Debat dan Ayat-ayat Politik

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
22 Februari 2019 22:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebenarnya agak kaget juga ketika ada salah seorang tim pemenangan salah satu paslon menyatakan bahwa debat kedua nanti yang diramaikan oleh masing-masing pasangan cawapres, memungkinkan akan memunculkan ayat-ayat (Alquran). Apakah hal ini terkait dengan Ma’ruf Amin yang seorang kiai? Ataukah kedudukannya yang saat ini masih sebagai ketua MUI, sehingga memungkinkan mengeluarkan fatwa-fatwa politiknya terkait posisi dirinya sebagai politisi? Sejauh yang saya tahu, debat capres sepertinya tak perlu menyetir ayat-ayat Alquran, terlebih kemudian ayat-ayat itu sekadar dipergunakan sebagai “pembenar” dalam hal politik kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Saya kira, konteks debat capres yang lebih umum dan terbuka, akan sangat bermasalah ketika masih menempatkan Ma’ruf sebagai kiai, karena konteks debat bukan majelis ta’lim atau kajian rutin yang memang dibutuhkan penguat dengan suatu argumentasi keagamaan dengan menggunakan ayat-ayat Alquran. Dalam realitas debat, yang menjadi sohibul bait tentu saja cawapres, bukan kiai, ulama, pengusaha, atau orang pintar. Jadi, menempatkan Ma’ruf sebagai cawapres tentu saja lebih penting daripada menempatkan beliau sebagai kiai. Tidak semua orang memahami ayat, apalagi dalil-dalil, bahkan mungkin lawan debatnya sendiri.
Jangan sampai, suatu perdebatan politik yang masing-masing menunjukkan, menguji, dan mempertahankan setiap visi-misi soal masa depan bangsa lalu menjadi ajang demonstrasi ayat-ayat Alquran yang dimanfaatkan menjadi dalil-dalil bagi pembenaran politik. Pemilih saat ini sudah cenderung rasional, sehingga penggunaan ayat-ayat politik dalam konteks “legitimasi” seringkali tak dipercayai bahkan mungkin lebih banyak pemirsa yang tak memahami. Saya kira, legitimasi keagamaan dalam pribadi Ma’ruf sudah mulai hilang, karena ia saat ini sudah tak lagi cocok diposisikan sebagai kiai, tetapi lebih pas disebut politisi.
ADVERTISEMENT
Debat capres-cawapres sudah cukup menjadi euforia masing-masing kubu, sekadar meluapkan kegembiraan mereka dalam mendukung dan meramaikan jagat media. Sekalipun saya memiliki keyakinan tersendiri, bahwa debat tidak begitu berpengaruh terhadap realitas pemilih, kecuali dalam debat itu ada nuansa majelis taklim atau pengajian bulanan mungkin saja berdampak serius pada rasionalitas pemilih. Penggunaan ayat-ayat politik tidak sesuai tempat dan kondisinya, malah dapat menjadi blunder tersendiri dan berdampak lebih jauh terhadap para pemilih rasional. Saya kira akan lebih menarik, jika perdebatan dilakukan layaknya para politisi yang saling ancam dan saling tuding ketika paslon yang didukungnya dikritik.
Mungkin saja debat cawapres nanti menjadi tidak lagi menarik, karena inti perdebatan sesungguhnya adalah “debat capres” bukan “debat cawapres”. Debat ini sudah terwakili oleh masing-masing capres sehingga cawapres hanya ikut mengamini saja dibelakangnya. Debat cawapres malah tak lagi seru, melihat dari dua kandidatnya yang terpaut berbeda jauh dari sisi umur. Ibarat bapak dan anak, pasti ada momen-momen tertentu dimana keduanya akan kikuk dalam suasana debat. Terlebih, jika masih cocok istilah “santri post-islamisme” yang disematkan kepada cawapres Sandi dan “kiai besar NU” yang disematkan kepada Ma’ruf, rasa-rasanya debat cawapres mendatang hanya ajang nasehat-manasehati dan salam-salaman.
ADVERTISEMENT
Soal debat cawapres juga tak perlu rasanya mendudukkan mereka dalam posisi-posisi akademis yang bukan tempatnya dalam konteks politik. Baik cawapres Sandiaga yang bergelar master bisnis dari Amerika dan Ma’ruf yang belum lama ini mendapat gelar profesor dari UIN Malang, rasa-rasanya lebih banyak tak bermanfaat dalam arena pertarungan debat. Setiap cawapres pasti membawa visi-misi kepolitikan yang sama dengan capresnya, sehingga barangkali tak ada materi baru, kecuali hanya melengkapi atau mengisi yang kurang dari visi-misi masing-masing capresnya.
Sekalipun tak ada aturan yang melarang soal penggunaan ayat-ayat Alquran dalam melakukan pembenaran-pembenaran politik, tetapi alangkah lebih elegannya jika tak sembarangan menggunakan logika agama dalam konteks debat politik. Memang, sulit untuk dipungkiri bahwa kemungkinan akan muncul tema-tema seputar ekonomi syariah yang mungkin saja membutuhkan ayat-ayat, namun tanpa menggunakan ayat-ayat tertentu dalam Alquran, saya kira, perdebatan soal ekonomi syariah akan lebih mengglobal, tidak melulu dipandang dari sudut keislaman. Konsep besar ekonomi syariah tentu saja hanya mengambil dari semangat ayat-ayat Alquran yang pada akhirnya mengerucut pada tema besar yang universal, yaitu keadilan sosial.
ADVERTISEMENT
Justru saya punya pendapat sendiri soal debat, yang tentu saja ketika dikaitkan dengan semangat keagamaan Islam, debat lebih banyak mudaratnya dibanding manfaatnya. Itulah kenapa, Alquran saja menegaskan larangan berdebat dengan para ahli kitab, kecuali terpaksa, dan itupun harus dilakukan dengan cara-cara paling baik. “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik,” (QS. 29:46). Secara umum, perdebatan dalam Islam itu jelas tidak dianjurkan bahkan dalam kondisi jika hanya untuk menuai permusuhan, jelas hal itu sangat dilarang. “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. 8:46).