Perempuan Dalam Cerpen Maihime Karya Mori Ogai

Syafik Abdurrahman
Mahasiswa Mata Kuliah Kajian Gender dan Perempuan Jepang, Studi Kejepangan Universitas Airlangga
Konten dari Pengguna
10 Desember 2022 20:52 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syafik Abdurrahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://www.istockphoto.com/id/foto/seorang-turis-atau-mahasiswa-dengan-ransel-di-dekat-gerbang-brandenburg-di-berlin-di-gm1150083458-311213754
zoom-in-whitePerbesar
https://www.istockphoto.com/id/foto/seorang-turis-atau-mahasiswa-dengan-ransel-di-dekat-gerbang-brandenburg-di-berlin-di-gm1150083458-311213754
ADVERTISEMENT
Karya sastra bukan hanya untuk dinikmati sisi keindahannya saja, tetapi perlu juga mendapatkan perhatian ilmiah, seperti dalam sebuah kajian yang membahas berbagai aspek yang terkandung, dan juga melalui metode maupun pola pemikiran ilmiah yang berlaku. Terkait dengan analisis terhadap suatu karya sastra, ada bermacam-macam jenis analisis karya sastra hingga saat ini, Tinjuan feminisme adalah salah satunya. Feminisme memposisikan perempuan sebagai objek utama pada kajian atau pusat studi (Setiyono, 2015).
ADVERTISEMENT
Cerpen Maihime telah dimuat oleh majalah Kuni no Tomo pada awal tahun 1890 dan pada bulan Agustus oleh Utakata no Ki pada majalah Shigarami Sōshi. Saat itu Maihime telah membuat publik Jepang terkejut karena isinya mengenai kisah cinta orang asal Jepang dengan orang Eropa.
Tokoh utama Ota Toyotaro yang merupakan refleksi dari Mori Ogai sendiri. Cerpen ini menceritakan ketika tahun 1884, Mori yang saat itu berusia 23 tahun diberi tugas untuk belajar ke Jerman. Ketika berada di Jerman, Ota bukan hanya belajar ilmu politik, tetapi juga mendalami sejarah dan kesusastraan Barat. Pada suatu hari di depan sebuah Gereja di Berlin, Ota melihat ada seorang gadis berusia sekitar 16 atau 17 tahun sedang menangis dan Ota bersedia mendengarkan gadis itu dan bersedia untuk membantunya.
ADVERTISEMENT
Sejak saat itu Ota mengetahui bahwa gadis tersebut adalah penari biasa yang baru saja kehilangan ayahnya dan disaat bersamaan ia juga sedang mengalami permasalahan ekonomi. Ota pun akhirnya memutuskan untuk membantunya, karena itu Ota semakin dekat dengan gadis tersebut yang bernama Elise dan juga dekat dengan ibunya. Hingga akhirnya mereka menikah, tetapi karena sebuah konflik diantara mereka, hubungan mereka menjadi tidak baik dan terpaksa Ota menerima tawaran kontrak kerja dari temannya yang bernama Aizawa. Kemudian Ota meninggalkan Elise di Jerman saat masih dalam kondisi mengandung. Ota merasa benci kepada temannya yang merekomendasikan pekerjaan itu, karenanya dia meninggalkan istri tercintanya kembali ke Jepang sendirian.
Pada saat itu merupakan masa restorasi Meiji. Pada masa tersebut menandai berakhirnya sistem feodal masa pemerintahan Keshogunan Tokugawa yang disebut zaman Edo dan kembali menempatkan Kaisar (Tenno) sebagai pemimpin di Jepang. Jepang yang tadinya menerapkan kebijakan Sakoku atau kebijakan yang mengatur orang asing dilarang masuk ke Jepang tanpa izin dan tidak boleh meninggalkan Jepang sama sekali, saat itu secara spontan Jepang mulai melakukan kaikoku yang dimana kebalikannya dari Sakoku. Dengan demikian mulai saat itu modernisasi Jepang terjadi (Sembiring, 2007).
ADVERTISEMENT
Perbedaan antara laki-laki dan perempuan ada dari hasil dari konstruksi sosial dan budaya yang menghasilkan peran dan tugas yang berbeda, hal tersebut menyebabkan perempuan terabaikan peran atau kontribusinya dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Sasongko, 2009). Dalam perannya, terdapat berbagai isu gender salah satunya adalah bias gender. Istilah bias diartikan sebagai situasi yang merugikan atau memihak, dan gender adalah hal yang melekat pada laki-laki dan perempuan secara sosial ataupun budaya. Jadi bias gender adalah kondisi yang dapat merugikan salah satu gender karena dapat menimbulkan diskriminasi gender.
Di dalam maihime ini terdapat bias gender dimana posisi ibu yang menurut masyarakat Jepang seharusnya perempuan hanya berperan mendidik anak, tetapi ia harus bekerja menggantikan posisi suaminya yang telah meninggal untuk menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya. Sama halnya dengan Indonesia, dominan strereotip terhadap jenis kelamin perempuan masih ada. Karena sejak dahulu hingga sekarang laki-laki dianggap sebagai pusat pencari nafkah dalam keluarga. Kondisi paling buruk adalah terjadi kekerasan kepada perempuan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan kutipan pada halaman 21 “Semenjak kecil aku dididik secara keras di rumah. Kendati Ayah meninggal sewaktu aku masih anak-anak bukan berarti pendidikan yang kuterima berkurang”. Selain itu sosok ibu dalam kutipan tersebut bisa juga dipandang sebagai kyouiku mama. Kyouiku mama adalah sebuah istilah sindiran dalam bahasa Jepang yang diterjemahkan secara harfiah sebagai "ibu pendidik". Sosok tersebut merupakan sosok stereotip dalam masyarakat Jepang modern yang digambarkan sebagai seorang ibu yang terus-menerus mendorong anaknya untuk belajar (Kriman, Alfred, 2007).
Didalam Maihime juga terdapat marginalisasi yang berkaitan dengan diskrimanasi gender. Terdapat dalam kutipan halaman 32 “Tetapi, seperti kata penyair Hacklander. Penari bagaikan budak pada waktu itu. Nasib penari sangat menyedihkan. Dengan gaji kecil mereka hidup dengan jadwal yang ketat, latihan di siang hari dan naik pentas di malam hari”. Kutipan tersebut menunjukkan adanya diskriminasi terhadap penari di Jerman yang dimana penari sangat identik dengan perempuan pada saat itu.
ADVERTISEMENT
Pada pertengahan hingga akhir abad ke- 18, perempuan Jerman berada dalam peran dan posisi yang terbatas dalam masyarakat. Beberapa kegiatan dominan yang dilakukan kaum wanita pada masa itu adalah, menjaga hewan ternak, menenun, dan bercocok tanam. Perempuan Jerman pada saat itu juga mendapat diskriminasi dalam kepemilikan atau juga dalam pewarisan properti, seperti bangunan dan tanah. Pekerjaan dan kegiatan mereka juga bergantung pada posisi sosial dari keluarga asalnya (Plummer, Marjorie, 2008).
Sedangkan bagi pada saat Restorasi Meiji saat itu membawa perempuan Jepang juga pada ketidaknyamanan. Hal itu terjadi atas dasar walaupun kesempatan pendidikan bagi perempuan Jepang telah dibuka, namun perempuan Jepang terus berada dalam posisi yang tidak bebas. Walaupun para perempuan sudah menjadi tenaga kerja di bidang industri Jepang, mereka masih tidak bisa lepas dari kesulitan juga. Tidak jarang ditemukan kasus tenaga kerja perempuan yang melakukan aksi bunuh diri karena tidak tahan terhadap sikap pemilik pabrik yang semena-mena. Selain itu, tidak jarang juga ditemukan kasus tenaga kerja yang mengalami kelelahan akibat durasi kerja yang panjang.
ADVERTISEMENT
Komashaku dalam Feminist Acts of Reading, berpendapat bahwa masyarakat Jepang pasca perang secara paksa mengkategorikan perempuan sebagai pelacur atau istri. Setiap kategori berasal dari “sumber” yang sama, yaitu sikap sosial misoginis. Mengamati bagaimana wanita dilucuti dari kemanusiaan mereka dan dengan demikian diobjekkan oleh tatapan pria, Komashaku mencatatbahwa narasi sastra memiliki kapasitas untuk bertindak sebagai “saksi” terhadap pengalaman hidup dari objektifikasi ini. “Kesaksian” posisi sosial perempuan yang terpinggirkan ini terjadi dalam banyak teks karya Ariyoshi dan dalam teks-teks tertentu, khususnya teks-teks awal, oleh Sono yang kini dicerca (Sawako, Ayako 2017).
Pada saat yang sama, saat itu Indonesia masih dalam keadaan dijajah oleh Belanda sampai tahun 1945. Belanda bukan hanya menjajah sumber daya alam saja, tetapi juga masyarakatnya, terutama perempuan. Lalu muncul gerakan emansipasi perempuan yang digugah oleh Raden Ajeng Kartini yang memperjuangkan hak perempuan terhadap pendidikan. Kesimpulannya adalah dari ke-3 negara diatas yang telah dibahas, perempuan pada masing-masing negara memiliki masalahnya sendiri.
ADVERTISEMENT
J Setiyono, 2015. Kajian Feminisme Dalam Cerpen Lelaki Ke-1000 Di Ranjangku Karya Emha Ainun Najib. Jurnal Pendidikan Edutama.
Sasongko, Sundari, 2009. Konsep dan Teori Gender. Jakarta: BKKBN.
Plummer, Marjorie Elizabeth, 2008. Partner in his Calamities: Pastors Wives, Married Nuns and the Experience of Clerical Marriage in the Early German Reformation. Gender & History
Sembiring, 2007. Pemikiran mori ogai terhadap modernisasi jepang dalam doitsu sambusaku. Universitas Sumatera Utara.
Kriman, Alfred, 2007. "SBF Glossary: Jo. to J-2".