news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kenapa Orang Seperti Nurdin Abdullah Bisa Korupsi?

Syafri Arifuddin Masser
Juru tulis: puisisyafri, peresensi di resensi.co.id, buruh suara di Radio Banua Malaqbi, relawan lterasi di Kamar Literasi & Teras Aksara Mamuju
Konten dari Pengguna
1 Maret 2021 21:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syafri Arifuddin Masser tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah saat melaunching pelaksanaan vaksinasi corona di RS Dadi Makassar, Kamis (14/1). Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah saat melaunching pelaksanaan vaksinasi corona di RS Dadi Makassar, Kamis (14/1). Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Setiap kali ada OTT, saya tidak bertepuk sorai bagi penindaknya dan tidak meratapi tersangkanya. Begitupun saat gubernur sulsel ditangkap. Semuanya biasa saja. Berlalu seperti lelucon di panggung komedi yang berulang-ulang kita dengar, yang hanya di awal kita terbahak dan setelahnya, lelucon itu menjadi hal yang biasa.
ADVERTISEMENT
Nurdin Abdullah adalah satu dari sekian orang yang terjaring dalam orkestrasi OTT ini. Banyak yang tak membayangkan seorang yang punya rekam jejak yang bersih dan baik itu digelandang KPK. Dia ini berangkat dari kalangan akademisi. Dia seorang profesor. Dia bupati dua periode yang membawa daerah Bantaeng yang tertinggal menjadi daerah maju. Ketika banyak yang mengelu-elukanya sebagai The Next Habibi, maka itu hal yang tak perlu dipertanyakan.
Ketika ia terpampang di berbagai media menggunakan rompi oranye, banyak orang yang hatinya tercabik-cabik. Mulai dari para pemilihnya yang memilihnya sebagai gubernur karena apa yang telah ia buat selama ini hingga mereka yang tidak punya hak memilih (bukan orang sulsel). Daya magis pemimpin non kader parpol ini menjadi satu harapan masyarakat sulsel dari situasi negara yang minim tokoh yang berintegritas.
ADVERTISEMENT
Dia juga dianggap representasi dari pemimpin intelektual yang idealis. Batasan baik-buruk pasti sudah ia ketahui dalam perjalannya menggeluti ilmu pengetahuan hingga mendapatkan predikat guru besar. Berbagai penghargaan perihal pemimpin yang berintegritas, visioner, dan inovatif telah banyak diraihnya. Dan itu menjadi bukti betapa hebatnya pak gubernur profesor itu. Namun, sungguh sayang seribu sayang, reputasi yang dibangun puluhan tahun runtuh seketika. Ia kini tersangka kasus korupsi.
Apa, kenapa, dan sejumlah kata tanya lainnya membayang-bayangi semua pengikutnya. Mereka mungkin lupa kalau kita tinggal dan hidup dalam jeratan sistem politik yang mahal. Ongkos yang perlu dibayar bagi seorang pemimpin tidaklah murah. Bahkan sekelas kepala desa saja perlu mengeluarkan banyak uang untuk menanggung bergelas-gelas kopi para pemilihnya sampai hari pemilihan. Ini mungkin contoh yang irelevan, tapi kenyataannya demikian, bukan?
ADVERTISEMENT
Kita tahu jalan-jalan menjadi pemimpin butuh menguras kantong. Apa yang dikuras jika isi kantong tidak ada? Maka kantong-kantong donatur yang dirogoh. Sayangnya, donasi itu butuh kembalian. Tidak sekarang. Tapi perjudian para donatur untuk memilih pemimpin tidak mungkin berbalas ucapan terima kasih saja tanpa embel-embel di belakangnya. Pemimpin pun akhirnya tersandera.
Itu sudah menjadi rahasia umum. Tak perlu heran. Yang nampak hanya yang tertangkap dan yang bergembira hari ini, bisa jadi tinggal menunggu waktu saja, atau kalau waktu itu tidak tiba, mungkin ia bukanlah pemimpin yang populer sehingga kerja-kerjanya tak perlu disorot media dan pemberantas antirasua, atau dunia politik kita sudah seperti rimba, yang kuat bertahan dan yang lemah tersungkur?
KPK sendiri punya tugas memberantas, semua yang dilakukannya mencabut korupsi sampai ke akar-akarnya. Segala besaran anggaran dan kewenangan yang dimilikinya untuk menghilangkan korupsi. Jika korupsi masih marak, kita patut bertanya, "becuskah kerja mereka?" Atau kita berhak curiga "mungkin mereka juga dapat bagian" atau kenyataan yang ada adalah "korupsi hidup dalam manusia seturut detak jantung?" Mereka yang tidak melakukannya akan mati?" Perumpamaan yang hiperbolis tapi diam-diam, bagi pelakunya, tentu saja meyakininya.
ADVERTISEMENT
Saya teringat kelakar seorang senior. Ini kisah nyata yang fiksional. Ia menceritakannya sebagai anekdot dan saya akan menceritakannya sebagai penutup:
Ada seorang pegawai negeri dengan jabatan yang terbilang tinggi di kabupaten. Suatu kali, ada orang yang mengurus administrasi perizinan sebuah proyek. Ia membawakannya satu kotak brownis dan beberapa lembar uang merah. Pegawai itu dengan raut yang marah menampik pemberian itu dan menceramahi orang itu dengan idealisme yang berapi-api. Orang itu malu dan pulang tertunduk lesu. Harga dirinya koyak.
Kali lain dalam sebuah pertemuan di hotel, seseorang menyelipkan selembar cek 10 juta. Pegawai itu geram, dan membanting gelas kopinya. Di restoran hotel semua orang terkejut. Pegawai itu lalu merobek-robek cek itu dan membuangnya ke tempat sampah.
ADVERTISEMENT
10 tahun berlalu. Pegawai itu, berkat profesionalisme dan integritasnya yang terjaga akhirnya pindah ke Kementerian. Dia meninggalkan tempat kerjanya di daerah yang penuh gratifikasi. Suatu waktu seorang stafnya di daerah berkunjung ke ibu kota. Pegawai itu masih ramah dan responsif ketika ada yang mencarinya. Kacang lupa kulitnya adalah peribahasa yang tak cocok dilekatkan padanya.
Pegawai itu membagikan lokasi rumahnya. Saat itu ia tidak bekerja karena hari libur. Saat stafnya itu sampai di rumah, satpam langsung membukakan pintu, ia melihat bangunan rumah dengan desain minimalis bertingkat dua. Lebarnya kira-kira hampir setengah lapangan bola. Di garasinya terparkir Ferrari dan Lamborgini, di sampingnya ada sepeda lipat Brompton dan Harley Davidson.
Pegawai itu menunggu di tepi kolam di halaman belakang rumahnya. Dia di sana sedang memanggang daging. Anak-anaknya bermain di kolam dan istrinya sedang menyiapkan makanan. Stafnya terharu disambut dengan demikian. "Orang baik ternyata tetap baik di mana pun berada" Gumamnya dalam hati.
ADVERTISEMENT
Sembari menikmati makanan, stafnya ini bertanya "pak, sekarang di kementerian jabatannya apa?" Sambil mengunyah ia menjawab "sama kayak di tempat yang dulu, cuma kepala seksi saja, tapi bedanya ini di kementerian".
"Tapi, kok kehidupan bapak sudah seglamor ini, beda dengan di daerah dulu", pegawai itu lekas menjawab "di daerah perputaran ekonomi lambat, menjadi orang sederhana bagi seorang pegawai di sana adalah sesuatu yang paling ideal", "maksudnya pak?" Stafnya menimpali. "Kalau dulu uang dikasih kita cuma berani 10 juta, di sini sekali urusan 300 jt. Kalau sehari punya 2-3 urusan bisa satu miliar. Ia menjawab sambil terkekeh.
Dan stafnya pun terperangah.
Ia merasa tertipu dan terkhianati, tetapi seperti katanya Leszk Kolakowski: "dalam politik, tertipu bukanlah alasan" dan kita hidup di dunia politik semacam itu sekarang.
ADVERTISEMENT