Amien Rais di Antara Nasionalisme dan Islamisme

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
27 Desember 2018 11:34 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Politikus Indonesia, Amien Rais. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Politikus Indonesia, Amien Rais. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Desakan mundur Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN), Amien Rais, oleh sejumlah pihak pendiri partai berlambang matahari ini memberikan kesan sangat kuat terhadap kekhawatiran mereka atas 'Islamisme' (gerakan politisasi agama) yang sejauh ini dicitrakan pada diri Amien Rais.
ADVERTISEMENT
Manuver politik Amien di PAN seolah membawa parpol besutan aktivis Muhammadiyah ini semakin ekslusif, kental nuansa 'politisasi agamanya', bahkan seolah Amien dan PAN terus memanfaatkan simbol keislaman secara formal demi meraih keuntungan kekuasaan.
Sangat kontras sekali dengan gaya manuver Amien di saat-saat menjelang reformasi dulu, di mana ia justru menggandeng banyak tokoh nasionalis untuk meraup dukungan politik dalam rangka menggulingkan rezim Orde Baru.
Bukan Amien Rais jika tak mampu menampilkan sensasi politiknya terhadap fenomena kekuasaan apapun yang dipandangnya melenceng dari nilai-nilai substansi demokrasi. Ilmuwan politik sekelas Amien rasa-rasanya sulit untuk diajak kompromi apalagi sekadar disodori iming-iming kekuasaan.
Rekam jejaknya dalam dunia politik menunjukkan sosok politisi gaek ini dikenal sangat anti-rezim, hampir tak ada rezim yang luput dari reaksi keras kritikannya. Hal ini dapat dibuktikan ketika dirinya sukses mengantarkan Gus Dur menuju kursi kepresidenan melalui manuver 'poros tengah' yang digagasnya, namun dalam beberapa bulan malah berbalik 'menjatuhkan' Gus Dur lewat Sidang Istimewa MPR di mana ia duduk sebagai ketuanya.
ADVERTISEMENT
Sangat mungkin di mana drama kejatuhan Gus Dur dari kursi kepresidenan membuat para pendukung tokoh NU ini merasa kecewa terutama terhadap Amien Rais. Rangkaian panjang kekecewaan ini mungkin saja berimbas ketika NU sendiri secara penuh memberikan dukungan kepada petahana, berbanding terbalik dengan sikap Amien yang terlampau kritis kepada kandidat yang saat ini mendapat dukungan kuat dari tokoh-tokoh NU.
Amien Rais (kiri) saat bersama Gus Dur. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Amien Rais (kiri) saat bersama Gus Dur. (Foto: Wikimedia Commons)
Ketokohan Amien Rais mungkin saja menjadi warning yang dapat membahayakan elektabilitas petahana, karena hampir dipastikan seluruh manuver politik Amien jelas-jelas mengganggu peta politik yang sejauh ini telah mereka bangun. Amien kemudian terus diposisikan sebagai wujud politisi paling 'frontal' terhadap rezim, sehingga wajar ketika banyak kekuatan politik yang berupaya membungkamnya.
Ketokohan Amien justru terdongkrak karena sikap kritisnya yang tajam kepada pemerintahan, sekalipun pemerintahan itu didukung oleh dirinya. Hampir dipastikan, tak ada rezim yang luput dari berbagai kritik keras Amien, termasuk ketika dirinya terus bermanuver untuk menggagalkan Jokowi kembali menang dalam Pilpres tahun depan.
ADVERTISEMENT
Kesulitan Amien menggaet para tokoh nasionalis yang umumnya pro-Jokowi membuat dirinya memutar haluan menggandeng tokoh-tokoh muslim 'garis keras' yang notabene kontra pemerintahan. Itulah kenapa, warna Islamisme menguat di tubuh PAN, bahkan parpol yang sedianya berideologi politik inklusif ini justru tampak 'ekslusif' setelah ketua dewan kehormatannya memanfaatkan berbagai gerakan 'Islam politik'.
Walaupun terlalu dini menyebut PAN linier dengan gerakan Islamisme, namun paling tidak keberadaan Amien Rais yang sedemikian kuat di tubuh PAN dan mendapat dukungan penuh dari berbagai gerakan Islam-politik yang kritis terhadap pemerintahan, sedikit banyak telah membentuk gambaran tersendiri bagi PAN dalam mengaktualisasikan sikap politiknya.
Sejarah PAN yang lahir dari rahim Muhammadiyah dan memiliki keterikatan sejarah panjang dengan Masyumi, tak mungkin dilepaskan dari keterikatan ideologi konservatisme Islam yang menemukan bentuk barunya saat ini. Nasionalisme Amien dalam identitas kepolitikan jelas memiliki kedekatan ideologis dengan gerakan konservatisme dan hal itu dapat dilacak dari serangkaian sejarah politik Muhammadiyah, di mana Amien Rais dibesarkan secara politik.
ADVERTISEMENT
Asumsi saya, PAN memang memiliki latar belakang Islamisme yang kuat, di mana hampir seluruh tokoh politiknya berlatar belakang Muhammadiyah yang linier dengan garis perjuangan Islam konservatif yang pernah digelorakan Partai Masyumi.
Konservatisme biasanya identik dengan suatu fenomena keberagamaan yang mencerminkan ketaatan dalam beragama dengan kecenderungan menjaga nilai-nilai akidah dan syariat. Kelompok konservatif umumnya berupaya menjaga lembaga, tradisi, serta otoritas agama.
Identitas keislaman yang hidup dalam kultur Muhammadiyah memungkinkan setiap anggotanya yang tergabung dalam wadah politik PAN mengaktualisasikan dirinya melalui serangkaian fenomena gerakan formal Islam-politik dan menemukan momentumnya di saat menguatnya gerakan konservatisme Islam yang cenderung mengkritik pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Sangat wajar saya kira ketika PAN di bawah bayang-bayang Amien Rais justru benar-benar menemukan momentumnya di tengah menguatnya arus Islam-politik dalam berbagai gerakan konservatisme yang terus menyuarakan pergantian kekuasaan.
Para penggagas PAN yang kemudian kecewa dengan sikap Amien Rais yang dianggapnya melenceng dari khittah partai, lalu mendesak dirinya mundur semakin memperlihatkan bahwa ada upaya-upaya yang hendak mengaburkan garis demarkasi ideologi politik partai dengan suatu kenyataan politik.
Tak berlebihan jika dikatakan bahwa mungkin saja para penggagas PAN itu memang pro-rezim atau menganggap penguatan konservatisme agama hanya akan menemukan jalan buntu dalam memperoleh kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Manuver politik Amien Rais yang selalu diidentikkan dengan gaya konservatisme Islam tentu saja sering kali membuat gerah para lawan politiknya. Tidak hanya mereka yang memang berseberangan secara ideologi politik, bahkan dalam internal PAN sendiri sering kali terjadi upaya penggembosan politik seperti yang dilakukan tokoh-tokoh PAN daerah yang mendeklarasikan dirinya mendukung petahana dalam Pilpres 2019 mendatang.
Keberadaan Amien terus dipertanyakan, bahkan berbagai kritik yang mengarah kepada pribadi dirinya seolah ia tak lagi mencerminkan sikap nasionalisme karena mendukung dan menggunakan kekuatan gerakan konservatisme Islam demi tujuan politik kekuasaan.
Lalu, apakah bermasalah ketika PAN memposisikan dirinya sebagai parpol pengkritik penguasa? Atau, salahkah PAN yang benar-benar all out memenangkan Capres Prabowo dengan memperkuat garis kepolitikannya yang konservatif, menggandeng gerakan-gerakan Islam-politik yang seolah-olah diwacanakan publik sebagai gerakan politik yang cenderung memanfaatkan agama?
Prabowo Subianto, Amien Rais, dan Djoko Santoso memberikan keterangan pers mengenai penganiayaan Ratna Sarumpaet di Kertanegara, Jakarta. (Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta)
zoom-in-whitePerbesar
Prabowo Subianto, Amien Rais, dan Djoko Santoso memberikan keterangan pers mengenai penganiayaan Ratna Sarumpaet di Kertanegara, Jakarta. (Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta)
Sosok Amien Rais yang selalu kritis memang berupaya membangkitkan sisi nasionalismenya melalui upaya perlawanan atas sikap politisasi rezim terhadap dirinya. Jika memang benar ada upaya kuat dari 'tangan-tangan tak terlihat' dalam berupaya membungkam sikap kritis Amien yang terlampau keras, berarti memang ada upaya politisasi yang tidak sehat di tengah klaim menguatnya demokrasi.
ADVERTISEMENT
Maka, sudah sewajarnya jika ada upaya perlawanan balik dari PAN yang membela Amien Rais di saat tokoh paling seniornya justru dipolitisasi.
Mungkin saja sosok Amien Rais menjadi ikon bagi gejala conservative turn, sebagaimana penelitian Martin van Bruinessen (Contemporary Developments in Indonesian Islam: 2013) yang mengungkap menguatnya kembali konservatisme beragama di kalangan Muslim Indonesia.
Sekalipun hal ini menjadi gejala sosial yang bermasalah karena rentan terhadap kemunculan radikalisme dan ekstremisme, namun sosok Amien tampaknya tetaplah nasionalis karena sikapnya yang selalu kritis terhadap upaya penyelewengan-penyelewengan kekuasaan.
Kesan penggunaan agama sebagai alat politik yang ditunjukkan melalui kedekatannya dengan berbagai gerakan konservatif hanyalah taktik politik sekaligus konsistensi dirinya sebagai begawan politik yang anti-rezim.
ADVERTISEMENT