Budak Cinta Buta

Syafira Maulidia
Seorang mahasiswa Jurnalistik di Politeknik Negeri Jakarta.
Konten dari Pengguna
12 Mei 2020 10:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syafira Maulidia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Aku bahkan tak pernah melihat wajahnya, bagaimana bisa ia menaklukan ku?
ADVERTISEMENT
Wajarnya jatuh cinta itu dari mata turun ke hati. Tak disangka, ternyata cinta juga bisa dari suara turun ke hati. Terdengar konyol, namun aku mengalaminya sendiri.
Sudah setahun ku kenal lelaki itu lewat Twitter sejak awal Maret 2019. Kami sama-sama tak pernah mengungkap rupa asli. Berawal dari direct message, lambat laun kami tumbuh perasaan pada satu sama lain dan memutuskan pacaran.
Pertamanya aku hanya ingin hubungan ini sekadar di Twitter dan tak mengaitkan kehidupan pribadi kami terlalu jauh, tetapi akhirnya kebablasan sampai akhirnya memutuskan bertukar nomor telepon. Tak ada satu hari pun kami tak mengobrol lewat telepon semenjak itu, sampai setahun pun berlalu.
Setahun dengan segala dramanya. Putus-nyambung berkali-kali dan bertengkar setiap hari tak pernah membuat kami menyerah dengan hubungan ini. Kami sadar hubungan ini sudah tak baik. Meskipun begitu, tak pernah sekali pun berhasil berpisah.
ADVERTISEMENT
Kepribadian kami yang sangat berbeda sering jadi pemantik perdebatan. Aku yang sangat straightforward dan dia yang serba memendam perasaan. Aliran musik yang kami sukai juga jauh berbeda, dia suka Rock dan aku suka Pop. Dia sangat suka membaca dan aku tidak. Hampir tak ada kesamaan di antara kami.
Aku pun tak mengerti kenapa sangat sulit lepas darinya. Dia bahkan tak ada di sisi ku, tak bisa mengusap pipi ku saat ku menangis, tak bisa memeluk ku saat ku sedih, dan hal-hal yang tak bisa dilakukan selayaknya pasangan lainnya. Baru pertama kali ku rasakan beratnya kehilangan seorang yang kucinta.
Tak pernah ku kira sebelumnya, aku bisa jatuh cinta sedalam ini. Aku yang sebelumnya tak pernah merasa butuh laki-laki untuk menyenangkan hati, mulai tak nyaman dengan diri sendiri. Kesepian tak pernah menghantui, meskipun sebenarnya aku selalu sendiri. Aku hanya dengan telepon genggam ku, mendengar suaranya dari jauh.
ADVERTISEMENT
Jarak jadi tak berarti karena ia selalu ada di setiap waktu ku. Jarak kami sebenarnya tak terlalu jauh, aku di Jakarta dan dia di Tangerang. Kalau kalian bertanya mengapa kami tidak bertemu, jawabannya karena kami takut semuanya jadi berbeda. Kami selama ini jatuh cinta pada bayangan tentang satu sama lain. Kami selalu menyiapkan diri untuk bertemu, walaupun akhirnya selalu gagal karena ketidakyakinan. Daripada berlarut-larut mengeluh akan keterbatasan ini, kami merasa keadaan seperti ini sudah cukup. Kami bersyukur masih bisa mendengar suara satu sama lain setiap harinya tanpa ada pertengkaran.
Hanya dengan suara, ia ambil seluruh hati ku. Suaranya yang lembut memelukku setiap ku butuh dan menenangkanku ketika kusedih. Suaranya bagai obat luka hati yang tak lekas sembuh. Namun seketika ku sadari, terkadang suaranya bagai duri di hatiku. Kata-katanya yang tadinya lembut, berubah jadi kasar. Aku punya seribu alasan untuk berhenti mencintainya, namun hati ku tetap menolak. Selalu ada pembenaran atas perilakunya terhadap ku.
ADVERTISEMENT
Aku selalu berpikir bahwa itu salah ku. Aku lah alasannya. Setiap kami bertengkar, aku meminta maaf padanya ratusan kali, meneleponnya berkali-kali hingga diangkat. Pada akhirnya, hanya ada aku sendiri, menyelamatkan diri dari pikiran-pikiran jahat. Untuk pertama kalinya aku merasa di titik terendah di hidupku.
Pertanyaan-pertanyaan selalu muncul di benakku. Apakah cinta selalu sesulit ini? Apakah aku hanya terobsesi dengan bayang-bayangnya? Apakah aku hanya delusional? Apa yang sebenarnya kuinginkan?
Satu tahun aku menahan gejolak diri ini. Membiarkan pertanyaan-pertanyaan itu tertimbun dan terbuai oleh setiap angan-angan yang ia berikan. Padahal aku jelas sadar kenyataannya bahwa sebenarnya tidak akan ada akhir yang baik dari hubungan ini.
Tadinya aku menutup mata menganggap semuanya akan membaik. Namun, sekarang sudah menyerang rasa percaya diri ku. Aku jadi sering insecure dan over-thinking. Hubungan ini membuat ku membenci diri sendiri secara perlahan. Aku mulai kehilangan diri sendiri hanya untuk memberi makan ego orang lain.
ADVERTISEMENT
Terakhir kami bertengkar hebat karena mantan kekasihnya yang terus mengganggu kami selama ini. Awalnya aku masih diam karena tidak ada yang bisa ku perbuat. Aku selalu mewajarkan karena aku tak ada di sisinya. Namun sekarang aku tak ingin menahan amarahku lagi, aku bertekad meninggalkannya. Aku bertekad mengobati lukaku sendiri, mencoba memaafkan dan mencintai diri sendiri. Saat terakhir ku balas WhatsApp-nya pada 1 Mei 2020.
“Kamu mau bersikukuh dengan pendirianmu atau mendengar penjelasanku?” tanyanya padaku.
“Just leave me, thank you,” balas ku tak peduli,
Okay, you’re welcome,” tutupnya mengakhiri pembicaraan kami.
Butuh keberanian sampai akhirnya memutuskan memblokir nomornya. Setelah perdebatan panjang dengan diri sendiri, kalimat pendek itu keluar tanpa beban dan berat. Rasanya lega walaupun sebenarnya masih banyak hal yang ingin kudengar darinya, masih banyak yang ingin kusampaikan padanya agar tak kusimpan sakit ini sendiri. Namun, aku sadar kisah tak akan ada ujungnya. Harus ada salah satu yang pergi.
ADVERTISEMENT
Seperti judul lagu Ariana Grande “Better Left Unsaid”, aku mengakhiri hubungan ini sepihak tanpa ada rundingan dan kata-kata indah. Tinggal luka saja yang tertinggal. Aku tak butuh menjelaskan diri lagi untuk orang lain mengerti. Sudah cukup, biar ku bawa diri ini ke tempat semula, ke tempat saat ia tak di sisi ku, dan aku akan baik-baik saja.
[Syafira Maulidia - Politeknik Negeri Jakarta]