Aroma Klenik di Tes CPNS dan Birokrasi yang Irasional

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
7 November 2018 11:21 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Jimat (Foto: Maulana Ramadhan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Jimat (Foto: Maulana Ramadhan)
ADVERTISEMENT
Lagi-lagi, inilah Indonesia, dengan kelengkapan riwayat sejarah budaya klenik cukup panjang yang tak pernah lekang dimakan zaman. Komputer tak pernah dikenal dalam dunia klenik, walaupun alur kerja komputer mungkin saja diyakini dapat “diubah” oleh kekuatan klenik yang dibawa oleh mereka. si (di) pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya dengan cara “pendekatan” kepada pihak-pihak tertentu atau mungkin ada saja “titipan” yang disisipi “amplop terima kasih” tetapi cara-cara di luar jangkauan akal sehat pun sepertinya marak dilakukan. Beberapa kali peserta tes CPNS kedapatan membawa jimat yang diyakini dapat meloloskan mereka dalam berkompetisi.
Antusiasme masyarakat untuk menjadi pegawai pemerintah patut dihargai, karena walau bagaimanapun, hal ini menunjukkan kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi pemerintahan dipandang cukup tinggi.
Berbanding terbalik jika dikaitkan dengan isu-isu politik, di mana kepercayaan masyarakat justru dinilai menurun terhadap pemerintah. Soal membludaknya peserta pendaftar CPNS sesungguhnya telah berjalan bertahun-tahun, bahkan sepertinya besar pasak daripada tiang, karena jumlah kuota yang ditetapkan tak sebanding dengan jumlah masyarakat yang mendaftar.
ADVERTISEMENT
Ketatnya suasana penerimaan CPNS yang begitu kompetitif, sering kali banyak orang kehabisan akal sehingga aroma klenik-pun semakin harum semerbak. Entah apa yang ada di pikiran mereka yang membawa jimat ketika pelaksanaan tes yang dilakukan secara computerize, yang kecil kemungkinannya jimat berpengaruh terhadap alokasi penilaian secara langsung dan akurat melalui sistem komputer.
Tapi lagi-lagi, inilah Indonesia, dengan kelengkapan riwayat sejarah budaya klenik cukup panjang yang tak pernah lekang dimakan zaman. Komputer tak pernah dikenal dalam dunia klenik, walaupun alur kerja komputer mungkin saja diyakini dapat “diubah” oleh kekuatan klenik yang dibawa oleh mereka.
Diakui maupun tidak, tradisi bangsa ini memang mewarisi “klenikisasi” yang cukup luar biasa bahkan terkadang sulit dilepaskan karena menyatu dalam rasa keberagamaan mereka sendiri. Praktik-praktik tertentu seperti ziarah kubur, mendatangi tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat, atau meyakini figur karismatis seseorang yang dapat membawa berkah merupakan bagian dari tradisi hidup yang sampai saat ini hadir di tengah-tengah masyarakat.
ADVERTISEMENT
Sulit untuk tidak mengatakan, aroma klenik juga menyengat di setiap ajang kontestasi politik yang dipraktikkan para kontestan agar dapat menang, tak peduli walaupun bertentangan dengan konsep rasionalitas politik. Saya juga meyakini, bahwa para peserta tes CPNS yang membawa jimat jelas sedang mengangkangi akal sehatnya, bahkan tak percaya sama sekali dengan kemampuan dirinya sendiri.
Soal keyakinan terhadap jimat, wifiq, rajah, besel, atau apapun bentuknya memang sulit diberangus, sekalipun masyarakat telah berada di penghujung abad modern. Sulit merubah keyakinan seseorang yang mempercayai hal-hal klenik untuk tidak mempercayai atau beralih untuk lebih rasional, kecuali ketika kita sendiri telah merasakan masuk dalam fenomena dunia klenik itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Bagi saya, keunikan bangsa Indonesia justru ada pada fenomena kleniknya, bukan soal rasionalitasnya, karena rasionalitas itu produk budaya asing yang diserap oleh mayoritas masyarakat urban.
Lalu, apakah soal CPNS ini terkait erat dengan jumlah pengangguran di negeri ini yang cenderung meningkat? Atau memang jumlah lapangan kerja sangat terbatas sehingga membentuk mindset masyarakat lebih pragmatis?
Mungkin saja berada di lini birokrasi bagi mereka lebih memudahkan segala urusan, terutama soal keuntungan materi sekaligus peningkatan status jabatan di pemerintahan yang tak begitu kompetitif. Klenik, mungkin saja bagian dari pragmatisme masyarakat di tengah arus deras sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Soal klenik dalam pelaksanaan tes CPNS bukanlah temuan baru, karena di tahun-tahun sebelumnya juga pernah ditemukan. Jangan pernah menganggap enteng soal klenikisasi ini, terlebih kemudian sekadar menjadi bahan lelucon publik.
Bagi saya, hal ini terkait erat dengan iklim kompetisi dalam banyak hal menjadi barang mahal karena harus dimuluskan melalui asumsi-asumsi keekonomian. Keberadaan dunia klenik menjadi linier dengan iklim kompetisi di banyak lini yang bisa disebut buruk atau bahkan sekadar formalitas.
Publik mungkin saja sudah bosan dengan cara-cara birokratik yang cenderung menihilisasi akses kompetisi dan membuka jalur-jalur lain—bahkan mengkanalisasinya—secara lebih pragmatis dengan acuan keuntungan secara keekonomian.
Membuka lebar-lebar mata dan pendengaran kita, serasa seringkali kita mendapatkan informasi yang sedemikian rumit soal birokrasi. Bahkan, dalam banyak hal justru cenderung irasional dalam arti bahwa proses birokrasi kita sedang “sakit” akibat hilangnya iklim kompetitif karena dipenuhi drama koruptif.
Jimat yang dibawa calon peserta CPNS. (Foto: Twitter/@BKNgoid)
zoom-in-whitePerbesar
Jimat yang dibawa calon peserta CPNS. (Foto: Twitter/@BKNgoid)
Memanfaatkan akses klenik dalam hal birokrasi mungkin saja menjadi pilihan, sebagai bagian dari perlawanan atas suasana birokrasi yang memang irasional. Daripada harus memakai cara-cara birokrasi yang rumit, ditambah harus ada kedekatan secara personal dengan unsur-unsur birokrat, belum lagi harus sama-sama “saling memahami” bahwa nilai keekonomian teramat sangat penting, maka klenik justru mendapatkan tempatnya di sini.
ADVERTISEMENT
Saya kira, tugas terberat pemerintahan yang paling utama jelas menciptakan suasana birokrasi yang rasional. Masih maraknya aksi pencaloan—baik secara sembunyi maupun terang-terangan—atau rumitnya jalur-jalur birokrasi yang “dikanalisasi” oleh sistem keuntungan keekonomian, atau formalitas kompetisi yang terjadi di hampir setiap lininya, jelas semakin mempertegas sikap pragmatisme masyarakat.
Pragmatisme dalam tahap tertentu akan menjadi “benalu” bagi rasionalisasi birokrasi, terlebih dikurung oleh suasana koruptif yang cukup tinggi. Jadi, jangan sepelakan soal jimat, karena hal itu adalah jawaban dari birokrasi yang sedang “sakit” yang memang telah kehilangan sisi rasionalitasnya.