Gus Nur Tersangka, Kriminalisasi Ulama?

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
23 November 2018 13:47 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gus Nur di Tausiyah Kerakyatan Kampung Akuarium (Foto: Moh Fajri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gus Nur di Tausiyah Kerakyatan Kampung Akuarium (Foto: Moh Fajri/kumparan)
ADVERTISEMENT
Penetapan Sugi Nur Raharja atau Gus Nur sebagai tersangka dalam kasus pencemaran nama baik semestinya telah memenuhi unsur rasa keadilan masyarakat. Tak ada jalur lain dalam hal mendapatkan keadilan selain dari sisi hukum, terlepas bahwa hukum itu sering kali dianggap “tumpul ke atas dan tajam ke bawah”.
ADVERTISEMENT
Sulit untuk tidak mengatakan bahwa terkadang muncul pretensi politik dalam sebuah kasus hukum, terlebih di masa-masa kontestasi atau persaingan kekuasaan. Namun yang pasti, hukum selalu mengedepankan asas keadilan yang tak dapat diukur oleh rasa puas atau tidak puas atas hasil keputusan yang ditetapkannya.
Pretensi politik terhadap hukum, sering kali memunculkan kecurigaan, sehingga anggapan adanya upaya “kriminalisasi” justru mengaburkan kredibilitas aparat penegak hukum itu sendiri.
Istilah “kriminalisasi ulama” bukan saja mewabah sebagai suatu cara pandang atas pretensi politik terhadap hukum, namun seperti ada unsur ketidakpercayaan terhadap seluruh proses hukum yang ada.
Parahnya, ada pihak-pihak tertentu yang menganggap “ulama”-nya itu tak mungkin bersalah atau melanggar hukum, karena setiap terjerat kasus hukum, dianggapnya sebagai upaya kriminalisasi, di mana seolah-olah para ulama itu sedang dibungkam demi alasan politik.
ADVERTISEMENT
Padahal, hukum tentu saja tak pandang bulu dalam melihat setiap objek, karena apapun objeknya, semua sama dalam pandangan hukum, termasuk mereka yang dianggap “ulama” sekalipun.
Saya justru menyayangkan ketika banyak anggapan yang menyebut kriteria ulama secara simplistis. Ulama hanya dikur sebatas penceramah agama, yang bahkan tak peduli soal retorikanya yang buruk. Hemat saya, kriteria keulamaan tak dapat diukur karena keahlian retorika, sehingga mampu membuat kagum banyak orang.
Jika demikian, tak ubahnya seperti keberadaan para penyair zaman Jahiliyah yang justru mampu membuai banyak orang, bahkan hingga menundukkan nalar sehatnya.
Ulama bukanlah ahli dalam hal retorika, tetapi keulamaan justru dibuktikan oleh kehati-hatiannya dalam beretorika, menjaga laku dan lisannya, bahkan tak jarang justru menyepi dari hiruk-pikuk dunia retoris dan cenderung lebih banyak diam.
Aksi Bela Ulama (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi Bela Ulama (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Memang, ada sekian banyak informasi kesejarahan dalam Islam yang menunjuk pada fenomena “kriminalisasi” ulama, tetapi itu bukan pada soal retorika yang buruk terlebih menghina atau menghujat masyarakat atau ulama lainnya.
ADVERTISEMENT
Para ulama yang dikriminalisasi justru karena mereka melawan kezaliman penguasa, melalui keilmuannya yang sangat ketat yang dipandangnya sebagai suatu kebenaran yang tak boleh tunduk pada kezaliman.
Ahmad bin Hanbal, misalnya, mungkin sebagai contoh ulama yang dikriminalisasi penguasa waktu itu, karena dipaksa harus mengikuti pendapat penguasa yang dinilainya salah, bukan karena retorikanya yang negatif.
Fenomena Gus Nur yang sedemikian viral, tentu saja akumulasi dari begitu maraknya “ulama-retoris” yang kurang menjaga nilai-nilai etikanya di ruang publik. Bukan apa-apa, ulama sebagaimana yang saya pahami, jelas merupakan figur penerus para nabi yang tentu saja terkumpul dalam dirinya ajaran keadaban.
Dalam diri seorang nabi terkumpul seluruh pengetahuan, moral dan keadaban, sehingga didaulat menjadi teladan umat atas seluruh ucapan dan perilakunya. Jadi, sangat menyesatkan saya kira, jika ulama sekadar disimplifikasikan sebatas ahli retorika agama sekalipun tak menjalankan laku sebagaimana penerus ajaran para nabi.
ADVERTISEMENT
Lagi pula, melihat pada ajaran para nabi yang ditularkan kepada para ulama, hampir dipastikan bukanlah terletak pada sisi penguatan retorisnya, tetapi lebih kepada pembentukan pribadi yang saleh, penuh dengan nilai-nilai keadaban dan moral, menyayangi sesama, bahkan dalam banyak hal terkadang membalas keburukan dengan kebaikan.
Nabi Muhammad bahkan pernah menyindir para ahli retorika yang kosong “nilai” dan dianggap laku kemunafikan. Itulah sebabnya, Nabi Muhammad merupakan pribadi yang dikenal singkat ketika berpidato, namun sarat nilai dan makna, bahkan hal ini diikuti oleh seluruh sahabat-sahabatnya yang beretorika lebih singkat dari Nabi.
Retorika yang kuat dan berapi-api penuh semangat, sepertinya belakangan lebih banyak digandrungi masyarakat. Mereka seperti terbuai dan tunduk oleh kata-kata namun hampir kehilangan kesadaran dalam memetik pelajaran dan maknanya.
Aksi Bela Ulama (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi Bela Ulama (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Sering kali nilai substantif dalam suatu retorika malah dicampakkan dan dibuang, serta kebanyakan mengagumi aspek retoris. Padahal, retorika sering kali menyetir hawa nafsu tanpa sadar untuk berlaku buruk.
ADVERTISEMENT
Bahkan, kekuatan retoris sering dipandang sebagai wujud kebenaran yang tanpa harus dipertanyakan. Maka dari itu, wajar jika kemudian ada yang menyebut “ulama” kepada siapa saja yang ahli retorika dalam bidang keagamaan.
Ulama yang baik memahami bahwa retorika yang terlampau diumbar justru lebih banyak berdampak keburukan, terlebih jika retorika sekadar bentuk pemuasan hawa nafsu dalam mempertontonkan kemarahan.
Efek “negatif mulut” tentu saja lebih berbahaya, terlebih ketika mewujud dalam nuansa kebencian, fitnah, ghibah atau segala hal yang diungkap untuk tujuan memperburuk citra orang lain atau suatu kelompok. Dengan menjaga retorika dengan baik, justru berkesempatan menyelamatkan banyak pihak, tak hanya bagi diri sendiri, namun bagi orang lain dan lingkungan sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Kebebasan beretorika tentu saja dibatasi oleh nilai-nilai hukum yang berlaku dan disepakati masyarakat. Alangkah eloknya, jika unsur retoris itu dibungkus oleh kedalaman ilmu dan moral, mengajak kepada aspek moralitas yang lebih kuat membangun keadaban, bukan malah memperkeruh atau menghancurkan nilai-nilai keadaban itu sendiri.
Mereka ahli retorika yang dianggap sebagai “ulama”, tentu saja tak terlepas dari nilai-nilai hukum moral yang hidup di tengah-tengah umat.
Penting diingat, bahwa Tuhan saja akan membalas setiap kebaikan dengan kebaikan yang berlipat, termasuk satu kata yang meluncur dari mulut, jelas akan menjadi entitas kebajikan yang senantiasa hidup dan menghidupkan.
Lain halnya dengan perkataan buruk, selain mendapatkan sangsi moral, laku buruk ini akan tetap dinilai sebagai keburukan yang mungkin saja tak terputus, selama diikuti oleh orang lain.
ADVERTISEMENT