harus diakui, kehadiran internet telah banyak membuka cakrawala kita akan banyak hal yang ada di sekitar, bahkan di belahan bumi nun jauh di sana.
ADVERTISEMENT
Seperti bola salju yang menggelinding dan terus membesar, internet dan segala sesuatu tentangnya terus berkembang, melahirkan kreativitas tanpa batas. Rasanya, apapun yang berbau digital kini menunjukkan tajinya. Terbukti, banyak kesuksesan abad ini, lahir dari kemampuan mereka mengelola dunia maya.
Digitalisasi, harus diakui telah merajai dunia. Perlahan tapi pasti, mengalihkan dunia konvensional. Kita seperti dipaksa memilih untuk ikut bermetamorfosis, atau tergilas oleh kemajuan.
Lihat saja di sekitar, nyaris tak ada lagi koran atau radio yang bertahan. Setelahnya, warung dan toko juga perlahan mulai berjualan online. Bahkan kini, sejak Pandemi Covid-19 melanda dunia, berbagai aktivitas tatap muka pun berubah menjadi tatap maya, demi menjaga eksistensi dan pentingnya kegiatan.
Membatasi Media Sosial, Perlukah?
ADVERTISEMENT
Sulit dipungkiri bila hari ini media sosial kita kerap hadir dengan wajah ganda, postingan-postingan yang ada tak selalu seiring dengan adat ketimuran dan kebiasaan pergaulan sosial kita. Sebaliknya, ia kadang kala berisi kebencian dan fitnah. Wajah media sosial hari ini berpotensi menyesatkan mereka yang tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman akan lika-likunya yang relatif penuh dengan hal baru.
Tak salah bila ada yang menyebut bahwa media sosial mirip seperti tempat sampah. Beragam konten negatif bisa kita temukan, termasuk akun-akun palsu yang punya tujuan beragam.
Wajah buruk media sosial kian bertambah pada berbagai momen besar yang melibatkan banyak orang, seperti pemilihan umum dan even-even publik lainnya. Tentu masih segar dalam ingatan kasus Cambridge Analytica yang pernah dituduh memanfaatkan data facebook untuk kepentingan Kampanye Pemilihan Presiden Amerika tahun 2018 silam. Ada juga “tren” buzzer yang sudah menjadi rahasia umum. Sulit pula rasanya membantah peran media sosial dalam memperbesar polarisasi Cebong dan Kampret dalam Pemilihan Presiden 2019 silam.
ADVERTISEMENT
Pada wajah lain, media sosial adalah tempat belajar gratis yang sarat ilmu. Sulit dinafikan bahwa banyak grup-grup media sosial yang juga menjadi sarana positif di berbagai bidang, mulai dari forum jual – beli, berbagi informasi, bahkan tips-tips penting yang sulit kita temui di sekitar. Setidaknya, ada beberapa kawan saya yang banyak terbantu profesinya sebagai penyedia jasa perbaikan elektronik dan komputer berkat grup-grup media sosial. Termasuk saya juga banyak belajar dan mendapatkan pengetahuan baru dari para pakar melalui media sosial mereka.
Saat ini, berbagai instansi pemerintah juga telah memanfaatkan media sosial sebagai bagian dari pusat informasi dan pelayanan publik, cara tersebut dinilai cukup efektif dibandingkan bila menggunakan website biasa. Wajar pilihan itu diambil. Berdasarkan Laporan We Are Social, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia per bulan Januari 2022 mencapai 191 juta. Jumlah itu meningkat 12,35% dibandingkan tahun 2021.
ADVERTISEMENT
Gambaran singkat yang penuh paradoks di atas jelas membuat kita semua harus berpikir lebih terbuka, kreatif, tidak hitam – putih atas media sosial hari ini. Kata kuncinya adalah, media sosial adalah alat, sarana atau media. Ia relatif bebas nilai dan sangat tergantung pada para penggunanya.
Saya kira kita juga tahu, bahwa sebenarnya media sosial itu juga punya batasan-batasan. Meski nilai dan norma yang berlaku bisa saja tidak berbanding lurus dengan budaya kita, namun setidaknya para pengguna masih diberikan fitur untuk melaporkan akun atau postingan tertentu yang mengganggu.
Bukan Sekadar Literasi
Kampanye literasi bukanlah sesuatu yang baru. Kita semua tentu bergembira bila belakangan hal itu kian gencar disuarakan banyak pihak, yang peduli pada dunia pendidikan, baik secara formal sesuai kurikulum pendidikan sekolah, atau yang non-formal dengan menggunakan metode-metode pilihan mereka. Apapun bentuk dan jenisnya, perhatian terhadap dunia literasi jelas harus diapresiasi dan didukung oleh semua pihak, sebagai bagian dari partisipasi kita dalam mendorong peningkatan sumber daya manusia di wilayah masing-masing.
ADVERTISEMENT
Secara umum, tentu kita pun akan cenderung sepakat, bahwa konten dan konteks adalah dua hal yang sama pentingnya. Hal itu adalah modal penting bagi siapapun yang menggunakan internet dan bermedia sosial, termasuk dalam memilih informasi.
Lebih teknis, sumber informasi hendaknya disaring berdasarkan filter-filter pengetahuan, dengan memperhatikan latar belakang, seluk-beluk sumber, serta penulis atau kreatornya. Sebagai contoh, pemilihan media pemberitaan yang kredibel bisa dilihat dari status mereka pada Dewan Pers, yang tentu akan diikat oleh etika jurnalistik.
Pada sisi lain, saya melihat bahwa tantangan beratnya adalah ketika kita dihadapkan pada media sosial dan kekuatannya, yang kini dihuni oleh ratusan juta pengguna. Mau tidak mau, dunia literasi harus mampu beradaptasi, bukan sekadar melek huruf atau angka, dan persoalan karakter belaka. Literasi digital harus naik kelas. Hal itu disebabkan karena dunia media sosial cenderung bebas nilai, sehingga lebih kompleks.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, penting untuk diketahui, bahwa dunia digital yang saling terintegrasi itu akan merangkai siapapun yang menggunakannya pada sebuah sistem besar. Sebagai pengguna, jejak perjalanan kita tidak akan serta merta hilang, bahkan berpotensi dapat terus "dimanfaatkan".
Serta merta, atau dalam jangka panjang, kita bukan hanya akan terus saling terkoneksi, namun terus “dipantau” oleh mereka yang punya akses atas sistem yang kita gunakan. Contoh sederhana atas masalah yang dimaksud bisa anda lihat ketika membuka aplikasi toko online dan mencari sepatu merk tertentu, maka iklan sepatu tersebut kelak akan muncul juga di halaman media sosial atau peramban kita, meski sebelumnya kedua aplikasi itu tidak pernau ditautkan.
Lalu kita harus bagaimana? Apakah dunia digital serumit itu? bisa ya, bisa tidak. Segala sesuatu akan tampak sulit karena kita kadangkala tak punya cukup waktu untuk belajar, dan tak punya keinginan membuka cakrawala. Sebaliknya, juga akan tampak mudah karena dalam banyak hal sesungguhnya kita cukup sering mempelajari hal baru, dan dalam waktu singkat ternyata kita bisa. Kuncinya adalah rasa ingin tahu, serta ada media atau sarana untuk belajar, termasuk mau bertanya.
ADVERTISEMENT
Klise memang, sebagaimana berbagai alat atau sarana lain dalam kehidupan sehari-hari, maka, media sosial pun demikian. Ia sangat tergantung pada penggunanya, serta seberapa paham dan mampu kita menggunakannya. Jangan terbiasa mencari kambing hitam, atau menyalahkan wajah ganda yang sepertinya niscaya ada pada diri kita.