Pemilu dan Jalan Terjal Netralitas Birokrasi

Nur Syafa'at
Alumni S2 Administrasi Publik Universitas Brawijaya - Freelancer yang sedang belajar menulis
Konten dari Pengguna
12 Mei 2023 9:26 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Syafa'at tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Birokrasi dituntut profesional, namun apakah mereka diperlakukan dengan profesional? (Foto : Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Birokrasi dituntut profesional, namun apakah mereka diperlakukan dengan profesional? (Foto : Unsplash)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bukan rahasia bila seringkali pemilihan umum (pemilu) dan masalah politisasi birokrasi terjadi beriringan. Karena itu, birokrasi dituntut untuk netral dalam momen-momen elektoral.
ADVERTISEMENT
Lili Romli, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pada sebuah webinar (23/3/2023) yang digelar oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) menyampaikan pentingnya netralitas birokrasi karena posisi birokrasi sebagai penghubung pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Hal itu menjadi poin penting karena ketidaknetralan dapat berdampak pada diskriminasi layanan, termasuk kesenjangan dalam lingkup Aparatur Sipil Negara (ASN), serta konflik atau benturan, yang menyebabkan ASN menjadi tidak profesional.
Urgensi netralitas birokrasi mendorong digelarnya Forum Konsultasi Publik oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang secara khusus membahas sistem merit. Data menunjukkan bahwa pada 2021 lalu, dari delapan aspek sistem merit, tercatat bahwa aspek pengembangan karier dan aspek promosi serta mutasi menjadi yang paling rendah dengan capaian di bawah 50 persen. Catatan pentingnya, secara politik hal itu tentu tidak bisa dilepaskan dari “peran dan kepentingan” kepala daerah.
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan itu, hasil survei nasional netralitas ASN pada Pemilihan Kepala Daerah (PIlkada) Serentak Tahun 2020 yang dilakukan oleh KASN juga menunjukkan bahwa fenomena politisasi birokrasi memang terjadi.
Pelanggaran netralitas birokrasi didominasi oleh faktor ikatan persaudaraan sebesar 50,76 persen dan motif ASN untuk mendapatkan karier yang lebih baik sebesar 49,72 persen. Catatan KASN juga menunjukkan bahwa pada Pilkada Serentak 2020 terjadi pelanggaran netralitas ASN di 109 daerah, meski saat itu dipimpin oleh Pejabat/Pelaksana Tugas Kepala Daerah. Lalu, bagaimana mengatasinya?

Dilema Regulasi

Ilustrasi Aparatur Sipil Negara (ASN). Foto: Shutter Stock
Bagi ASN, bersikap netral dalam pemilu bukanlah tuntutan yang baru. Secara tegas hal itu telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Hal itu bisa tergambar pada pasal 2 yang menempatkan prinsip netralitas sebagai bagian dari penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN.
ADVERTISEMENT
Upaya mendorong itu terus dilakukan, salah satunya melalui penandatanganan Surat Keputusan Bersama antara Menteri PAN-RB, Menteri Dalam Negeri, Pelaksana Tugas Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Ketua KASN, serta Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada hari kamis 22 September 2022.
Namun demikian, bila membaca dengan cermat beberapa pasal lain dalam Undang Undang No 5 Tahun 2014, maka kita akan menemukan potensi lahirnya kebingungan ASN atas tuntutan netralitas pada mereka. Sebagaimana diketahui, pasal 53 secara jelas menempatkan beberapa pejabat politik sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian.
Artinya mereka secara hukum diberi kewenangan untuk menetapkan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian ASN, serta pembinaan manajemen ASN. Jelas hal itu menjadi celah politik yang akan terus melahirkan pelanggaran-pelanggaran yang sama pada setiap momen elektoral.
ADVERTISEMENT
Upaya mencegah hal-hal tersebut memang sudah dilakukan oleh pemerintah. Misalnya melalui Undang Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota menjadi Undang Undang, khususnya dalam pasal 71.
Dijelaskan bahwa Kepala Daerah tidak bisa mengambil keputusan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa kampanye. Namun demikian, dalam praktiknya efek dan pengaruh politik elektoral yang baru akan datang atau sudah berlalu, tak jarang berkepanjangan.
Jangan nafikan kemungkinan “peran” tim sukses dan atasan yang berharap karier lancar, sebagaimana hasil survei yang juga dilakukan oleh KASN. Lantas, apalagi yang perlu dilakukan?

Birokrasi di Persimpangan Jalan

Ilustrasi Aparatur Sipil Negara (ASN). Foto: Shutter Stock
Posisi dilematis ASN pada setiap momen politik elektoral seharusnya segera diselesaikan bila pemerintah benar-benar ingin mewujudkan birokrasi yang profesional dan melayani kepentingan publik dengan baik. Untuk itu, setidaknya ada dua pilihan yang bisa ditempuh.
ADVERTISEMENT
Pertama, mengubah status dan/atau manajemen kepegawaian menjadi sentralistik, atau vertikal pada badan atau lembaga khusus yang dibentuk dan dikelola secara profesional melalui proses yang terbuka.
Hal itu berarti meniadakan atau mereduksi kewenangan Pejabat Pembina Kepegawaian di daerah, yang dalam survei KASN selama ini kondisinya memungkinkan mereka dapat melakukan intervensi (baca: politisasi) melalui atasan langsung ASN.
Opsi mengurangi atau membatasi kewenangan kepala daerah atas manajemen kepegawaian, khususnya pada urusan karier dan mutasi sedikit banyak akan membuat intervensi politik dapat dikurangi.
Kedua, mengubah masa jabatan kepala daerah menjadi maksimal hanya satu periode namun masa jabatannya ditambah menjadi tujuh atau delapan tahun.
Opsi ini pernah diungkapkan oleh Prof. Salim Said pada sebuah acara diskusi di sebuah stasiun televisi, meski saat itu konteksnya adalah jabatan presiden yang menimbulkan polarisasi besar sehingga efeknya cukup besar sampai di level akar rumput.
ADVERTISEMENT
Dengan terbatasnya periode jabatan kepala daerah, peluang politisasi birokrasi dengan memanfaatkan kekuasaan/kewenangan menjadi lebih kecil. Meski dalam praktiknya bisa saja peluang itu muncul dari birokrasi sendiri, namun lebih mudah untuk diatasi dengan memperberat sanksi atas tindakan tersebut.
Ketiga, opsi yang paling berat adalah meniadakan hak pilih ASN dalam pemilu, sehingga mereka tidak dapat “dibenturkan” lagi oleh kepentingan politik elektoral. Opsi ini secara politik cukup berat karena besarnya jumlah ASN.
Namun demikian, sebagaimana anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian, ASN juga alat negara yang seharusnya dapat bekerja secara profesional dalam memberikan pelayanan publik.
Beberapa pilihan kebijakan itu tentunya harus ditempuh melalui jalur konstitusional, yakni melalui jalur politik “parlemen” atau jalur hukum dengan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi. Persoalannya, politik hukum birokrasi pada satu titik akan bertemu dengan kepentingan, sehingga tidak semua yang dipandang rasional akan menjadi sesuatu yang mudah.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, tidak berlebihan bila saya menyebut momen politik dan isu netralitas birokrasi sedang berada pada jalan terjal. Ia harus diselamatkan, terus didorong solusi terbaiknya oleh semua pihak yang menginginkan kinerja birokrasi pemerintahan menjadi lebih baik.