GIRI: Konsep Kewajiban Sosial di Jepang

Syafik Abdurrahman
Mahasiswa Mata Kuliah Kajian Gender dan Perempuan Jepang, Studi Kejepangan Universitas Airlangga
Konten dari Pengguna
25 September 2022 17:43 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syafik Abdurrahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://pixabay.com/images/id-5429879/
zoom-in-whitePerbesar
https://pixabay.com/images/id-5429879/
ADVERTISEMENT
Peran sosial adalah sekumpulan asa dan perilaku atas status sosial. Peran Sosial ialah pelaksanaan kewajiban dan hak individu sesuai dengan status sosial masing-masing. Apabila seorang telah melaksanakan kewajiban maka orang tersebut bisa meminta hak-haknya karena orang tersebut telah menjalankan suatu peran yang benar. Untuk menghindari ketegangan peran, kesenjangan peran, maupun kegagalan peran maka diperlukan pemberian apresiasi, baik dengan mengharapkan imbalan ataupun karena hanya sekedar ingin membalas jasa.
ADVERTISEMENT
Kita pasti sering melihat adegan drama atau film Jepang dimana ada seseorang yang memberikan hadiah Natal atau memberikan apresiasi baik berupa barang atau sekedar ucapan. Adegan tersebut adalah salah satu bentuk giri di Jepang. Jepang memiliki konsep kewajiban sosial, yaitu giri (義理) yang berarti konsep kewajiban sosial.
Giri merupakan konsep dasar yang dihargai dalam hubungan manusia di Jepang seperti yang dijalankan oleh tuan kepada bawahan, orang tua kepada anak, suami dan istri, dan kepada saudara, rekan bisnis, bahkan juga kepada musuh. Jika didefinisikan, konsep ini memedulikan orang yang telah memberi kebaikan hati meskipun terkadang dengan membalas kebaikan tersebut harus mengorbankan diri sendiri.
Menurut Matsumara (1988), giri mungkin lebih cocok dipahami sebagai kumpulan makna yang berhubungan yaitu: (1) moral prinsip atau kewajiban, (2) aturan yang harus dipatuhi dalam hubungan sosial, dan (3) perilaku yang wajib diikuti atau yang harus dilakukan terhadap kehendak seseorang. Gagasan giri diperkirakan telah muncul pada masa Feodal oleh kelas Samurai, tetapi pada umumnya dianggap seperti norma sosial. Gagasannya sendiri telah ada sejak zaman kuno yang dianggap sebagai kebiasaan mengembalikan sesuatu yang berniat baik.
ADVERTISEMENT
Pada masa ini, konsep ini masih menjadi peran penting dalam komunikasi di Jepang, salah satunya terbentuk pada tradisi memberi hadiah. Seperti 中元 (chuugen) yang berarti hadiah musim panas dan 歳暮 (seibo) hadiah akhir tahun. Hadiah berupa cokelat yang biasanya diberikan pada hari Valentine disebut giri choco atau pemberian cokelat berdasarkan giri. Kartu tahun baru 年賀状 (nengajou) yang dibuat untuk mengucapkan selamat tahun baru, alasan menulisnya kemungkinan juga karena giri atau 義理で書きます (giri de kakimasu).
Giri erat kaitannya dengan saling memberi hadiah sebagai tradisi yang bersifat saling berbalasan atau resiprokal. Sebab itu, sebagai penerima kebaikan secara tersirat dituntut untuk memberikan hadiah sebagai bentuk balasan. Keharusan moral untuk menerima, memberi dan membalas hadiah di Jepang ini berasal dari tradisi sejak dahulu.
ADVERTISEMENT
Menurut Davies dan Ikeno dalam buku The Japanese Mind (2002), konsep giri muncul di masyarakat Petani padi di zaman kuno dan berubah karena menyerap pengaruh samurai dan Neo-Konfusianisme pada periode Kamakura dan Edo. Banyak adat giri yang muncul di masa lalu terus berlanjut dalam kehidupan Jepang.
Kesimpulannya adalah meskipun mungkin sulit bagi mereka yang berasal dari budaya lain untuk memahami mengapa orang Jepang menghabiskan begitu banyak energi memberi hadiah dan mengirim kartu ucapan. Bagi orang Jepang harmoni adalah hal yang sangat penting, karena kebiasaan giri kemungkinan akan terus memainkan peran penting dalam bahasa Jepang di masyarakat untuk beberapa waktu ke depan, itu semua demi menjaga keharmonisan.
Daftar Pustaka:
Sugiura, Yoichi (1996). Nihon bunka o Eigo de shokaisuru jiten: Traditional Japanese Culture & Modern Japan. Natsumesha
ADVERTISEMENT
Davies, Ikeno (2002). The Japanese Mind. Halaman 95