Al-Makiyun dan Tampang Boyolali

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
5 November 2018 13:18 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah warga melakukan aksi damai Save Tampang Boyolali di Boyolali, Jawa Timur (04/11/2018). (Foto: ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/)
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah warga melakukan aksi damai Save Tampang Boyolali di Boyolali, Jawa Timur (04/11/2018). (Foto: ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/)
ADVERTISEMENT
Narasi nyinyir dan merendahkan dalam dunia politik itu sudah menjadi hal biasa, bahkan sudah pada level yang “luar biasa”. Masing-masing pihak yang berada dalam barisan kontestan politik, bahkan terkesan sibuk membuat narasi tandingan, guna menangkis berbagai upaya “pelecehan” politik yang dibuat oleh para lawan politiknya.
ADVERTISEMENT
Sulit untuk tidak dikatakan, momen Pilpres kali lebih banyak dibangun berdasarkan asumsi politik, narasi kritis yang merendahkan, atau jargon-jargon populer dalam menyatakan beragam isu politik kekinian yang mungkin sama sekali miskin ide dan hampir luput dari tema besar kepentingan nasional. Tak berlebihan, jika saya katakan, ketika kandidat cawapres Ma’ruf Amin menyebut “Al-Makiyun” dengan maksud menyebut banyaknya pihak yang “saling memaki” tepat setelah gaduhnya ucapan “tampang Boyolali” Prabowo Subianto.
Bagi seorang kiai seperti Ma’ruf, ungkapan bahasa Arab bisa menjadi hal yang populer walaupun sebenarnya istilah itu diplesetkan. Istilah “Al-Makiyun” memang sepintas jika diterjemahkan berarti “ahli Mekah” atau “orang Mekah”, namun serasa pas ketika narasi politik lebih banyak ditunjukkan dengan “saling memaki” oleh berbagai pihak, maka istilah itu diplesetkan kiai asal Banten ini.
ADVERTISEMENT
Memang harus diakui, dunia politik jelang pilpres ini dipenuhi oleh narasi-narasi makian yang saling serang antarkubu bahkan mungkin sudah dalam tahap sangat mengkhawatirkan. Moralitas politik tampaknya hampir tak berlaku, bahkan menjadi sebatas ilusi yang tak mungkin hadir dalam setiap kontestasi politik.
Menariknya, seloroh nyinyir dan merendahkan ini—terlepas dari apakah itu bercanda atau sengaja—selalu ditanggapi secara berlebihan, bahkan tak heran jika hal sesederhana ini dapat menimbulkan kegaduhan bahkan hingga aksi turun ke jalan. Sepertinya, ada pihak-pihak yang tak pernah merasa puas atau bahkan dendam sehingga harus dapat menggaungkan narasi tandingan, bila perlu lebih sadis dari lawan politiknya.
ADVERTISEMENT
Masing-masing pihak akan menuntut keadilannya sendiri-sendiri, bahkan bila perlu tak perlu rumit-rumit mengikuti aturan birokrasi. Seperti “qishahs” politik, yang membalas segala sesuatunya dengan ungkapan yang sama merendahkan, sama melecehkan, dan mungkin saja bisa lebih menyakitkan.
Di tengah ekspektasi masyarakat yang sedemikian tinggi terhadap pergantian kekuasaan, sulit rasanya bagi masing-masing pihak kontestan saling menahan diri, kecuali terus menerus terbawa arus dalam lingkaran narasi politik yang menjengkelkan. Lalu, apakah metode membangun narasi politik saling merendahkan ini berdampak bagi peningkatan modal elektabilitas?
Jokowi (kiri) dan Prabowo (kanan) bergandengan usai menandatangani deklarasi kampanye damai Pemilu 2019 di Monas, Jakarta, Minggu (23/9/2018). (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi (kiri) dan Prabowo (kanan) bergandengan usai menandatangani deklarasi kampanye damai Pemilu 2019 di Monas, Jakarta, Minggu (23/9/2018). (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Saya kira tidak sama sekali, karena elektabilitas sejauh ini hanya dapat ditingkatkan melalui berbagai upaya positif yang saling membangun antarkandidat, sehingga rakyat akan semakin tahu dan yakin siapa sesungguhnya kandidat pilihan mereka. Membangun citra buruk terhadap lawan politik melalui narasi-narasi negatif, jelas tak akan berpengaruh terhadap menurunnya eletabilitas politik, yang ada publik akan lebih waras menilai mana pihak yang memprovokasi dan mana pihak yang tidak.
ADVERTISEMENT
Drama politik narasi yang sering kali terjadi belakangan ini, bukan tanpa aktor maupun sutradara. Tak ada sebuah situasi politik yang berjalan spontanitas tanpa “digerakkan” atau tanpa “diarahkan” oleh pihak-pihak tertentu. Seakan masing-masing pihak sudah jauh-jauh hari mengumpulkan amunisi, tinggal soal kapan dan di mana peluru itu dimuntahkan.
Uniknya, para pemain drama politik ini masing-masing sudah memiliki tameng penahannya, sehingga setiap amunisi yang ditembakkan, tameng-tameng politik telah dipersiapkan, lengkap dengan serangan balasan yang telah diatur sedemikian rupa. Namun, masalahnya tinggal kita mau mempercayainya atau tidak.
Kita tak terlampau sulit mengenali beberapa aktor yang sering kali tampil menjalankan skenario politik naratif, karena umumnya orangnya tetap itu-itu saja. Mungkin mereka mengira, bahwa drama politik semacam ini bakal mampu menggenjot elektabilitas, padahal justru sebaliknya malah memperburuk citra bahkan dapat menurunkan tingkat elektabilitas seorang kontestan politik.
Keakraban Jokowi dan Prabowo di Monas. (Foto:  Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Keakraban Jokowi dan Prabowo di Monas. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Itulah sebabnya, sebuah autokritik muncul dari cawapres Ma’ruf Amin dengan menyebut konotasi buruk terhadap mereka-mereka yang memainkan drama politik naratif yang merendahkan pihak lain sebagai ahli maki-maki atau “Al-Makiyun”.
ADVERTISEMENT
Kita tentu saja berharap—sebagaimana keinginan Ma’ruf—agar membangun komunikasi politik secara lebih santun dan baik. Karena di sinilah sesungguhnya citra Indonesia sebagai negara yang melek demokrasi semakin dipertaruhkan. Kita tentu tak berharap, di mana indikasi pemberantasan korupsi yang semakin membaik di satu sisi, tetapi justru malah diperburuk bahkan dihambat oleh isu narasi politik negatif yang merusak di sisi lainnya.
Penting bagi saya, bahwa komunikasi politik yang baik dan berimbang antarberbagai elemen anak bangsa, akan menghilangkan tingkat kecurigaan salah satu pihak, bahkan terbangun suasana kondusif ke arah penguatan demokratisasi politik. Jangan sampai karut marut politik malah menciptakan kondisi baru yang bersifat memecah belah, sehingga yang terjadi justru “pembusukan” politik dan jauh dari harapan besar negara demokratis.
ADVERTISEMENT
Munculnya kelompok “Al-Makiyun” dalam ranah politik justru akan menambah beban demokrasi yang saat ini justru sedang terseok-seok ditapaki negeri kita ini. Politik yang sehat, tentu tidak dibangun atas dasar caci-maki, hujatan, nyinyiran, atau saling merendahkan antarpihak. Namun ia harus dibangun atas fondasi kesantunan dalam setiap narasi politik, tetap memandang kesamaan derajat dalam setiap situasi kompetitif, dan membangun citra diri yang positif dalam perspektif persatuan dalam keragaman.
Harus disadarkan para elite, di mana Indonesia dengan wujud mayarakat multietnis dan multikultur, tak mudah dipecah belah oleh hal apapun, terlebih hanya oleh frasa-frasa negatif dalam setiap narasinya.
Jangan sampai kita membuang energi yang sia-sia hanya sebatas meributkan soal bendera atau ungkapan “tampang Boyolali” yang tak berarti. Apalagi sampai bupati ikut-ikutan mendemo soal narasi politik negatif sekadar ikut bersolek memanfaatkan aktor dalam drama narasi politik. Masih sangat banyak pekerjaan rumah negara ini yang tak sesederhana mewujud sekadar soal balasan atau tangkisan dalam hal narasi-narasi politik negatif.
ADVERTISEMENT
Jangan pernah melupakan bahwa kita ini berada dalam sebuah negara besar yang tak mungkin terpecah ke dalam kelompok-kelompok primordial yang fanatik, apalagi hanya melihat berdasarkan kacamata kuda lalu nabrak-nabrak tak jelas arah tujuannya. Negara besar itu ditakuti dan diakui ketika bersatu, dan akan dipandang rendah dan dipermainkan jika saling berseteru apalagi berkutat menyoal nomor dua atau nomor satu.