Simalakama Teknologi Informasi

Nur Syafa'at
Alumni S2 Administrasi Publik Universitas Brawijaya - Freelancer yang sedang belajar menulis
Konten dari Pengguna
4 September 2022 18:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Syafa'at tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Unspalsh.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Unspalsh.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa waktu yang lalu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memberikan peringatan pada perusahaan atau badan yang menggelar layanan digital atau online di tanah air untuk segera mendaftarkan diri pada Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Private, paling lambat 20 Juli 2022. Tak pelak, beberapa aplikasi yang populer di masyarakat jadi sasaran, seperti Google, Facebook, Whatsapp, Instagram, Netflix, Zoom, hingga Youtube. Sementara itu, beberapa apliasi asing yang cukup populer diketahui sudah terdaftar, seperti Tiktok, Telegram, Spotify dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Kominfo menyebutkan, bahwa ada empat tujuan yang ingin dicapai lewat aturan tersebut, yaitu agar memiliki sistem yang terkoordinasi untuk seluruh PSE yang beroperasi di Indonesia, menjaga ruang digital Indonesia, melindungi masyarakat saat mengakses ruang digital, serta mewujudkan keadilan, termasuk soal pemungutan pajak. BIla hal tersebut tidak dilakukan oleh penyedia layanan digital dan online, mereka diancam dengan sanksi administratif, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang PSE Lingkup Private.
Pakar keamanan siber CISSReC, Pratama Persadha, sebagaimana dikutip dari beberapa media, menyoroti dari sisi lain, bahwa hal itu memungkinkan pihak Kominfo dapat mengakses ruang private aplikasi, misalnya percakapan whatsapp pengguna, meski pesan telah dienskripsi. Walaupun disebutkan bahwa akses itu hanya bisa dilakukan untuk kepentingan kasus hukum dan penyidikan, namun siapa yang bisa menjamin hal itu tidak bocor?
ADVERTISEMENT
Masalah Keamanan Data
Kasus kebocoran data pribadi pengguna layanan digital di Indonesia bukanlah sesuatu yang baru. Dikutip dari berbagai media pemberitaan nasional, pada bulan Mei 2021, kebocoran data menimpa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), bahkan disebut- sebut, data sejumlah pesertanya dijual di Raid Forums seharga 0,15 bitcoin. Kebocoran data lainnya juga pernah menimpa Cermati dan Lazada pada akhir tahun 2020.
Tak hanya itu, Tokopedia dan Komisi Pemilihan Umum juga pernah mengalami hal yang sama. Serta yang terbaru adalah data eHAC (electronic Health Alert Care). Kasus terbaru ini menjadi perhatian banyak pihak karena selama ini digunakan untuk kepentingan pelacakan Covid-19. Menurut data yang dilansir oleh vpnmentor, sebanyak 1,3 juta data pribadi penggunanya bisa ditemukan di sebuah server yang bisa diakses oleh semua orang.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari bantahan yang dikeluarkan oleh Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan, publikasi vpnmentor.com sampai hari ini masih bisa diakses. Disebutkan bahwa setidaknya ada 2 Gigabytes data yang bocor, seperti data hasil tes Covid-19, data akun pengguna, termasuk data individu yang berasal dari beberapa rumah sakit, penumpang pesawat, hingga data hotel yang diinput saat menggunakan aplikasi eHAC.
Sebelum beberapa kejadian itu, saya pribadi sebenarnya juga cukup terganggu dengan kebijakan integrasi pendaftaran SIM Card nomor handphone dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang dahulu disebut-sebut dapat mencegah tindak penipuan. Faktanya, sampai hari ini masih banyak telepon dan pesan singkat yang terindikasi kuat berisi spam dan penipuan.
Lalu masihkah kita harus percaya akan keseriusan pemerintah atas kebijakan tersebut?
ADVERTISEMENT
Saat kita masih diombang-ambing oleh berbagai pemberitaan dan kasus kebocoran data, Kominfo ternyata sudah mengambil tindakan sesuai peringatannya. Tak pelak, tagar #BlokirKominfo pun trending di twitter, pasca diblokirnya beberapa aplikasi. Meski kemudian beberapa telah dibuka sementara, mereka tetap diberi tenggat waktu untuk segera mendaftar.
Apa yang dilakukan Kominfo, sebenarnya bukanlah sesuatu yang berlebihan, bila semua berjalan sesuai prosedur. Bagaimana pun, internet telah membuka ruang digital yang sangat luas, dengan segala keuntungan dan ancaman yang mengintai. Sayangnya, berbagai potensi bahaya itu tak mampu diredam dengan baik, sehingga menimbulkan penolakan yang keras dari para pengguna.
Simalakama Teknologi
Harus diakui, bahwa kemajuan teknologi digital, khususnya internet, telah merubah banyak hal di sekeliling kita. Satu sisi, kita memang ditawarkan berbagai kelebihan yang dahulu tampaknya mustahil. Alhasil, saat ini, banyak hal yang dahulu membutuhkan waktu lama dan sulit dilakukan, kini menjadi lebih cepat dan lebih mudah. Banyak keterbatasan yang terlampaui, hingga nyaris tak ada batas.
ADVERTISEMENT
Hampir semua kalangan, saat ini memanfaatkan kehadiran internet untuk berbagai aktivitasnya. Di Indonesia, media sosial jadi pilihan banyak orang untuk bertemu teman-teman lama yang jauh, berbagi informasi, termasuk menjadi sarana berbisnis. Toko online pun menjamur, memangkas waktu dan jarak antara penjual dan pembeli. Selain itu, berbagai pelayanan publik pemerintah pun identik dengan hal-hal yang berbau digital. Bahkan, saat ini esports telah dipertandingkan secara resmi dalam berbagai even internasional.
Selain berbagai kelebihan itu, faktanya, kesadaran akan potensi bahaya atas digitalisasi tak banyak dipahami masyarakat secara luas. Hal itu pun mengundang oknum-oknum untuk terus melakukan penipuan yang memanfaatkan internet dan penyalahgunaan berbagai aplikasi.
Lalu Bagaimana?
Bagi kita yang awam, persoalan yang menyangkut kemajuan TIK dimulai dari kebutuhan biayanya yang tinggi. Padahal, selain itu ada juga masalah besar yang perlu mendapat perhatian serius. Hal itu bisa dipicu oleh berbagai hal, seperti ketidaksiapan Sumber Daya Manusia pengelola dan pengguna, juga karena sistem yang ada masih lemah, atau terlambat diperbaharui, termasuk persoalan hukum yang menjadi lebih rumit karena banyak hal yang saling terkait/terintegrasi. Tak ayal, berbagai ancaman dan gangguan yang relatif baru di mata kita pun bermunculan, sehingga berpotensi dapat merusak dan mengganggu dari berbagai sisi, termasuk memberikan dampak sosial politik, bahkan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Seperti paradoks kehidupan, kehadiran TIK juga demikian. Karena sifatnya yang bebas nilai, maka upaya mengatur dan memberikan batasan-batasan hendaknya diikuti dengan kesiapan-kesiapan lainnya, termasuk pendidikan dan etika digital yang seharusnya diajarkan dan diperkuat sejak dini di sekolah. Generasi kita sudah seharusnya bukan hanya diajarkan menjadi pengguna, namun harus paham seluk beluknya, sehingga manfaatnya dapat dimaksimalkan, dan bahayanya bisa diantisipasi.
Hal itu sangat penting, karena ketika sudah mengakses internet, sesungguhnya kita telah memberikan informasi dan termasuk ijin akses pada ruang-ruang maya yang luas dan bisa diakses oleh pihak lain. Itulah sebabnya, masyarakat atau pengguna tentunya juga perlu mendapat jaminan keamanan data dari pemerintah bila ada aplikasi-aplikasi yang membutuhkan informasi pribadi dan sifatnya terintegrasi satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Mungkinkah hal itu bisa dilakukan? Tentu saja bisa, namun tidak mudah. Selain membutuhkan anggaran yang besar, menjaga database dan aplikasi dari serangan siber juga harus dilakukan secara berkala, serta membutuhkan keahlian khusus yang tidak mudah. Wajar bila ada yang bilang, bahwa menuntut kewajiban pada warga negara juga harus disertai jaminan pemenuhan hak-haknya juga. Cukup adil, bukan?